Rumah sakit pribadi milik mafia bawah tanah Black Mamba, seorang gadis kecil terbaring lemah. Selang infus menempel di tangan mungilnya, alat bantu pernapasan terus bekerja mengatur oksigen masuk ke paru-parunya.
Wajahnya manis, sangat mirip dengan Fadia, hanya saja jauh lebih pucat. Dia adalah Fayra Az Zahra. Satu-satunya keluarga yang dimiliki Fadia di dunia ini. Adik kandungnya. Yang kini menjadi dunianya. Sejak lahir, Fayra menderita kelainan jantung bawaan. Restrictive Cardiomyopathy, kelainan langka yang membuat dinding jantungnya kaku, tak mampu memompa darah dengan baik. "Bagaimana hasil pemeriksaan hari ini?" tanya Fadia dengan suara berusaha stabil, meski matanya sulit menyembunyikan kekhawatiran. Dokter pribadi Fayra menunduk. "Keadaannya semakin menurun, Nona. Tekanan darahnya drop tadi pagi, kami sudah stabilkan untuk sementara. Tapi... dia butuh transplantasi jantung sesegera mungkin." Fadia mengepalkan tangannya. Sudah bertahun-tahun ia mengerahkan semua anak buahnya, bahkan jaringan internasional untuk mendapatkan donor yang cocok. Namun, semua sia-sia. Golongan darah Fayra sangat langka, sementara kriteria kecocokan jantung makin mempersempit peluang. "Aku tidak peduli berapa banyak uang harus aku keluarkan. Aku tidak peduli siapa pun yang harus aku singkirkan. Temukan donor itu, Emir!" bentaknya tajam. Pria setengah baya di belakangnya, Emir, menunduk dalam. "Kami sudah menghubungi semua kontak. Satu-satunya harapan saat ini... adalah keajaiban, Nona." Fadia menggertakkan giginya. Keajaiban? Itu kata yang paling ia benci. Dalam dunia hitam yang ia kuasai, keajaiban tidak pernah ada. Hanya uang, kekuasaan, dan darah. Tiba-tiba, suara lemah memanggilnya dari tempat tidur. "Kakak..." bisik Fayra, matanya membuka perlahan. Fadia segera mendekat, menahan tangannya yang dingin. "Aku di sini, Fayra. Tenang saja, Kakak akan terus berjuang untukmu." Fayra tersenyum lemah. "Aku capek, Kak..." "Ssstt! Jangan katakan itu, Sayang! Kamu harus bertahan!" suara Fadia bergetar. "Kau akan sehat. Aku janji. Akan ada dokter jenius yang menyembuhkanmu. Kakak sudah menemukannya." Mata Fayra berkaca-kaca, tapi bibir mungilnya masih berusaha tersenyum. "Aku percaya sama Kakak... seperti dulu waktu Mama dan Papa masih ada." Deg! Setiap kali nama itu disebut, hati Fadia seperti dicabik-cabik jika mengingat kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya dibunuh oleh slah satu rival terbesar ayahnya di depan matanya saat Fadia masih berusia 17 tahun. Hanya Fayra yang menjadi alasan Fadia tetap berdiri. Demi Fayra, dia bahkan rela memasuki dunia hitam. Demi Fayra, dia menjadi penguasa mafia perdagangan organ terlarang agar bisa secepatnya mendapatkan donor jantung untuk adiknya. Dan sekarang, di tengah keputusasaan, emir memberi tahunya bahwa ada dokter jenius yang mungkin bisa menyembuhkan adiknya, Mahendra. --- Di rumah sakit milik keluarga Mahendra... Lelaki itu tengah merasakan denyutan hebat di kepalanya. Semua peristiwa sebelum kecelakaan kembali memenuhi pikirannya. Dia memegang kepalanya yang mulai terasa berat. Namun, suara ketukan pintu membuyarkan semua lamunannya. Masuklah seorang pria paruh baya yang masih terlihat tampan dengan wajah sopannya. Mahendra pun melihatnya dengan wajah bingung. Kemana perawatnya? Kenapa lelaki ini bisa masuk begitu saja ke ruangannya. "Dokter Mahendra, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda," katanya dengan sopan. Tak lama kemudian, muncullah wanita cantik dengan aura memikat, Fadia Az Zahra. Mahendra mengamati wanita itu dari atas sampai bawah. Mata wanta itu tajam. Wajahnya sangat cantik seperti orang Pakistan. Kulitnya yang putih bersih, leher jenjangnya membuat pikiran liar Mahendra sebagai lelaki pun bergejolak. "Aku pasti sudah gila!" batin Mahendra sambil menggelengkan kepalanya. Suara lembut dan seksi membuat Mahendra mendingakkan kepalanya. "Aku Fadia Az Zahra. Dokter forensik Rumah Sakit Grand Central saat ini. Mungkin kita belum pernah bertemu, Dokter Mahendra. Tapi, izinkan aku bicara langsung ke intinya," katanya tenang. Mahendra mengerutkan dahinya. "Kenapa Anda mencariku, Nona?" tanyanya tanpa basa-basi. Fadia meletakkan foto gadis kecil di atas meja Mahendra. "Adikku. Namanya Fayra. Sejak lahir, dia memiliki kelainan jantung bawaan. Semua dokter menyerah, tak ada lagi harapan adikku untuk hidup. Aku sudah mendengar kemampuanmu saat kamu berhasil mengobati pasien gagal jantung tanpa memeriksanya terlebih dahulu. dan aku berharap, kau bisa membantu menyembuhkan adikku." Mahendra memicingkan matanya. "Kenapa aku harus membantumu?" tanya Mahendra penuh selidik. "Karena aku bisa memberimu apa yang kau butuhkan. Aku tahu adik tirimu dan kekasihmu berselingkuh di belakangmu. Tak hanya itu, mereka berencana menghancurkanmu. Saat ini, mereka sudah mulai mengincar saham rumah sakit ayahmu. Aku bisa membantumu menyingkirkan mereka sebelum semua hartamu dikuasainya.. asal kau mau menyelamatkan adikku." Tubuh Mahendra menegang. Bagaimana mungkin wanita ini bisa tahu kehidupan pribadinya. Dia saja, andaikan dia tidak hidup lagi, juga tidak mungkin tahu apa yang dilakukan oleh Sifa dan Reza di belakangnya. Permainan mereka terlalu rapi hingga tak membuat Mahendra curiga sedikitpun. Mahendra menatap wanita cantik dihadapannya ini penuh curiga. Jika wanita ini hanya orang biasa, dia tidak mungkin tahu sedetil itu tentang permasalahan keluarganya. Tentu wanita di hadapannya ini bukan wanita sembarangan. Dan itu membuat Mahendra tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. "Katakan! Apa maumu sebenarnya? Jika hanya untuk mengobati adikmu, kau bisa membawanya berobat kemari tanpa perlu menemuiku terlebih dahulu! Pasti ada sesuatu yang lain bukan?" Fadia tersenyum tipis. Tenryata selain tampan, Mahendra pintar juga. "Sebenarnya, ini bukan tentang apa yang ku mau, Dokter. Tapi, tentang apa yang bisa kita tawarkan satu sama lain." Ia meletakkan sebuah dokumen kontrak di atas meja. Mahendra menatap lembaran kontrak itu tajam. Kontrak Pernikahan. "Kenapa kita harus menikah?" tanyanya dingin. Fadia tersenyum samar. "Legalitas. Jika kau menikah denganku, aku bisa membersihkan segala rencana busuk Reza lebih awal. Dan tentunya, aku bisa leluasa masuk ke dalam kehidupanmu." Mahendra menatap kontrak itu dengan tatapan dingin. "Kau siapa, kenapa bisa membantuku?" tanyanya sambil kembali menyodorkan kontrak itu. "Kau tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas, kau membutuhkan aku untuk menggagalkan rencana adik tirimu, dan aku butuh kau untuk menyelamatkan adikku, Fayra. Aku percaya, kau adalah dokter yang mungkin bisa melakukan itu." Tangan lentik itu menggeser kembali kontrak itu. Mahendra kembali menatap kontrak yang kini kembali di hadapannya."Bagaimana kalau aku tidak mau?" Wanita cantik itu tersenyum sinis. "Kau mungkin akan mati karena ulah adik tirimu dan juga kekasihmu! Pilihan ada di tanganmu, Dokter. Mati di tangan adik tiri dan kekasihmu, atau bekerja sama denganku." Semua memori saat kecelakaan itu pun membangkitkan amarahnya. Tangannya mengepal. Dia tidak boleh kalah dengan Reza dan Sifa. Tuhan telah memberikannya kesempatan untuk hidup, tentunya untuk merubah nasibnya. Lelaki itu pun kemudian mengulurkan tangannya. "Baik, aku terima!"Ruangan ICU yang tadi penuh dengan tegang kini perlahan mereda. Setelah kejut jantung berkali-kali tak membuahkan hasil, Mahendra nekat menyuntikkan dosis kedua dari ramuan yang ia racik sendiri. Tangannya masih gemetar ketika jarum menembus selang infus.“Ini yang terakhir, Nyonya… kalau kau tidak kembali juga, aku tak akan pernah memaafkan diriku,” bisik Mahendra dengan suara bergetar.Beberapa menit terasa seperti jam. Monitor yang semula menunjukkan garis lurus tiba-tiba berbunyi beep… beep… beep. Detak jantung Sofia kembali terpantau, lambat namun stabil.“Dia kembali!” perawat berteriak dengan lega.Mahendra langsung menunduk, air matanya tumpah deras. “Terima kasih… Tuhan… dia kembali.”Kelopak mata Sofia bergerak pelan. Nafasnya membaik. Meski belum sepenuhnya sadar, wajahnya terlihat jauh lebih tenang daripada sebelumnya.“Obat ini… berhasil,” gumam Mahendra, nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat.---Beberapa hari kemudian, Sofia benar-benar sadar. Tubuhnya memang masi
Laboratorium kecil di rumah sakit itu dipenuhi aroma tajam dari bahan-bahan herbal yang Mahendra kumpulkan dari hutan. Di meja, alat medis modern bercampur dengan botol kaca berisi cairan berwarna hijau tua, akar kering, dan serbuk tumbukan tanaman.Mahendra berdiri dengan wajah tegang. Tangannya bergetar saat mencampur ekstrak tumbuhan itu dengan obat herbal lain yamg bisa mendukung pwngobatan Sofia.."Harus berhasil kali ini ... aku tidak boleh gagal lagi," gumamnya lirih.Fadia masuk, membawa segelas air. “Mahen, kamu belum istirahat sama sekali sejak tadi malam. Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan merawat Nyonya Sofia?”Mahendra menoleh sekilas, matanya memerah. “Aku tidak bisa berhenti, Fadia. Obat pertama justru membuat kondisi Sofia semakin parah. Kalau aku menyerah sekarang, dia bisa—” suaranya tercekat. “Aku tidak akan biarkan itu terjadi.”Fadia mendesah, namun tidak melarang lagi. Dia hanya menatap suaminya yang begitu keras kepala.Beberapa jam kemudian, racikan itu se
Mahendra menatap cairan bening dalam tabung kecil itu. Jemarinya gemetar saat memegang pipet, seakan beban dunia bertumpu di tangannya. Obat hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan kini siap diuji. Tapi bukan di pasien lain—melainkan langsung pada Sofia, wanita yang sangat perhatian padanya meski tak ada hubungan apapun diantara keduanya.“Ini terlalu berisiko, Nyonya,” ucap Mahendra dengan suara berat, matanya tak lepas dari tabung kaca itu. “Saya belum menguji efek sampingnya, belum tahu dosis pastinya.”Sofia duduk tegak di kursi rodanya, sorot matanya begitu tenang. Dia menggeleng pelan. “Jangan buang waktu, Mahendra. Penyakit ini tak akan memberiku kesempatan hidup lebih lama. Kalau aku menunggu kamu menguji pada pasien lainnya, mungkin besok aku sudah tak bisa lagi berbicara denganmu.”Mahendra memejamkan mata, lalu mendesah panjang. “Tapi reputasi saya … kalau ini gagal, nama saya benar-benar akan hancur. Semua kerja keras saya selama ini tak akan ada artinya.”Sofia terseny
Mahendra duduk termenung di ruang kerjanya. Laptop di depannya masih terbuka, namun pikirannya jauh melayang ke arah wanita tua yang akhir-akhir ini terlalu sering mengatur dan memperhatikannya—Sofia.Sudah beberapa hari ia meminta anak buahnya mencari informasi tentang wanita itu. Namun hasilnya nihil. Yang mereka temukan hanya hal-hal umum: Sofia adalah seorang janda, ditinggal mati oleh suaminya bertahun-tahun lalu. Pekerjaannya sederhana, kadang menyanyi di sebuah konser amal, kadang juga ikut kegiatan sosial di lingkungannya. Tidak ada catatan mencurigakan, tidak ada masa lalu yang bisa menjelaskan kenapa ia begitu melekat padanya.Mahendra mengetuk-ngetuk meja dengan jemarinya. "Aneh," gumamnya lirih. "Kalau hanya seorang janda biasa, kenapa pedulinya berlebihan sekali?"Pikirannya kacau. Setiap kali ia sakit atau terluka, Sofia selalu berada di sana. Bahkan kadang lebih duluan dari Fadia. Perhatian itu terasa hangat, tapi sekaligus menimbulkan rasa curiga.Sore itu, ketika Sofi
Kedatangan Fadia bukannya membawa kebahagiaan bagi Mahendra, dengan hadirnya Fadia, justru membuatnya pusing kepala karena kedua wanita itu terus saja berseteru. Di sisi kiri, Fadia dengan gesit menyiapkan kotak makanan yang dibawanya, sementara di sisi kanan, Sofia tak mau kalah, menatap Fadia dengan tatapan yang menusuk.“Sayang, aku belikan bubur kesukaanmu,” ujar Fadia lembut sambil membuka wadah makanan. Tangannya sigap menyendok bubur itu ke sendok kecil. “Ayo, aku suapin, biar cepat pulih.”Namun sebelum sendok itu sampai ke bibir Mahendra, Sofia mendesah keras, tangannya yang gemetar meraih lengan anaknya. “Nak, jangan asal makan. Ibu sudah bawakan sup ayam hangat yang lebih bergizi dari bubur instan itu.” Tatapan Sofia bergeser pada Fadia, penuh sindiran. “Apalagi kalau dibuat asal-asalan, bagaimana bisa menyembuhkan?”Fadia menahan senyum, berusaha tetap tenang meski hatinya sudah mendidih. “Bu, saya tahu apa yang terbaik untuk suami saya. Dokter juga sudah bilang bubur ini
"Nyonya, Tuan Mahendra saat ini ada di rumah sakit daerah," lapor anak buah Fadia pada majikannya. Fadia yang saat itu tengah fokus mengotopsi mayat langsung mendongakkan kepalanya. "Rumah sakit daerah? Kenapa?" "Sepertinya, beliau mengalami kecelakaan saat mengambil obat untuk salah satu pasiennya. Dan sekarang dirawat disana," jawab sang anak buah. Fadia segera menghentikan kegiatannya kemudian pergi menuju ke rumah sakit daerah. Sesampainya di sana, wanita itu sedikit berlari menuju ke ruang perawatan Mahendra. Rasa panik bercampur cemas yang mendera sejak ia menerima kabar suaminya dirawat, membuatnya tak sabar ingin segera melihat keadaan sang suami. Namun, langkahnya mendadak terhenti begitu pintu terbuka lebar. Mahendra dengan wajahnya yang masih lebam dan penuh perban tampak duduk bersandar di ranjang. Di sampingnya, seorang wanita paruh baya dengan rambut sebagian beruban sedang menyuapkan bubur ke mulutnya. Wanita itu duduk di kursi roda, tubuhnya terlihat rapuh, tapi t