Ramadan memasuki hari ke-10 ketika Salma merasa ada yang hilang dalam dirinya. Kesibukan di rumah sakit makin menggila, pasien IGD tak putus datang, dan tubuhnya lelah. Tapi yang paling terasa adalah hatinya yang kosong.
Selama bertahun-tahun, Salma selalu mengisi bulan Ramadan dengan shift gawat darurat, tak pernah ikut tarawih penuh, apalagi majelis ilmu. Tapi malam itu, ia membuka G****e Maps dan mengetik: "kelas tahsin sore Jakarta Selatan."
Matanya tertumbuk pada satu flyer digital: "Kelas Tahsin Ramadan – Masjid Al-Mukhlisin. Sore setiap pukul 16.00, terbuka untuk umum, ikhwan dan akhwat terpisah."
Ada dorongan aneh yang membuatnya berkemas sore itu, mengambil mushaf dan mukena, lalu mengendarai mobil ke arah masjid tersebut. Letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Dalam hati, ia berdoa, semoga Allah ridha.
Masjid Al-Mukhlisin berdiri sederhana namun rapi. Halamannya bersih, dan wangi kayu gaharu menyambut di pintu masuk. Salma masuk ke area akhwat. Hatinya sedikit berdebar, perasaan asing namun damai menyelinap.
Ia duduk paling belakang, mencoba tidak menarik perhatian. Tak lama, suara mikrofon menyala dari balik tirai pemisah.
"Kita mulai dengan surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 5. Mari bersama-sama baca perlahan. Bismillahirrahmanirrahim..."
Suara itu.
Suara yang membuat jantung Salma bergetar aneh.
Ia mengenalnya.
Itu suara Zidan.
Salma membetulkan duduknya. Jilbabnya terasa sempit. Suara Zidan mengalun dari ruang ikhwan, tenang, jernih, penuh tajwid dan makhraj yang sempurna. Hati Salma menghangat dan bergetar bersamaan.
"Shadid al-‘aql, lembut dalam lisan," bisiknya sendiri.
Setiap bacaan dilantunkan Zidan terasa seperti pelipur gundah. Ia tak sanggup menatap ke arah tirai. Salma hanya menunduk, membiarkan air mata jatuh saat Zidan menjelaskan tafsir ringkas ayat:
"...mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Ia tak menyangka, ustaz yang dulu hanya dilihat sekilas di lorong IGD, kini duduk di balik mikrofon, membacakan firman Allah ke dalam ruang hatinya yang kosong.
Selepas kelas, Salma menghampiri panitia akhwat. “Assalamu’alaikum, ukhti. Kalau ingin ikut kelas ini rutin, apakah perlu daftar dulu?”
"Wa’alaikumussalam warahmatullah. Tidak perlu, langsung datang saja setiap sore. Kalau ingin konsultasi tajwid juga boleh, Ustaz Zidan sangat terbuka untuk bimbingan."
Nama itu kembali terucap. Salma mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Syukran katsiran.”
Hari berikutnya, Salma kembali datang. Kali ini duduk lebih depan. Ia mencatat setiap penjelasan Zidan tentang hukum mad, ikhfa, dan tafsir ringkas. Tapi pikirannya kadang melayang saat mendengar suara itu—terasa terlalu merdu untuk sekadar pelajaran bacaan.
Di hari ketiga, ia memberanikan diri mengirim pertanyaan tertulis via panitia: “Bagaimana menyembuhkan hati yang sering lelah dan merasa kosong, Ustaz?”
Zidan membacanya di depan umum, tanpa tahu siapa penanya.
"Lelah itu fitrah. Bahkan Rasulullah pun pernah bersedih, pernah gelisah. Tapi jangan biarkan hati terlalu percaya bahwa dunia bisa menyembuhkannya. Hati itu tempatnya zikir, bukan tempat singgah luka yang terus dipelihara."
Salma menunduk. Jawaban itu tepat. Seolah Zidan sedang berbicara langsung kepadanya.
Sore keempat, kelas tahsin selesai lebih cepat. Beberapa peserta bertanya tentang wakaf dan tajwid. Salma menunggu sampai suasana sepi, lalu menghampiri panitia.
“Boleh saya konsultasi langsung ke ustaz?”
Panitia tersenyum, “Sebentar ya, kami panggilkan.”
Salma berdiri di dekat rak buku. Tak lama, Zidan muncul dari balik ruang ikhwan, dengan masker medis setengah terlipat. Saat mata mereka bertemu, Salma gugup.
"Assalamu’alaikum, Dokter Salma?" Zidan tampak terkejut, tapi suaranya tetap tenang.
"Wa’alaikumussalam, Ustaz Zidan. Maaf tiba-tiba datang ke kelas tahsin."
"Justru saya bersyukur. Ilmu tajwid untuk semua."
Mereka duduk di beranda masjid, berjarak aman. Salma membuka mushaf kecil.
"Saya masih sering salah pada huruf ‘ain dan ha. Dan... mungkin, saya juga sedang mencari cara mengobati luka yang lain."
Zidan menatap mushaf itu sejenak, lalu berkata lirih:
"Luka hati berbeda dengan luka fisik, Dok. Kalau luka fisik, cukup diobati dan diberi waktu. Tapi luka hati? Kadang kita harus membiarkannya dilihat oleh Allah dulu, baru sembuh."
Salma terdiam. Kalimat itu lebih dalam dari yang ia duga.
"Dan kalau boleh saya jujur... sejak malam itu, saya juga sedang belajar memahami makna hadirnya seseorang yang tak disangka-sangka."
Salma menatap langit senja. Warna jingga menyelimuti menara masjid.
Beberapa hari kemudian, pengurus masjid membuka pendaftaran relawan Ramadan. Panitia kesehatan butuh dokter jaga saat takjil dan salat tarawih.
Salma melihat brosur itu di grup W******p kelas tahsin. Ia menatap layar lama sekali. Hatiku sedang apa ini, ya Allah? Tapi sebelum ragu menguasai, jemarinya sudah mengetik: “Saya bersedia jadi relawan kesehatan masjid.”
Sejak hari itu, Salma harus bertemu Zidan setiap minggu.
Dan jiwanya tahu, ini bukan kebetulan.
Minggu sore. Kelas tahsin baru saja selesai. Para peserta mulai bubar. Salma duduk di pelataran masjid, memeriksa tensi salah satu ibu jemaah yang sempat mengeluh pusing. Di pojok yang teduh, Zidan berdiskusi dengan Ustaz Faris.
“Antum kelihatan berat akhir-akhir ini,” kata Faris pelan. “Ada yang berubah?”
Zidan menunduk. “Ada yang hadir, bukan karena kuundang. Tapi Allah kirimkan... dan kini aku diuji untuk tetap menjaga arah.”
Faris mengangguk. “Hati bisa lunak oleh yang tidak kita sangka. Tapi jangan sampai ia melenceng dari yang haq. Rasa itu tak salah, asal kau tahu tempat menyimpannya.”
Zidan hanya menjawab dengan istighfar.
Sementara itu, Salma sedang membantu seorang anak kecil yang terjatuh di halaman. Saat ia membalut luka di lutut anak itu, sang ibu berkata lirih, “Dokter ini beda. Lembut sekali.”
Salma tersenyum. Tapi dalam hatinya, ia berkata, "Aku hanya sedang belajar menjadi utuh."
Pada suatu sore, hujan turun sebelum waktu kelas tahsin. Masjid lengang. Salma datang lebih awal dan menunggu di perpustakaan kecil masjid. Di tangannya sebuah buku tafsir Ibnu Katsir.
Langkah kaki terdengar masuk. Zidan datang lebih awal dari biasanya. Mereka kaget saat bertemu mata. Keheningan itu panjang.
“Afwan... saya kira ruang ini kosong,” ucap Zidan pelan.
“Tidak apa-apa, Ustaz. Saya hanya membaca.”
“Boleh saya duduk?”
Salma mengangguk. Mereka duduk berjarak. Hening. Tapi tenang. Salma akhirnya berkata, “Kadang saya iri pada ayat-ayat itu. Mereka begitu pasti... sedangkan saya, begitu gamang.”
Zidan menatap halaman buku tafsir. “Ayat-ayat itu pun turun di masa gamang, Dok. Bahkan Rasul menangis saat Jibril lama tak datang. Yang penting kita tetap di jalan menunggu cahaya.”
Hening lagi. Tapi kali ini lebih khusyuk.
Beberapa hari kemudian, ada relawan baru di tim masjid: Aisyah, seorang mahasiswi muda yang ceria dan vokal. Ia tampak sangat akrab dengan Zidan, karena ternyata dulu sempat nyantri di pesantren tempat Zidan mengajar.
Salma mulai menarik diri. Ia tetap hadir sebagai relawan, tapi tak lagi ikut tahsin. Ia mulai menolak konsultasi tajwid. Hatinya menahan gelombang yang belum sempat ia pahami.
Zidan menyadari perubahannya. Lewat panitia, ia menitipkan kertas kecil:
“Jika ada yang membuat hati jadi jauh, semoga Allah mampukan saya memperbaikinya.”
Salma membaca surat itu berkali-kali. Ia tak tahu harus apa. Tapi malam itu, ia menangis lama dalam sujud terakhirnya.
Malam ke-20 Ramadan. Masjid penuh. Kelas tahsin ditiadakan karena fokus pada qiyamullail. Salma datang untuk membantu tim kesehatan.
Di sela tugas, ia sempat melangkah ke arah ruang utama. Di sana, Zidan sedang dalam sujud yang panjang. Terlalu lama hingga membuat dada Salma sesak.
“Ya Allah... kalau dalam sujud itu ada namaku, jagalah ia untuk-Mu, bukan untukku.”
Air matanya jatuh. Tidak keras, tidak menyayat. Tapi cukup membuat ia mengerti:
Rasa ini sedang diuji. Dan mungkin... memang tidak harus disebut dengan kata.
Malam itu rumah sakit kota masih seperti biasa: sibuk, gaduh, sekaligus penuh paradoks. Di satu sisi, jeritan kesakitan dan tangisan keluarga memenuhi udara. Di sisi lain, ada doa-doa lirih, harapan, dan canda kecil dari perawat yang berusaha meringankan suasana.Salma baru saja melepas jas putihnya setelah hampir dua puluh jam berjaga. Rambutnya yang disanggul cepat mulai berantakan. Di wajahnya ada gurat lelah, tapi juga keteguhan yang sama seperti malam-malam sebelumnya.Ia berjalan ke ruang administrasi, mengambil sebuah amplop putih yang sudah lama ia tunggu. Itu hasil medical check-up yang ia lakukan seminggu lalu. Hanya perawat senior yang tahu ia menjalani tes itu, dan Salma sengaja tidak memberi tahu siapa pun—bahkan ibunya.Tangannya bergetar ketika membuka segel. Matanya menelusuri deretan angka dan istilah medis yang sudah sangat akrab. Namun kali ini, istilah itu bukan milik pasien… melainkan miliknya sendiri.Ada sesuatu yang sa
Langit sore merona lembayung. Jalanan menuju pesantren itu dipenuhi pepohonan tua yang menjulang, seakan menjadi gerbang menuju dunia lain yang lebih teduh. Salma memegang tas kecil berisi catatan medis yang tadi terbawa dari rumah sakit. Rambutnya yang terurai ia rapikan dengan cepat, mencoba menyembunyikan lelah setelah hampir dua puluh jam berjaga di IGD.Di sampingnya, Zidan berjalan dengan langkah mantap. Jubah putih sederhana melekat pada tubuhnya, tasbih kecil tergenggam di tangan kanan. Meski wajahnya tampak tenang, di balik sorot mata itu, ada kegelisahan yang belum ia pecahkan.“Terima kasih sudah ikut, Dokter,” ucap Zidan pelan.Salma menoleh, lalu tersenyum samar. “Aku yang terima kasih. Sudah lama saya ingin bertemu langsung dengan Kiai Ma’ruf. Banyak teman bilang, beliau bukan hanya alim, tapi juga bisa membaca hati orang.&rd
Langkah kaki Salma meninggalkan aula kampus dengan perlahan. Malam sudah turun, lampu-lampu jalan menyala temaram, memantulkan cahaya ke genangan air sisa hujan. Udara lembab menusuk hingga ke dalam paru-parunya, tapi ada sesuatu yang berbeda. Dadanya terasa hangat, meski tubuhnya masih letih setelah seharian jaga di rumah sakit.Kalimat yang ditulisnya di buku catatan tadi, “Mungkin doa ini akan berlanjut di tempat lain”, terus berputar dalam benaknya. Ia berjalan menuju halte bus kampus, duduk sendirian, menatap langit yang samar-samar berawan.Telinganya tiba-tiba menangkap suara adzan dari masjid kampus yang tak jauh dari aula. Lamat-lamat, suara muadzin menembus keramaian kendaraan. “Allahu akbar, Allahu akbar…”
Suasana aula kampus sore itu berbeda dari biasanya. Spanduk putih dengan tulisan besar “Kajian Islam Mahasiswa – Hati yang Selalu Mencari Allah” terbentang di depan. Karpet hijau dibentangkan, deretan sandal menumpuk di luar pintu. Aroma hujan yang baru saja reda masih terasa menusuk hidung, membawa hawa lembab yang menenangkan.Salma berjalan pelan, langkahnya diseret karena tubuhnya lelah setelah shift jaga di rumah sakit pagi hingga siang. Ia sempat ragu, ingin langsung pulang, tidur, lalu melupakan semuanya. Tapi entah kenapa, hatinya tergerak untuk singgah di kajian ini. Ada sesuatu yang menuntunnya, semacam panggilan halus yang tak bisa ia abaikan.Aula sudah hampir penuh. Mahasiswa putri duduk di sisi kanan, berderet dengan mukena putih dan jilbab warna pastel. Mahasiswa putra di sisi kiri, sebagian masih bercanda sambil menunggu acara dimulai. Di depan, sebuah mimbar kecil sudah disiapkan dengan mikrofon dan segelas air putih.Salma memilih duduk agak belakang, tak ingin terla
Langit pagi menggantungkan awan tipis seperti tirai putih yang belum sempat dilipat. Embun masih melekat di daun-daun ketapang di taman belakang rumah sakit. Taman kecil itu sunyi, hanya suara gemerisik dedaunan dan langkah sesekali dari petugas kebersihan yang belum menyapa hari sepenuhnya.Zidan duduk di bangku kayu yang menghadap kolam ikan kecil. Gamis biru langit membalut tubuhnya, sementara sorban tipis melingkar di lehernya. Di tangannya, mushaf kecil terbuka, jari-jarinya membalik halaman dengan hati-hati, seolah menyentuh ayat-ayat dengan rasa takut yang lembut.Baru saja ia selesai mengisi kajian Subuh di masjid rumah sakit—kajian rutin yang biasa ia isi dua pekan sekali, undangan dari divisi kerohanian. Tapi hari ini, ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke pesantren. Ada ganjalan di dadanya yang belum selesai, meski bacaan Al-Baqarah barusan telah ia ulang tiga kali.Ia menarik napas panjang, dalam, seolah ingin menenggelamkan segala gema
Langit malam perlahan menuruni kelamnya seperti tirai hitam yang ditarik dari sisi langit, menyelimuti bumi dengan keheningan yang hampir khusyuk. Kota terasa seperti melambat, kendaraan yang lalu-lalang di kejauhan terdengar bagai bisikan angin tua. Di balik jendela kontrakan sederhana Salma, tirai krem berumbai digerakkan angin, menyentuh kaca dalam gerakan ringan seperti lambaian tangan tak kasat mata.Kamar itu sunyi. Hanya terdengar detak jarum jam dinding yang berdetak seperti bisikan waktu, menyayat detik demi detik. Lampu meja di sudut ruangan memancarkan cahaya kuning temaram, menciptakan bayangan panjang dari benda-benda kecil: mug teh yang tinggal separuh, map pasien berjejer tak rapi, mushaf kecil yang terbuka di atas sajadah.Salma duduk bersandar lemah di sisi tempat tidurnya, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam keheningan kamar yang remang. Punggungnya menyentuh dinding dingin yang dilapisi cat putih gading, yang mulai mengelupas di sudut-sud