Dia mencoba menyembunyikan air matanya. Namun aku masih bisa melihatnya. Dia lalu tersenyum kepadaku, namun aku bisa melihat kalau itu adalah senyuman yang dipaksakan. Aku merasa kesal dengannya, namun tidak sampai membencinya. Dia memberiku peringatan sebelum menceritakan cerita itu. Namun, aku pun merasa kasihan dengannya yang sudah kehilangan orang yang ia cintai. Dia memang tidak peka, sikap bodohnya membuatnya ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi tidak semuanya salah Liam. Tentu saja dia akan merasa bersalah atas kematian Alita karena dia mencintainya.
“Bagaimana? Kau membenciku?” tanya Liam kepadaku.
“Tidak.”
“Syukurlah.”
“Lalu, bagaimana kau bisa tetap hidup?”
“Sepertinya seseorang menemukan diriku dan pihak sekolah membawaku kerumah sakit. Aku tidak pernah tau siapa dia karena satu sekolah menjaga jarak denganku.”
“Eric?”
“Dia baru mengetahuinya dari orang-orang yang sedang membicarakan aku di lorong sekolah.”
“Lalu kenapa kau bilang kau merasa tidak beruntung karena masih hidup sampai sekarang?” tanyaku kepadanya.
“Aku menderita, bodoh. Bahkan hingga hari ini, aku rasa aku tidak bisa lagi mencintai wanita manapun. Aku hanya menginginkannya, dan dia mati dengan aku berada di sampingnya. Aku gagal menyelamatkannya lagi sehingga dia mati.”
Aku kehabisan kata-kata. Seharusnya aku tidak menanyakan hal seperti itu, karena dia tentu saja tidak mungkin membiarkan orang yang dia cintai meninggal dengan cara seperti itu.
“Kau tidak perlu memikirikannya, Ava,” kata Liam seperti mengetahui isi pikiranku.
“Maafkan aku, Liam. Aku sudah membuatmu harus menceritakan hal itu.”
“Tak apa. Aku memang ingin menceritakannya setelah apa yang sudah kau alami hari ini.”
Aku terdiam mendengarnya. Orang yang melompat itu, dia seharusnya tetap hidup dan makan bersamaku di Wendy’s saat ini dan menceritakan apa yang sudah ia alami hingga ia merasa ingin mati.
“Sudah malam, ayo kita pulang. Orang tua mu pasti mengkhawatirkanmu,” ajak Liam seraya berdiri.
Aku hanya tertawa di dalam hati. Mana mungkin orang tua ku khawatir. Bahkan jika aku mati di dalam kamar, mereka tidak akan mungkin pergi ke kamarku kecuali bau bangkai sudah mulai tercium. Aku akhirnya mengikuti Liam menuju ke mobilnya dan pergi meninggalkan Wendy’s. Saat di jalan, aku teringat akan mobilku yang aku tinggalkan di pinggir jalan pagi tadi.
“Liam, aku meninggalkan mobilku di dekat jembatan. Bisakah kita kesana sebentar? Jika mobilku masih ada di sekitar situ aku akan pulang sendiri.”
“Tentu saja. Tapi kurasa mungkin sudah dipindahkan karena mengganggu lalu lintas,” kata Liam
“Atau mungkin saja seseorang telah mencurinya karena aku meninggalkan kuncinya di dalam," ujarku sambil tertawa.
“Mobilmu bukan dicuri. Kau memberikannya.”
Aku hanya tertawa dan dia malah mengatakan kalau aku sudah gila karena masih bisa tertawa saat kehilangan mobil. Tapi aku rasa itu bukan masalah besar untuk orang tuaku. Salah satu dari mereka akan membelikan aku yang baru atau memberikan salah satu milik mereka. Saat aku sampai aku tidak terkejut melihat mobilku sudah tidak ada di tempatnya.
“Kau akan melapor ke polisi?" tanya Liam.
“Membuang waktu, aku mau pulang saja.”
“Wanita gila. Jika aku kehilangan mobilku ini mungkin aku akan mendedikasikan seumur hidupku untuk mencarinya.”
Aku tertawa lagi, dia benar-benar melebih-lebihkan kondisi finansial keluargaku. Kami lalu pergi menuju salah satu perumahan mewah tempat aku tinggal. Aku bingung kenapa kita bisa sampai sini. Padahal aku tidak pernah memberitahukan rumahku kepadanya.
“Aku belum pernah memberitahukan rumahku, kenapa kau bisa tahu disini aku tinggal? Kau memata-mataiku ya?”
“Bodoh. Ayahmu adalah bos di tempat aku bekerja. Di kantor, semua orang tahu dimana kau dan orangtuamu tinggal.”
“Mungkin saja aku tinggal di rumah yang berbeda dengan orang tua ku.”
“Kau hanya seorang siswi SMA, aku rasa kau tidak mugkin tinggal sendiri.”
“Kau meragukan kemampuan bertahan hidupku?” tanyaku sambil memelototi Liam.
“Kau ingin di tes?” tanya Liam
“Aku tidak punya waktu melakukan tes seperti itu,” ucapku beralasan.
“Alasan,” katanya seraya turun dari mobil.
“Liam, aku ingin nomor teleponmu.”
“Tanya saja ayahmu, dia pasti memiliki berkas berisi data para pekerja termasuk nomor teleponnya. Nomor teleponku pasti ada disitu.”
“Oh ya? Baiklah kalau begitu.”
“Hey, aku hanya bercanda,” kata Liam sambil menunjukaan ponselnya dan aku pun membuka ponselku lalu mencatat nomornya. Padahal aku serius untuk mendapatkan nomornya dari ruangan kerja ayahku.
“Kau ingin masuk dulu?”
“Sudah terlalu malam, aku khawatir dengan nenekku.”
“Oh iya aku lupa. Baiklah, hati-hati di jalan.”
“Selamat malam, Ava.”
Aku melambaikan tangan padanya saat ia pergi lalu masuk ke dalam. Saat aku di dalam, aku bisa melihat ibuku sedang menonton televisi sambil memegang sebotol vodka.
“Aku tidak mendengar suara mobilmu saat masuk. Apa yang terjadi dengan mobilmu?” tanya ibuku yang menyadari kepulanganku.
“Sepertinya seseorang mencurinya. Saat aku selesai makan, mobilku sudah tidak ada,” kataku berbohong.
“Kau sudah melaporkannya ke polisi?” tanya ibuku
“Belum, aku malah tidak berniat melaporkannya. Aku rasa mereka tidak akan mampu menemukannya.”
“Kalau begitu, jika nanti kau ingin keluar, pakai saja milik ibu sampai ibu membelikan yang baru untukmu.”
“Oke.”
Benar kan? Dia tidak bertanya darimana aku sampai semalam ini. Dia malah menanyakan kemana mobilku. Aku hanya tertawa dalam hati mengetahui kemirisan hidupku yang penuh akan kekayaan.
Aku lalu naik ke lantai dua tempat kamarku berada. Aku lalu masuk ke kamarku dan aku teringat cerita Liam bersama Alita, wanita di masa lalunya. Aku penasaran seperti apa Alita. Dia melalui banyak hal buruk dan Liam berada di sisinya, hingga saat terakhirnya. Liam pasti begitu mencintainya.
Aku lalu mengeluarkan ponselku dan mengirim pesan pada Liam. Aku ingin tahu apakah Liam memiliki foto Alita karena aku sangat ingin mengetahui bagaimana wanita yang dicintai Liam. Liam lalu mengirim foto dirinya bersama Alita dan bertanya untuk apa aku menanyakan foto itu Aku hanya menjawab kalau aku penasaran seperti apa Alita itu.
Mata cokelat besar dengan senyum yang menawan. Alisnya tebal dan dia memiliki senyum manis. Tingginya hanya sebahu Liam, sama seperti aku. Dia memang cantik sekali, pantas saja Liam mencintaimu Alita.
Aku lalu memperhatikan Liam yang juga ada di foto itu. Dia adalah orang yang menolongku pagi ini. Liam menolong Alita dan Alita jatuh cinta dengan Liam. Mungkinkah aku juga akan jatuh cinta dengannya? Sejujurnya aku tidak mempermasalahkan bagaimana wajahnya dan pekerjaanya sebagai bawahan ayahku. Tapi dia orang yang baik dan itu sudah cukup untukku.
Kenapa aku memikirkannya? Aku baru saja mengenalnya. Aku lalu mematikan ponselku karena aku merasa mengantuk.
“AVA, TURUN. AYAH INGIN BICARA DENGANMU!” teriak ayahku dari lantai bawah.
Apa? Tidak biasanya ayahku ingin bicara dengan putrinya. Tapi, aku rasa sesuatu yang buruk sudah terjadi. Aku lalu turun dan melihat ayahku memperhatikan aku dengan tatapan yang mengerikan. Ibuku berada di sebelahnya dan dia sama mengerikannya dengan ayahku.
Saat aku sampai lantai bawah, aku bisa melihat televisi masih menyala dan sedang memberitakan kejadian yang terjadi di jembatan hari ini. Dan wajahku ada di sana. Salah satu foto yang aku unggah di sosial media berada di televisi dengan kalimat dibawahnya bertuliskan
PUTRI DARI CHRISTIAN VAVREU. BOS PERUSAHAAN CHEVRON HURRICANE. TERLIBAT DALAM PEMBUNUHAN MICHAEL PATTERSON.
Sial, aku lupa.
Ayah menghampiriku dan menampar aku dengan keras hingga aku terjatuh. Kepala ku yang terasa sangat pusing kemudian ditendang oleh ayahku yang sepertinya belum puas menamparku. Ibuku hanya melihat dari sofa dengan tatapan yang memang kesal.“KAU ANAK SIALAN. KENAPA KAU MEMPERMALUKAN AKU?” tanya ayahku dengan berteriak di telingaku. Aku tidak bisa menjawab karena kepalaku terasa sakit sekali.“Ayah, sakit,” kataku dengan lemas.Namun, ayah menginjak jari-jariku dan menendang tubuhku. Rasanya benar-benar sakit. Aku berteriak namun ayahku menutup mulutku menggunakan sepatunya.“KAU BENAR-BENAR BODOH. NAMA BAIK AYAHMU SEKARNG TERCEMAR. DAN ITU SEMUA SALAHMU ANAK SIALAN.”Aku meronta-ronta meminta ayahku melepaskan sepatunya dari mulutku. Namun dia semakin menjejalkan sepatu mahalnya itu di mulut anak perempuannya yang membuat salah satu gigiku ada yang patah Kau kejam sekali, ayah.Ayahku kemudian melepas
Hari senin yang cerah. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku mengambil kunci mobil dan berangkat ke sekolah. Ayah sedang sarapan dan dia terlihat tidak senang melihatku, dia lalu melempar gelas yang ia pegang ke arahku. Aku buru-buru berlari mengambil kunci mobil dan pergi keluar menuju mobil. Ibuku yang sedang berada di luar rumah berpura-oura tidak melihatku dan lanjut memainkan ponselnya.Saat aku sampai sekolah, aku sudah menduga bahwa orang-orang akan memperhatikan aku dengan tatapan seolah-olah aku binatang yang menjijikan. Sekolah tempatku belajar adalah sekolah elite berisikan murid-murid dengan orang tua yang kaya.Saat aku masuk kelas seluruh murid di kelas menjaga jarak denganku. Semuanya berbisik-bisik soal kasus itu dan juga memar di wajahku. Aku rasa mereka pun paham bagaimana cara orang-orang kaya menyelesaikan masalah, namun mereka tidak tahu bagaimana ayahku menyelesaikan masalahnya denganku. Aku tidak peduli bagaimana mereka memperlakukank
Aku mencoba untuk fokus ke jalan, namun aku tidak mampu melakukannya. Mataku terus tertuju pada pria di sebelahku ini. Jika ini terus berlanjut, kita berdua akan berakhir di rumah sakit karena keteledoranku.“Liam, gantikan aku menyetir,” kataku seraya berhenti di tepi jalan.“Memangnya ada apa denganmu?” tanya Liam yang kemudian turun dari mobilku.“Aku tidak bisa fokus pada jalan, aku sedang banyak pikiran,” ujarku beralasan.Kami lalu bertukar posisi dan kami pun melanjutkan perjalanan kami yang tidak bertujuan. Namun, sebagian besar alasan aku bertukar dengannya adalah karena dengan begini aku bisa memperhatikannya tanpa harus khawatir akan terjadi kecelakaan.“Kita mau kemana, nyonya?” tanya Liam yang membuatku tersadar dari lamunanku.“Aku lapar,” jawabku asal.“Kalau begitu kita pulang.”“Kenapa tidak makan diluar?” tanyaku.&ldquo
Aku rasa aku tidak pernah mencintai seseorang, atau mungkin aku pernah mencintai kedua orang tuaku. Tapi sekarang aku hanya mencintai harta mereka. Tapi kali ini berbeda, aku mencintai Liam, sungguh.“Hey, kau masih akan terdiam disana dan memperhatikan aku dengan mata seram itu?” tanya Liam yang membuatku tersadar. Tidak aku sangka aku sudah terlalu lama memikirkannya.“Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur disini,” kata Liam sambil menunjuk kearah kamarnya. Aku hanya mengangguk dan melangkahkan kakiku menuju kamar itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh. Aku lalu berbaring diatas ranjang Liam dan mencoba untuk tidur. Namun, semua pikiran tentang Liam datang dan membuatku tidak mengantuk. Aku bangun dari tempat tidur dan mengintip Liam dari balik pintu. Liam yang merasa kalau sedang diperhatikan lalu melihatku dan mengacungkan jari tengahnya kepadaku. Aku hanya tertawa ringan dan kembali ke tempat tidur. Selamat malam.Sinar matahar
Aku terkejut melihat ayah Ava di tempat ini dan Ava pun sama terkejutnya dengan aku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku khawatir akan pekerjaanku. Ruby sudah menuju ke lorong tempat ruang interogasi berada dan aku bisa melihat Ava yang tidak bisa bergerak karena tangannya di cengkram dengan sangat kuat oleh ayahnya, ayah kejam Ava sekaligus bos tempat aku bekerja.Aku segera menyusul Ruby menuju ruang interogasi dan meninggalkan Ava berdua dengan ayahnya di lobby kantor polisi. Beruntung ayahnya tidak menyadari aku yang berada di sampingnya. Aku lalu melihat orang berjas hitam dan 3 orang polisi yang mengawal Ruby masuk ke sebuah ruangan. Jendela ruangan itu sangat bersih sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam.Di dalam ruangan itu ada seorang pria berbadan kekar yang menggunakan jaket kulit hitam. Pria itu lalu mengeluarkan sebuah koper hitam dan meletakkan koper itu sesaat setelah polisi dan juga Ruby masuk ke dalam ruangan itu. Pria dengan jas hi
Hari sudah malam dan aku bisa mendengar ayahku yang sudah datang dan membanting pintu dengan keras. Aku berjalan tertatih-tatih menuju pintu kamarku dan menguncinya karena takut ayahku masuk kesini. Aku lalu kembali menuju tempat tidur, mencoba untuk tenang dan menahan rasa sakitku. Aku ingin pergi dari rumah ini, sungguh.Aku berpikir untuk pergi ke apartemen Liam, mungkin saja dia ada disana dan aku bisa bertemu dengan Ruby. Tapi, saat aku melihat ponselku, aku melihat pesan singkat yang Liam kirim untukku. Dia tidak ada di apartemennya dan sedang berada di kota tetangga karena membawa kabur Ruby dan juga uang ayahku. Kepalaku terasa seperti akan meledak mengetahui itu, sungguh. Bagaimana mereka berdua bisa bersama? Bukankah Martin bersama Ruby ketika di kantor polisi?Jika Liam berada di luar kota sekarang, maka nenek sekarang sendirian. Aku harus menemuinya. Sayang sekali itu tidak mudah dengan kondisiku yang sekarang, seluruh tubuhku terasa sakit dan yang lebih pa
Liam’s PoVKami berhenti di sebuah stasiun pengisian bahan bakar karena bensin mobil sudah menipis. Aku bisa melihat Ruby yang tengah tertidur dengan pulas, mungkin dia memang kelelahan. Setelah selesai aku pergi ke minimarket yang terletak tidak jauh dari tempat pengisian bahan bakar untuk membeli beberapa makanan ringan dan minuman karena hari sudah malam dan aku lapar. Sial, isi dompetku juga ikut menipis. Saat aku kembali ke mobil aku melihat Ruby sudah terbangun.“Darimana kau? Kenapa kau tidak membangunkanku?” tanya Ruby saat aku kembali.“Minimarket, aku lapar,” ucapku seraya memberikan belanjaanku kepadanya. Dia lalu melihat isinya dan mengambil roti dan juga minuman dingin.“Kita harus beristirahat, aku lelah sekali,” ucapku.Aku lalu menyusuri jalan kota ini dan melihat sebuah hotel yang tidak terlalu besar. Aku lalu memarkirkan mobil dan turun.“Kenapa kita pergi ke
Liam’s PoVHidup Ruby dalam bahaya, namun itu hanya perkiraan saja karena aku merasa ada yang janggal di dalam cerita Ava. Aku sebenarnya tidak tahu bagaimana caranya, hanya saja, aku tahu aku akan pulang dengan selamat.“Liam, bahaya apa yang kau maksud?” tanya Ruby yang bergidik ketakutan.“Akan kuceritakan ketika kita masuk ke kamar, saat ini, sebaiknya kita biarkan ponselku terisi dulu baterainya,” ucapku sambil melangkah menuju bar. Aku lalu meninggalkan ponselku di meja resepsionis dan memesan minuman di bar. Wajah Ruby terlihat pucat, mungkin dia memang sedang memikirkan bahaya apa yang aku maksud.“Liam, apakah aku akan mati?” tanya Ruby.“Entahlah.”“Aku tidak mau mati dulu,” ucapnya.Mendengarnya mengatakan itu membuatku teringat dengan Alita. Aku tidak sanggup menahan air mataku karena teringat dengannya. Ruby menyadari air mataku dan bertanya ada apa denganku, namun aku hanya menggeleng dan menuju ke resepsionis