LOGINPonsel Devan bergetar di atas meja kerja.Nama Vivian menyala di layar.Devan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu. Ekspresinya datar, nyaris dingin. Sudah satu bulan hubungan mereka semakin terasa dingin. Vivian terlalu sibuk dengan pekerjaan bahkan tidak memiliki waktu hanya sekedar bertanya kabar Devan.Begitu juga saat Devan menghubungi Vivian. Yang sering terjadi, rasa kecewa karena yang menerima teleponnya justru manajer istrinya. “Halo,” sapa Vivian. Suara Vivian terdengar cerah. Terlalu cerah.“Sayang,” katanya dengan nada berbunga-bunga, seolah tidak ada jarak yang memisahkan mereka.“Aku mau kasih kabar bagus.”Devan tidak menjawab. Ia hanya bersandar di kursinya, satu tangan memijat pelipis.“Aku dapa kontrak t film layar lebar,” lanjut Vivian cepat, jelas penuh kebanggaan.“Dan aku jadi pemeran utamanya. Full lead, Dev.”Hening."Sayang, kamu dengar aku kan? Kamu pasti sangat bahagia mendengar kabar dari ku."Devan mengerjap perlahan.“Oh,
Sudah satu bulan Vivian berada di Bali.Pulau itu seharusnya memberi ketenangan—laut biru, matahari hangat, dan suasana eksklusif yang selalu berhasil menenangkan banyak orang. Namun bagi Vivian, Bali hanyalah latar. Bukan tempat untuk beristirahat, melainkan panggung sementara sebelum ia kembali ke pusat sorotan yang sesungguhnya.Ia berdiri di balkon vila mewah yang disewa khusus untuknya, mengenakan jubah tipis berwarna putih. Angin sore menyibakkan rambut panjangnya, namun wajahnya sama sekali tidak tampak damai. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, rahangnya mengeras.“Dua bulan?” suaranya meninggi, tajam, nyaris melengking.“Kamu gila, ya?”Manajernya di seberang sana terdiam sejenak, seolah sudah menduga reaksi itu."Aku sudah kejar tayang, bahkan tidur saja hanya 4-5 jam perhari. Ini semua agar syuting cepat selesai dan aku kembali ke jakarta. Tapi kenapa kau justru mengambil kontrak yang baru lagi?" “Vivian, dengarkan dulu,” suara wanita itu terdengar tenang, terlalu ten
Sore harinya, Alicia kembali ke kamar Devan dengan membawa map pemeriksaan berwarna cokelat. Langkahnya ringan, meski pikirannya tidak sepenuhnya demikian. Sinar matahari sore menyelinap melalui jendela tinggi mansion, menorehkan bayangan keemasan di lantai marmer yang dingin.Ia merasa senang.Besok seharusnya menjadi hari terakhirnya di mansion ini.Artinya, ia bisa kembali ke rumah.Namun perasaan senang itu hanya bertahan beberapa detik, sebelum dadanya kembali terasa sesak. Ada nyeri yang sangat nyata menjalar, bukan sakit fisik, melainkan luka yang sudah menaut yang selalu menolak sembuh.Rumah.Tempat yang seharusnya menjadi tempat yang paling ia rindukan, justru menyimpan terlalu banyak kenangan pahit. Luka yang tidak berdarah, tapi perihnya menetap. Suara, wajah-wajah serta kejadian beberapa waktu yang lalu, semuanya menumpuk di sana. Alicia tahu, pulang berarti berhadapan lagi dengan semua itu.Jujur saja, ia merasa lelah. Meskipun di mansion ini terasa menenangkan, tapi tet
Alicia menutup buku catatan medis dengan hati-hati. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Sinar matahari menembus jendela besar kamar Devan, membuat ruangan itu terasa hangat—jauh lebih hidup dibandingkan hari-hari sebelumnya.“Kondisi Anda stabil,” ucap Alicia lembut sambil merapikan alat tensi.“Tekanan darah normal. Otot kaki juga sudah tidak tegang seperti kemarin.”Devan menggerakkan kakinya perlahan. Tidak ada lagi rasa kram yang menusuk. Ia mengangguk kecil.“Berarti kamu sudah tidak perlu lagi di sini?” tanyanya santai, meski ada sesuatu yang samar di balik nadanya.Alicia tersenyum—lega, tulus.“Kalau tidak ada keluhan baru, iya. Satu atau dua hari lagi saya kembali ke tugas semula.”Senyum itu bertahan di wajahnya. Bukan senyum penjilat yang biasa ia kenakan demi bertahan hidup, melainkan senyum yang lahir dari rasa puas karena berhasil. Tiga hari ini ia bekerja tanpa cela. Tanpa perawat pendamping, tanpa dokter lain ikut campur. Semua ia lakukan sendiri—memantau obat, m
Dua tahun yang lalu.Saat itu, Alicia benar-benar kehilangan kendali.Wajahnya memucat, matanya merah, tubuhnya gemetar oleh emosi yang sudah terlalu lama ditahan. Charlotte masih ingat jelas, bagaimana tangan Alicia terangkat, lalu—Plak!Tamparan pertama mendarat di pipinya.Belum sempat ia bereaksi—Plak!Tamparan kedua.Keras.Nyaring.Tanpa ragu.Charlotte jatuh terduduk, pipinya panas, telinganya berdenging. Namun yang lebih ia ingat bukan rasa sakit itu.Melainkan apa yang terjadi setelahnya.Jerry melihat dengan matanya sendiri ketika Alicia menampar Charlotte.Wajah pria itu berubah total.Bukan marah biasa—melainkan kemarahan dingin yang mengerikan.Tanpa bertanya.Tanpa mendengar penjelasan.Ia hanya memberi satu perintah.“Bawa dia.”Alicia tidak diberi kesempatan membela diri.Ia diculik.Diseret ke sebuah ruangan gelap yang tidak dikenalnya.Charlotte tidak melihat langsung semuanya.Namun ia mendengar ceritanya.Dan ia tahu—Jerry tidak bercanda.“Tampar dia,” perintah
Jerry berdiri di depan rumah mewah itu cukup lama sebelum akhirnya menekan bel.Rumah yang dulu terasa akrab, kini tampak asing.Dindingnya masih sama. Halamannya tetap rapi. Lampu-lampu menyala seperti biasa.Namun ada sesuatu yang dingin, menusuk, seolah rumah ini tidak pernah benar-benar hangat.Atau mungkin…baru kali ini Jerry menyadarinya.Pintu terbuka.Sofia berdiri di sana. Begitu melihat Jerry, wajahnya langsung berubah. Senyum hangat, senyum yang terlalu cepat, terlalu dipaksakan. Senyum yang selalu ia berikan untuk Jerry.“Jerry?” katanya lembut. “Kamu datang?”“Aku mau bicara,” jawab Jerry singkat.Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk.Dan seketika itu juga—Tangisan menyambutnya.Charlotte.Gadis itu duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, bahu gemetar. Matanya sembab, pipinya memerah, wajahnya pucat seperti korban paling malang di dunia. Tonny duduk di sampingnya, satu tangan mengusap punggung Charlotte dengan penuh proteksi, seolah gadis itu rapuh dan ha







