Share

Santri Kecil bernama Aisha

Author: Hakimz
last update Last Updated: 2025-07-29 20:00:44

Pagi itu, ruang IGD tampak lebih tenang dari biasanya. Salma sedang meninjau hasil lab ketika perawat memanggil pelan, “Dok, ada pasien anak baru dari rawat jalan. Katanya dirujuk oleh Ustaz Zidan.”

Nama itu membuat Salma menoleh cepat. “Zidan?”

“Ya, katanya beliau wali sementara anak itu. Ibunya menitipkan karena sedang harus pulang ke kampung.”

Salma menarik napas pelan. “Baik, antar ke ruang evaluasi anak.”

Anak itu duduk tenang di kursi pemeriksaan. Berjilbab kecil warna ungu pastel, pipinya tembam, dan matanya cerah. Di pangkuannya ada boneka beruang kecil.

“Assalamu’alaikum,” sapa Salma lembut.

“Wa’alaikumussalam, Bu Dokter.”

“Namanya siapa?”

“Aisha.”

“Aisha umur berapa?”

“Delapan. Tapi kata Umi aku sudah seperti anak sepuluh tahun, soalnya aku sering hafal surat panjang.”

Salma tersenyum. “Hebat sekali.”

Tak lama kemudian, Zidan masuk ke ruangan. Ia terlihat canggung, mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu. Maskernya ia lepas saat bicara dengan Aisha.

“Afwan, Dok. Ini Aisha, anak dari jamaah masjid kami. Ibunya harus kembali ke kampung karena adiknya sakit parah. Beliau menitipkan Aisha selama dua pekan ke pesantren. Tapi pagi ini Aisha muntah darah dan kami bawa ke sini.”

Salma mengangguk, lalu fokus memeriksa hasil lab. Darah Aisha menunjukkan tanda-tanda anemia berat. Setelah pemeriksaan sumsum tulang dan tes lanjutan, ia tahu ini lebih dari sekadar demam biasa.

Salma menatap Zidan dengan hati-hati. “Ustaz… saya harus bicara serius. Ada kemungkinan besar Aisha menderita leukemia.”

Zidan memejamkan mata sesaat. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”

Beberapa jam kemudian, Salma duduk di ruang rapat kecil bersama Zidan. Ia memaparkan protokol terapi standar untuk leukemia akut: kemoterapi, transfusi berkala, dan pemantauan ketat.

Zidan mengangguk, tetapi ada ketegangan di matanya. “Dokter, saya percaya pada ikhtiar medis. Tapi… saya juga ingin Aisha diruqyah. Kami punya ustazah khusus yang biasa menangani anak-anak pesantren. Ini bukan menolak pengobatan, tapi sebagai bentuk tawakal.”

Salma terdiam. Ia menatap Zidan, mencoba menafsirkan maksud sebenarnya. “Saya tidak menentang doa. Tapi ruqyah bukan pengganti pengobatan. Kalau terlalu bergantung pada metode spiritual, kita bisa kehilangan momen penting dalam penyembuhan.”

Zidan membalas, “Dan kalau terlalu bergantung pada laboratorium, kita bisa kehilangan rahmat yang Allah kirimkan lewat jalan tak terlihat.”

Suasana memanas.

“Tapi saya yang bertanggung jawab atas nyawa anak ini sebagai dokter,” ucap Salma lebih keras dari biasanya.

Zidan menghela napas panjang. “Saya tahu. Dan saya tidak menantang itu. Saya hanya ingin Aisha mendapat dua hal sekaligus: ilmu dunia dan ikhtiar langit.”

Salma akhirnya mengangguk. “Baik. Tapi semua proses ruqyah harus melalui saya. Tidak boleh sembarangan. Dan Aisha harus tetap ikut seluruh rangkaian kemoterapi.”

“Deal.”

Hari-hari berikutnya menjadi uji kesabaran.

Salma dan Zidan harus berkomunikasi setiap hari. Ia mulai terbiasa melihat nama Zidan muncul di layar ponselnya:

Ustaz Zidan: Aisha agak lemas pagi ini. Tapi dia sempat hafalan surat Ar-Rahman sebelum tidur.

Dokter Salma: Terima kasih infonya. Jangan lupa bawa Aisha jam 10 untuk pemeriksaan darah.

Ustaz Zidan: Insya Allah. Dan tadi dia tanya kenapa Bu Dokter jarang senyum hari ini.

Salma terdiam membaca pesan itu. Lalu membalas:

Dokter Salma: Karena ada pasien kecil yang terlalu cepat membuat saya khawatir.

Suatu malam, Aisha demam tinggi dan mulai sesak napas. Salma dipanggil mendadak dan tiba di RS pukul 01.30 dini hari. Di sana, Zidan sudah lebih dulu tiba, menggendong Aisha sambil membacakan doa pelan di telinganya.

“Aisha bilang ingin dengar suara Ustaz sampai dia tidur,” ucap perawat.

Salma memeriksa tanda vital. Saturasi oksigen turun drastis. Ia langsung memutuskan rawat ICU sementara.

Dalam ruang tunggu ICU, Zidan duduk diam, menggenggam mushaf kecil. Salma duduk di sampingnya. Hening panjang menyelimuti.

“Dokter…” suara Zidan pelan. “Saya tahu ini bukan hal mudah. Tapi kalau nanti… kalau nanti Allah berkehendak lain, tolong jaga dia seperti anak sendiri.”

Salma menggigit bibir bawahnya. “Jangan bicara begitu. Kita belum kalah.”

Zidan tersenyum kecil. “Tapi kita juga harus siap. Semua amanah bisa diambil sewaktu-waktu.”

Salma menoleh, matanya berkaca. “Ustaz… jangan paksa saya kehilangan lagi.”

Zidan menatapnya. Tapi mereka tak sempat lanjut berbicara. Panggilan dari ICU memecah keheningan.

“Aisha kambuh. Kami butuh dokter penanggung jawab di dalam.”

Salma bangkit. “Bismillah.”

Zidan menatap langkahnya yang menjauh. Dalam hatinya, ia tahu: malam ini, mereka sedang bersama dalam dua medan sekaligus—ikhtiar bumi dan doa langit.

Dua hari setelah malam krisis itu, kondisi Aisha sedikit membaik. Tapi hasil tes terakhir menunjukkan penurunan kadar trombosit yang mengkhawatirkan. Salma memanggil Zidan ke ruang dokter.

"Ustaz, saya harus jujur. Kalau dalam 48 jam tidak ada perbaikan, kami harus pikirkan opsi transplantasi sumsum tulang. Tapi donor terdekat belum ditemukan. Ibunya pun belum bisa kembali ke Jakarta."

Zidan mengangguk perlahan, matanya muram. “Saya akan sampaikan ke ustazah ruqyah juga. Mungkin... mungkin ada yang perlu kami kaji ulang dalam ikhtiar ini.”

Salma menatapnya tajam. “Saya tidak menyalahkan ruqyah. Tapi ini bukan lagi tahap ringan. Saya mohon, jangan tunda satu hari pun untuk terapi lanjutan.”

Zidan mengangguk cepat. “Saya mengerti.”

Sore itu, Zidan duduk di sisi ranjang Aisha sambil membacakan ayat-ayat syifa. Aisha membuka mata perlahan. Bibirnya kering.

“Ustaz... kalau aku nggak bisa sembuh, boleh nggak hafalanku dititip ke orang lain?”

Zidan menahan napas. “Kenapa Aisha bicara begitu?”

“Aku mau surat Ar-Rahman tetap dibaca orang lain, kalau aku nggak bisa lanjut ngaji.”

Zidan mengusap pelan kepala Aisha. “Tidak, Nak. Kau belum selesai. Allah masih mendengarmu.”

Sementara itu, Salma berdiri diam di balik kaca pengawas ICU. Mendengar percakapan itu membuat dadanya sesak. Hatinya seakan diikat rasa yang sulit dijelaskan.

Malam ke-25 Ramadan.

Zidan dan Salma dipanggil ke ruang kepala ICU. Ada konsultan khusus dari Singapura yang kebetulan sedang bertugas dan menawarkan second opinion. Tapi semua sepakat: jika Aisha tidak menunjukkan peningkatan dalam 24 jam, maka peluang sembuh tinggal 10%.

Di luar ruang ICU, angin malam menusuk. Salma memeluk tubuhnya sendiri, berdiri di bawah lampu taman rumah sakit. Zidan menyusul dengan dua gelas kopi panas dari vending machine. Ia menyodorkan satu padanya.

Salma menerima, mengangguk kecil. “Terima kasih.”

“Doa tidak membuat kita sakti,” ucap Zidan tiba-tiba.

Salma menoleh pelan.

“Tapi doa membuat kita sanggup berdiri saat kita sudah kehilangan kekuatan berpikir.”

Salma mengangguk. “Dan ilmu medis... membuat kita tetap waras saat iman sedang compang-camping.”

Zidan tersenyum lemah. “Mungkin itu kenapa kita dipertemukan. Agar Aisha tidak hanya disembuhkan oleh satu arah.”

Mereka diam beberapa saat. Salma akhirnya berkata, “Ustaz… selama ini saya terlalu takut kehilangan. Sampai-sampai saya lupa, bahwa menjaga seseorang bukan berarti menahannya terus hidup.”

Zidan menunduk. “Saya pun takut. Tapi kalau takut jadi alasan menjauh, nanti kita kehilangan dua kali—jiwa yang pergi, dan hati yang tertinggal.”

Salma menggenggam gelas plastik hangat itu erat-erat. “Tapi bagaimana kalau ternyata Aisha pergi duluan?”

Zidan menatap langit malam. “Maka biarlah ia pergi dengan tenang. Dengan ayat-ayat Allah di hatinya. Dan dengan dua orang dewasa yang akhirnya bisa bekerja sama, bukan saling menyalahkan.”

Subuh hari ke-26 Ramadan. Alarm di IGD berbunyi keras. Salma berlari dari ruang rehat menuju ICU.

Aisha mengalami kejang. Tim medis bekerja cepat. Salma langsung turun tangan. Zidan berdiri di luar, membaca Al-Baqarah ayat 2:286 berulang kali.

Saat Salma keluar satu jam kemudian, wajahnya tegang tapi sedikit lega. “Stabil. Tapi kita harus siapkan banyak kemungkinan.”

Zidan mengangguk. “Saya tak akan pergi. Saya akan tunggu sampai Aisha bangun.”

Malam ke-27 Ramadan. Malam ganjil yang sering disebut Lailatul Qadar.

Aisha masih di ruang ICU. Salma memutuskan tak pulang. Ia menyempatkan diri ke musala kecil di lantai dua. Di sana, ia melihat Zidan sedang sujud lama sekali. Ia memilih duduk di baris belakang, membiarkan sunyi menuntunnya.

Setelah selesai, Zidan duduk di dekat rak mushaf. Mereka bertatapan singkat.

Salma akhirnya berkata lirih, “Saya ingin bicara tentang... takut.”

Zidan mendengarkan.

“Dulu saya pernah kehilangan adik di meja operasi. Ia leukemia juga. Sejak itu saya benci diam. Saya pikir, kalau saya terus aktif, terus kerja, saya nggak perlu mengingat... kehilangan itu.”

Zidan menunduk dalam. “Itu sebabnya Dokter begitu tegas pada pasien anak?”

“Dan itu sebabnya saya benci ruqyah. Karena dulu, alih-alih kemoterapi, orang tua saya pilih pengobatan alternatif. Dan kami terlambat.”

Zidan tak membantah. Ia hanya berkata, “Maafkan kami... yang kadang terlalu percaya jalan tak kasat mata.”

Salma menggeleng. “Justru saya yang harus belajar. Bahwa tak semua hal bisa saya kendalikan. Bahwa Allah... bisa sembuhkan lewat doa dan lewat infus sekaligus.”

Zidan tersenyum. “Luka lama... tidak harus jadi alasan untuk menghindar. Mungkin justru itu bekal paling jujur untuk merawat orang lain.”

Mata mereka bertemu. Lama. Tapi tak satu pun dari mereka mengucap kata bernama rasa.

Pagi hari ke-28 Ramadan.

Aisha membuka mata.

Salma langsung memanggil tim dokter. Zidan hampir menangis. “Alhamdulillah, Nak. Alhamdulillah.”

Aisha tersenyum lemah. “Ustaz... Bu Dokter... tadi aku mimpi... ada taman besar, dan aku baca Al-Mulk di sana. Tapi belum selesai. Terus aku bangun.”

Salma mengusap air matanya. “Kalau begitu kita harus pastikan kamu selesai hafal, ya?”

Aisha mengangguk. “Iya... sama Bu Dokter.”

Dua hari menjelang Idulfitri. Aisha masih harus dirawat, tapi kondisinya jauh membaik. Salma dan Zidan berdiri di depan jendela kamar rawat, memandang matahari sore.

“Ustaz…” Salma membuka suara. “Saya ingin lanjutkan hal yang kemarin sempat tertahan.”

Zidan menoleh.

“Saya ingin percaya bahwa takdir... bukan selalu tentang siapa bersama siapa. Tapi tentang siapa yang membuat kita lebih dekat kepada Allah.”

Zidan menatapnya penuh makna. “Kalau begitu... semoga saya termasuk yang seperti itu.”

Salma mengangguk. “Saya juga.”

Mereka diam. Tapi tak ada lagi jarak yang menggantung seperti sebelumnya.

Dan dari ranjangnya, Aisha berseru, “Ustaz, Bu Dokter! Aku berhasil hafal ayat terakhir Al-Mulk!”

Zidan dan Salma tertawa bersama. Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, mereka sama-sama tahu:

Mungkin rasa itu tak perlu tergesa. Mungkin cinta sedang mengaji—pelan-pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Ketika Dokter Salma Tahu Takdirnya

    Malam itu rumah sakit kota masih seperti biasa: sibuk, gaduh, sekaligus penuh paradoks. Di satu sisi, jeritan kesakitan dan tangisan keluarga memenuhi udara. Di sisi lain, ada doa-doa lirih, harapan, dan canda kecil dari perawat yang berusaha meringankan suasana.Salma baru saja melepas jas putihnya setelah hampir dua puluh jam berjaga. Rambutnya yang disanggul cepat mulai berantakan. Di wajahnya ada gurat lelah, tapi juga keteguhan yang sama seperti malam-malam sebelumnya.Ia berjalan ke ruang administrasi, mengambil sebuah amplop putih yang sudah lama ia tunggu. Itu hasil medical check-up yang ia lakukan seminggu lalu. Hanya perawat senior yang tahu ia menjalani tes itu, dan Salma sengaja tidak memberi tahu siapa pun—bahkan ibunya.Tangannya bergetar ketika membuka segel. Matanya menelusuri deretan angka dan istilah medis yang sudah sangat akrab. Namun kali ini, istilah itu bukan milik pasien… melainkan miliknya sendiri.Ada sesuatu yang sa

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Fatwa Sang Kiai

    Langit sore merona lembayung. Jalanan menuju pesantren itu dipenuhi pepohonan tua yang menjulang, seakan menjadi gerbang menuju dunia lain yang lebih teduh. Salma memegang tas kecil berisi catatan medis yang tadi terbawa dari rumah sakit. Rambutnya yang terurai ia rapikan dengan cepat, mencoba menyembunyikan lelah setelah hampir dua puluh jam berjaga di IGD.Di sampingnya, Zidan berjalan dengan langkah mantap. Jubah putih sederhana melekat pada tubuhnya, tasbih kecil tergenggam di tangan kanan. Meski wajahnya tampak tenang, di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang belum ia pecahkan.“Terima kasih sudah ikut, Dokter,” ucap Zidan pelan.Salma menoleh, lalu tersenyum samar. “Aku yang terima kasih. Sudah lama saya ingin bertemu langsung dengan Kiai Ma’ruf. Banyak teman bilang, beliau bukan hanya alim, tapi juga bisa membaca hati orang.&rd

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Suara Adzan di Hati Salma

    Langkah kaki Salma meninggalkan aula kampus dengan perlahan. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan menyala temaram, memantulkan cahaya ke genangan air sisa hujan. Udara lembab menusuk hingga ke dalam paru-parunya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa hangat, meski tubuhnya masih letih setelah seharian jaga di rumah sakit.Kalimat yang ditulisnya di buku catatan tadi, “Mungkin doa ini akan berlanjut di tempat lain”, terus berputar dalam benaknya. Ia berjalan menuju halte bus kampus, duduk sendirian, menatap langit yang samar-samar berawan.Telinganya tiba-tiba menangkap suara adzan dari masjid kampus yang tak jauh dari aula. Lamat-lamat, suara muadzin menembus keramaian kendaraan. “Allahu akbar, Allahu akbar…”

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Tausiyah di Kampus

    Suasana aula kampus sore itu berbeda dari biasanya. Spanduk putih dengan tulisan besar “Kajian Islam Mahasiswa – Hati yang Selalu Mencari Allah” terbentang di depan. Karpet hijau dibentangkan, deretan sandal menumpuk di luar pintu. Aroma hujan yang baru saja reda masih terasa menusuk hidung, membawa hawa lembab yang menenangkan.Salma berjalan pelan, langkahnya diseret karena tubuhnya lelah setelah shift jaga di rumah sakit pagi hingga siang. Ia sempat ragu, ingin langsung pulang, tidur, lalu melupakan semuanya. Tapi entah kenapa, hatinya tergerak untuk singgah di kajian ini. Ada sesuatu yang menuntunnya, semacam panggilan halus yang tak bisa ia abaikan.Aula sudah hampir penuh. Mahasiswa putri duduk di sisi kanan, berderet dengan mukena putih dan jilbab warna pastel. Mahasiswa putra di sisi kiri, sebagian masih bercanda sambil menunggu acara dimulai. Di depan, sebuah mimbar kecil sudah disiapkan dengan mikrofon dan segelas air putih.Salma memilih duduk agak belakang, tak ingin terla

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Zidan dan Perempuan Berbaju Putih

    Langit pagi menggantungkan awan tipis seperti tirai putih yang belum sempat dilipat. Embun masih melekat di daun-daun ketapang di taman belakang rumah sakit. Taman kecil itu sunyi, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah sesekali dari petugas kebersihan yang belum menyapa hari sepenuhnya.Zidan duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan kecil. Gamis biru langit membalut tubuhnya, sementara sorban tipis melingkar di lehernya. Di tangannya, mushaf kecil terbuka, jari-jarinya membalik halaman dengan hati-hati, seolah menyentuh ayat-ayat dengan rasa takut yang lembut.Baru saja ia selesai mengisi kajian Subuh di masjid rumah sakit—kajian rutin yang biasa ia isi dua pekan sekali, undangan dari divisi kerohanian. Tapi hari ini, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke pesantren. Ada ganjalan di dadanya yang belum selesai, meski bacaan Al-Baqarah barusan telah ia ulang tiga kali.Ia menarik napas panjang, dalam, seolah ingin menenggelamkan segala gema

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Surat dari Ayah Salma

    Langit malam perlahan menuruni kelamnya seperti tirai hitam yang ditarik dari sisi langit, menyelimuti bumi dengan keheningan yang hampir khusyuk. Kota terasa seperti melambat, kendaraan yang lalu-lalang di kejauhan terdengar bagai bisikan angin tua. Di balik jendela kontrakan sederhana Salma, tirai krem berumbai digerakkan angin, menyentuh kaca dalam gerakan ringan seperti lambaian tangan tak kasat mata.Kamar itu sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam dinding yang berdetak seperti bisikan waktu, menyayat detik demi detik. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning temaram, menciptakan bayangan panjang dari benda-benda kecil: mug teh yang tinggal separuh, map pasien berjejer tak rapi, mushaf kecil yang terbuka di atas sajadah.Salma duduk bersandar lemah di sisi tempat tidurnya, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam keheningan kamar yang remang. Punggungnya menyentuh dinding dingin yang dilapisi cat putih gading, yang mulai mengelupas di sudut-sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status