Share

Kepergian Saina

Jam tiga pagi aku dikagetkan dengan ketukan pintu kamar berulang-ulang, ngantuk sekali, tapi apa daya aku harus tetap bangun.

"Geeza! Ageeza bangun, Sayang, ada tamu!" panggil Ibu.

"Tamu! Jam segini, siapa?" Aku bermonolog sambil mengucek-ngucek mataku yang sangat lengket. "Tamu siapa, Bu? inikan masih malam banget."

"Katanya Om-nya Saina!" Aku kaget dan langsung menoleh ke tempat tidur. Saina sudah tak ada di Sana, aku langsung berlari ke bawah.

"Maaf Om, Tante ... saya mengganggu malam-malam. Ini sangat gak sopan, tapi ini urgen."

"Urgen bagaimana maksudnya?" tanya Geeza panik.

"Saina kritis, Arumi akan membawanya ke Singapura, kamu bisa ikut saya ke Rumah Sakit, sekarang?"

"Bagaimana saya yakin kalau kamu Om-nya Saina?"

"Arumi dari satu jam lalu sudah coba menelpon tapi handphone kamu gak aktif, jadi saya disuruh ke sini. Saya dapat alamat kamu dari Mbak Meli di Pavilliun Anggrek," ucap Omnya Saina.

"Hmmm ... iya handphone-ku habis baterai. Okey! tunggu ya, aku ganti baju dulu!"

"Bu bangunin Gaza, suruh temenin Geeza!" titah Ayah.

"Iya, Yah."

Setelah ganti baju aku disusul Bang Gaza mengikuti Om-nya Saina menuju mobil.

"Hati-hati ya kalian! semoga Saina baik-baik saja."

"Makasih, tante." Laki-laki itu menyalami Ayah dan Ibu.

Abang melanjutkan tidurnya di jok belakang, sementara aku duduk di depan.

"Mas, kenapa Saina bisa kritis?" tanyaku.

"Oh, iya. Namaku Faiz, panggil saja Faiz. Aku kurang tau soal itu, yang jelas pihak Rumah sakit sudah tidak bisa memberikan lagi penangan pada Saina. Arumi keukeuh mau Saina dirawat. Akhirnya, Bang Sakti memutuskan akan membawa Saina ke Singapura."

"Tadi malam Saina tidur bersamaku, dari Rumah Sakit maksa ingin ikut tapi pas Mas datang dia sudah menghilang, tidak ada di tempat tidur."

"Saina ikut kamu?" Mas Faiz mengernyitkan dahinya.

"Iya, maaf Mas aku indigo. Sebulanan ini Saina mengikutiku, pertama kali ketemu Saina di Rumah Sakit. Sejak saat itu kita sering berkomunikasi."

Mas Faiz hanya menggangguk seperti meyakinkan dirinya tentang aku yang Indigo. 

Kami sampai di Rumah Sakit, Abang Gaza pamit ke toilet, sementara aku berlari ke ruangan Saina disusul oleh Mas Faiz.

Kak Rumi, Bang Sakti dan Budenya Saina sudah berkumpul di sana. Kak Rumi menangis di pelukanku, ia tak kuasa melihat kondisi Saina yang makin hari semakin kurus. Hanya peralatan medis yang membuatnya bertahan.

"Kakak mau kamu bertemu Saina dulu sebelum kami berobat, Za."

"Makasih kak, semoga semuanya berjalan lancar. Kakak, Abang dan Saina mudah-mudahan kembali dalam keadaan sehat. Geeza pasti do'a kan yang terbaik untuk semuanya," ucapku.

Gadis mungil itu dipindahkan menuju ambulans, masih dengan peralatan yang menempel di tubuhnya.

Aku seperti mimpi, tadi malam kita bertiga bersama dr. Doddy masih bercanda di atas motor. Pertanyaan-pertanyaan konyolnya yang tak bisa ku jawab ternyata sebuah perpisahan.

"Jangan nangis, Za!"

"Dokter!" dr. Doddy menyeka air mata di pipiku dengan telapak tangannya yang sedingin es.

"Geeza, kamu mau aku antar pulang atau mau ikut sampai bandara?" tawar Mas Faiz.

"Boleh aku ikut ke Bandara, Mas?"

"Boleh-lah ayo!" ajak mas Faiz.

Kasian Bang Gaza dia kelihatan sangat mengantuk. Aku menyuruhnya pulang dengan taksi online sementara Mas Faiz berjanji mengantarku pulang sekembalinya dari Bandara.

Dokter Doddy? Entahlah! Setelah menyeka air mataku dia menghilang, mungkin karena sudah menjelang subuh.

Aku bertiga di mobil, bersama Mas Faiz dan Bude, sedang Kak Rumi dan Bang Sakti di Ambulans.

Bukan saudara bahkan kenal juga baru sebulanan ini tapi aku merasa begitu dekat dengan Saina. Sakit sekali rasanya ketika melihat Saina dan kedua orangtuanya menghilang di pintu keberangkatan.

Aku duduk dan tiba-tiba saja menangis sesegukan.

"Sudah jangan menangis Suster, Saina pasti kembali, dia pasti sembuh."

Budenya Saina yang tak lain Kakak dari Kak Arumi, memelukku sambil menenangkan.

Mas Faiz yang tadi pergi saat aku menangis, kembali membawa dua botol air mineral, satu untuk Bude dan satu untukku.

"Minum dulu Suster, biar sedikit tenang."

Aku dan Bude menenggak air mineral tersebut, maklumlah sejak dari Rumah sakit kami belum sempat minum.

"Gimana Suster sudah tenang? Kita bisa pulang sekarang?" tanya Mas Faiz, akupun mengangguk pelan.

"Kamu antar Suster Geeza saja, Iz! Biar Kakak naik taksi, kasihan Suster sudah kelelahan sepertinya."

"Kakak gak apa-apa naik taksi?"

"Gak apa-apa, Iz, jangan khawatirkan Kakak."

"Ya sudah, Faiz carikan taksi dulu untuk kakak, baru antar Suster Ageeza pulang."

Setelah Bude Saina pulang, aku dan Mas Faiz juga pulang dari Bandara.

"Bude itu Kakaknya Mas Faiz toh?" tanyaku.

"Iya Kak Aruna Kakakku, sedang Arumi adikku, kami tiga bersaudara," jawab mas Faiz.

******

Untunglah hari ini aku libur jadi bisa beristirahat di Rumah. Tidak enak badan kurang tidur, kepala pusing karena terlalu lama menangis.

Aku sudah seperti zombi dengan rambut kusut dan kantung mata menghitam.

"Makan dulu Dek! Sudah jangan nangis terus nanti sakit." Abang membawa nampan berisi sarapan untukku.

"Makasih, Bang, Abang baik banget. Maaf ya semalam tidurnya jadi keganggu."

"Gak apa-apa Dek, mana mungkin Abang biarkan kamu pergi sama orang asing malam-malam," sahut Abang.

"Geeza sayang Abang," ucapku.

"Abang  juga. Abang ke kampus dulu ya, kamu hati-hati di rumah! Ibu lagi ke rumah tante dulu, katanya sih bentar. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Bang."

Handphone-ku bergetar ada nama Ayah tertera di sana.

"Hallo! Yah," sapaku.

"Kamu sudah pulang, Dek?"

"Sudah, Yah. Geeza sedang sarapan di kamar, tadi Abang buatkan."

"Alhamdulillah kalau gitu, memangnya Saina itu pasien kamu, Dek?" tanya ayah.

"Bukan, Yah. Aku kenal Saina dan Ibunya sebulan lalu, waktu pertama masuk kerja. Mereka baik Yah."

"Ya sudah jangan sedih, do'a kan yang terbaik buat Saina. Sekarang kamu istirahat. Assalamualaikum."

"Makasih Ayah, waalaikumsalam."

Baru saja akan merangkai mimpi,  terdengar lagi getaran handphone-ku dari atas nakas. Tanpa melihat siapa yang menghubungi, aku langsung menyambar benda pipih itu dan menjawab panggilan tersebut.

"Apa lagi Ayah, katanya Za di suruh istirahat?" cerocosku.

"Maaf Suster Ageeza, ini Faiz."

"Oh Mas Faiz, maaf. Barusan Ayah telpon jadi ...."

"Gak apa-apa ... suster saya mau menyampaikan pesan Arumi, selama di Singapura nomor handphone-nya di ganti. Saya sudah send nomornya, ada beberapa photo Saina juga, sudah saya send ke nomor Suster."

" Terima kasih, Mas. Maaf merepotkan, saya belum sempat baca-baca notif di handphone jadi belum sempat balas."

"Tak apa Suster, silakan lanjutkan istirahatnya, saya pamit Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam, Mas."

__________

Aku memang beruntung keluargaku sungguh menyayangiku, Ibu, Ayah, Abang. Hanya satu yang belum menghampiriku saat ini yaitu pasangan. 

Bukan tidak ada yang suka, aku juga pernah pacaran saat Sekolah Menengah Atas. Namun semenjak Sekolah Perawat aku memilih menjomblo agar fokus menempuh Pendidikan.

______

Setelah shalat Isya dan makan malam kami sekeluarga nonton TV sambil berbincang santai. Ayah dan Ibu suka menonton lawakan di TV begitupun aku dan Abang. 

Rasanya bahagia bisa berkumpul dan tertawa bersama. Hampir dua jam menonton TV mata lelah juga, tak kuat sekali mengantuk akupun berpamitan ke kamar.

Dokter Doddy sudah berada di dalam kamarku. Tatapan tajamnya seperti akan menghujam jantungku. Aku mencelos berusaha menghindari tatapan itu.

"Apa kamu ingin nasibku seperti Saina? Kamu mau aku di bawa Luar Negeri juga? kapan kamu menemuiku Geeza?" 

"Panjang banget pertanyaannya, Dok, sudah kaya soal ujian," candaku.

"Aku serius Geeza!"

"Hmmft ... Dokter sabar ya, tunggu Abang ngambil cuti. Ibu sama Ayah gak mungkin mengizinkan aku berangkat ke Ciwidey sendiri."

Dokter Doddy tak menjawab, dia berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan wajah cemberut. 

Ternyata orang dewasa juga lucu, saat marah wajahnya ditekuk seperti anak kecil  yang merengek minta dibelikan eskrim oleh Ibunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status