Share

Sahur di RS

Author: Hakimz
last update Last Updated: 2025-07-29 21:01:50

Malam ke-29 Ramadan datang dengan sunyi yang kental. Di rumah sakit tempat Salma bertugas, suasana sepi menjelang pukul tiga dini hari. Alarm mesin infus dan langkah perawat yang sesekali terdengar di lorong menjadi satu-satunya penanda bahwa tempat itu masih hidup.

Ruang jaga dokter malam itu hanya menyala lampu baca di pojok ruangan. Salma duduk sendirian di kursi kerja, membuka bekal sahur dari rumah: nasi, tahu tempe bacem, dan sedikit oseng buncis. Matanya sembab karena kantuk, tapi ia tetap menyuap pelan makanannya.

Ia tak menyadari bahwa pintu ruang jaga perlahan terbuka. Zidan muncul dengan langkah hati-hati, membawa termos kecil dan dua gelas plastik. Ia terdiam sejenak, melihat Salma yang terpekur.

“Oh, saya kira ruangan ini kosong,” ucapnya pelan.

Salma menoleh. “Ustaz?” Ia terkejut, tapi tidak merasa risih. Justru ada ketenangan yang perlahan menyelinap.

“Saya baru selesai dari ruang pasien. Aisha sempat minta ditemani baca doa sebelum tidur.”

Salma mengangguk. “Dia semakin membaik.”

“Alhamdulillah.” Zidan meletakkan termos di atas meja. “Saya bawa bubur kacang hijau. Mau?”

“Boleh.”

Mereka duduk berhadapan. Tak ada sekat dokter dan ustaz malam itu, hanya dua manusia yang lelah tapi tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk menyapa satu sama lain.

“Ramadan tahun ini terasa aneh, ya?” gumam Salma sambil menyeruput bubur hangat.

“Kenapa aneh?” tanya Zidan, menatapnya.

“Karena saya justru merasa lebih banyak bicara dengan Allah. Di tengah IGD, di ruang pasien, bahkan saat antar file ke laboratorium.”

“Itu bukan aneh,” jawab Zidan pelan. “Mungkin Allah sedang menarikmu lebih dekat, bukan lewat majelis ilmu atau masjid, tapi lewat luka-luka di sekitarmu.”

Salma tersenyum kecil. “Dan Ustaz? Ramadan ini bagaimana?”

Zidan menatap gelasnya. “Berat. Tapi indah. Saya tidak menyangka bisa begini dekat dengan orang yang... awalnya hanya saya temui di lorong IGD.”

Salma menunduk.

Waktu sahur makin menipis. Suasana hening berganti dengan percakapan yang mulai membuka luka lama.

“Boleh saya cerita?” tanya Salma tiba-tiba.

Zidan mengangguk.

“Dulu saya pernah jatuh cinta pada laki-laki yang tampak sangat agamis. Ia punya banyak hafalan, rajin ke masjid, kata-katanya selalu menenangkan.”

Zidan menatap dalam-dalam, tanpa menyela.

“Tapi ternyata... dia menjalin hubungan dengan saya hanya sebagai pelengkap citra. Di belakang, dia diam-diam bertunangan dengan perempuan lain. Lalu menikah. Saya tahu dari foto undangan yang tersebar di media sosial.”

Zidan menunduk. “Astaghfirullah...”

“Itu membuat saya ragu. Bukan pada agama, tapi pada manusia yang menjadikan agama sebagai topeng.”

Sunyi mengendap.

“Saya bisa paham,” jawab Zidan pelan. “Karena saya pun pernah ditinggalkan oleh perempuan yang merasa kehidupan saya terlalu penuh batas.”

Salma menoleh.

“Dia orang baik. Ambisius, punya banyak pencapaian. Tapi ketika saya ajak untuk hidup dengan ritme dakwah dan kesederhanaan, dia bilang itu akan membunuh masa depannya. Kami berpisah menjelang akad.”

Salma menatap lantai. “Mungkin kita berada di dua sisi dunia yang sama-sama pernah disalahpahami.”

Zidan tersenyum tipis. “Mungkin karena itu kita saling mengerti, tapi juga sama-sama menjaga jarak.”

Salma balas tersenyum. “Menjaga jarak bukan karena tidak ingin dekat. Tapi karena takut luka yang sama datang lagi.”

Zidan mengangguk pelan. “Benar.”

Waktu subuh menjelang. Salma pamit ke musala lantai dua untuk salat. Beberapa menit kemudian, Zidan menyusul ke lantai atas untuk mengambil mushafnya yang tertinggal di rak. Saat melewati lorong depan musala, ia mendengar suara lirih.

Tangisan.

Ia menoleh dan melihat Salma duduk di pojok, mukena masih menutupi tubuhnya, wajahnya tertunduk, bahunya terguncang.

Zidan terdiam. Beberapa langkah ia mendekat, ragu. Lalu duduk tak jauh darinya.

“Dokter...” suaranya pelan, nyaris bisikan.

Salma mengangkat wajah. Matanya sembab, pipinya basah. Tapi ia tidak berkata apa-apa.

Zidan refleks mengangkat tangan, ingin menyentuh bahunya. Tapi tangannya berhenti di tengah udara.

Ia menariknya kembali.

Salma menyadarinya. Tapi ia tidak tersinggung. Ia justru menghela napas panjang dan berkata, “Terima kasih karena tidak menyentuh.”

Zidan tersenyum lemah. “Saya tahu, luka tidak selalu bisa diobati dengan pelukan.”

Mereka diam. Tapi diam itu bukan lagi tanda jarak. Diam itu adalah jeda, tempat dua hati yang belum pulih saling menunggu.

Di luar, azan subuh berkumandang. Dan malam itu, bukan hanya tubuh mereka yang merasa cukup... tapi hati mereka pun mulai mengerti: ada perasaan yang tidak harus dikejar, cukup disucikan.

Pagi hari setelah subuh, Salma kembali ke ruang jaga dengan langkah perlahan. Wajahnya masih menyisakan bekas tangis, tapi ada ketenangan baru di matanya. Zidan menyusul dengan dua cangkir kopi dari pantry lantai bawah.

“Mau?” tawarnya lembut.

Salma menerima. Mereka duduk tanpa bicara, hanya saling memandang dan menyeruput kopi panas yang mengepul.

Tak lama, Salma berkata, “Kalau saya menulis surat untuk diri saya yang lima tahun lalu, mungkin saya akan bilang: ‘Percayalah, luka ini tidak selamanya membuatmu benci.’”

Zidan menatapnya penuh simpati. “Dan kalau saya bisa menulis surat untuk diri saya yang dulu, saya akan bilang: ‘Ikhlaskan. Karena yang pergi bukan jodohmu, tapi pelajaran terbaikmu.’”

Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Justru hening yang hangat, seperti dua ruh saling tahu bahwa mereka pernah sama-sama kecewa, tapi kini saling menemani dalam pemulihan.

Saat fajar mulai meredup, dan sinar matahari pertama menyusup ke balik tirai jendela, mereka tahu bahwa meskipun belum ada janji yang terucap, ada satu hal yang tumbuh perlahan-lahan:

Harapan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Ketika Dokter Salma Tahu Takdirnya

    Malam itu rumah sakit kota masih seperti biasa: sibuk, gaduh, sekaligus penuh paradoks. Di satu sisi, jeritan kesakitan dan tangisan keluarga memenuhi udara. Di sisi lain, ada doa-doa lirih, harapan, dan canda kecil dari perawat yang berusaha meringankan suasana.Salma baru saja melepas jas putihnya setelah hampir dua puluh jam berjaga. Rambutnya yang disanggul cepat mulai berantakan. Di wajahnya ada gurat lelah, tapi juga keteguhan yang sama seperti malam-malam sebelumnya.Ia berjalan ke ruang administrasi, mengambil sebuah amplop putih yang sudah lama ia tunggu. Itu hasil medical check-up yang ia lakukan seminggu lalu. Hanya perawat senior yang tahu ia menjalani tes itu, dan Salma sengaja tidak memberi tahu siapa pun—bahkan ibunya.Tangannya bergetar ketika membuka segel. Matanya menelusuri deretan angka dan istilah medis yang sudah sangat akrab. Namun kali ini, istilah itu bukan milik pasien… melainkan miliknya sendiri.Ada sesuatu yang sa

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Fatwa Sang Kiai

    Langit sore merona lembayung. Jalanan menuju pesantren itu dipenuhi pepohonan tua yang menjulang, seakan menjadi gerbang menuju dunia lain yang lebih teduh. Salma memegang tas kecil berisi catatan medis yang tadi terbawa dari rumah sakit. Rambutnya yang terurai ia rapikan dengan cepat, mencoba menyembunyikan lelah setelah hampir dua puluh jam berjaga di IGD.Di sampingnya, Zidan berjalan dengan langkah mantap. Jubah putih sederhana melekat pada tubuhnya, tasbih kecil tergenggam di tangan kanan. Meski wajahnya tampak tenang, di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang belum ia pecahkan.“Terima kasih sudah ikut, Dokter,” ucap Zidan pelan.Salma menoleh, lalu tersenyum samar. “Aku yang terima kasih. Sudah lama saya ingin bertemu langsung dengan Kiai Ma’ruf. Banyak teman bilang, beliau bukan hanya alim, tapi juga bisa membaca hati orang.&rd

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Suara Adzan di Hati Salma

    Langkah kaki Salma meninggalkan aula kampus dengan perlahan. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan menyala temaram, memantulkan cahaya ke genangan air sisa hujan. Udara lembab menusuk hingga ke dalam paru-parunya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa hangat, meski tubuhnya masih letih setelah seharian jaga di rumah sakit.Kalimat yang ditulisnya di buku catatan tadi, “Mungkin doa ini akan berlanjut di tempat lain”, terus berputar dalam benaknya. Ia berjalan menuju halte bus kampus, duduk sendirian, menatap langit yang samar-samar berawan.Telinganya tiba-tiba menangkap suara adzan dari masjid kampus yang tak jauh dari aula. Lamat-lamat, suara muadzin menembus keramaian kendaraan. “Allahu akbar, Allahu akbar…”

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Tausiyah di Kampus

    Suasana aula kampus sore itu berbeda dari biasanya. Spanduk putih dengan tulisan besar “Kajian Islam Mahasiswa – Hati yang Selalu Mencari Allah” terbentang di depan. Karpet hijau dibentangkan, deretan sandal menumpuk di luar pintu. Aroma hujan yang baru saja reda masih terasa menusuk hidung, membawa hawa lembab yang menenangkan.Salma berjalan pelan, langkahnya diseret karena tubuhnya lelah setelah shift jaga di rumah sakit pagi hingga siang. Ia sempat ragu, ingin langsung pulang, tidur, lalu melupakan semuanya. Tapi entah kenapa, hatinya tergerak untuk singgah di kajian ini. Ada sesuatu yang menuntunnya, semacam panggilan halus yang tak bisa ia abaikan.Aula sudah hampir penuh. Mahasiswa putri duduk di sisi kanan, berderet dengan mukena putih dan jilbab warna pastel. Mahasiswa putra di sisi kiri, sebagian masih bercanda sambil menunggu acara dimulai. Di depan, sebuah mimbar kecil sudah disiapkan dengan mikrofon dan segelas air putih.Salma memilih duduk agak belakang, tak ingin terla

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Zidan dan Perempuan Berbaju Putih

    Langit pagi menggantungkan awan tipis seperti tirai putih yang belum sempat dilipat. Embun masih melekat di daun-daun ketapang di taman belakang rumah sakit. Taman kecil itu sunyi, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah sesekali dari petugas kebersihan yang belum menyapa hari sepenuhnya.Zidan duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan kecil. Gamis biru langit membalut tubuhnya, sementara sorban tipis melingkar di lehernya. Di tangannya, mushaf kecil terbuka, jari-jarinya membalik halaman dengan hati-hati, seolah menyentuh ayat-ayat dengan rasa takut yang lembut.Baru saja ia selesai mengisi kajian Subuh di masjid rumah sakit—kajian rutin yang biasa ia isi dua pekan sekali, undangan dari divisi kerohanian. Tapi hari ini, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke pesantren. Ada ganjalan di dadanya yang belum selesai, meski bacaan Al-Baqarah barusan telah ia ulang tiga kali.Ia menarik napas panjang, dalam, seolah ingin menenggelamkan segala gema

  • Dosa Berdenyut Rindu – Ustadz Zidan VS Dokter Salma   Surat dari Ayah Salma

    Langit malam perlahan menuruni kelamnya seperti tirai hitam yang ditarik dari sisi langit, menyelimuti bumi dengan keheningan yang hampir khusyuk. Kota terasa seperti melambat, kendaraan yang lalu-lalang di kejauhan terdengar bagai bisikan angin tua. Di balik jendela kontrakan sederhana Salma, tirai krem berumbai digerakkan angin, menyentuh kaca dalam gerakan ringan seperti lambaian tangan tak kasat mata.Kamar itu sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam dinding yang berdetak seperti bisikan waktu, menyayat detik demi detik. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning temaram, menciptakan bayangan panjang dari benda-benda kecil: mug teh yang tinggal separuh, map pasien berjejer tak rapi, mushaf kecil yang terbuka di atas sajadah.Salma duduk bersandar lemah di sisi tempat tidurnya, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam keheningan kamar yang remang. Punggungnya menyentuh dinding dingin yang dilapisi cat putih gading, yang mulai mengelupas di sudut-sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status