Malam terasa semakin pekat, seolah kegelapan menebal dengan niat untuk menelannya bulat-bulat. Di luar pondok, angin menderu membawa aroma tanah basah dan anyir laut, melintasi celah-celah dinding kayu reyot, menciptakan suara desis yang mirip desahan makhluk yang menunggu di balik gelap. Cahaya lampu minyak di meja bergoyang perlahan, cahayanya melemparkan bayangan Satrio ke dinding, memperpanjang siluetnya menjadi sosok bengkok yang menggigil, seakan menari dalam perlawanan yang sia-sia.
Satrio duduk terpaku di tepi ranjang, surat di tangannya bergetar halus. Mata merahnya menatap kata-kata yang sudah pudar di kertas itu, namun setiap goresan tinta terasa membakar, menorehkan luka baru di daging hatinya yang sudah koyak. Ia membaca ulang kalimat-kalimat itu dengan suara hampir tak terdengar, bibirnya gemetar, napasnya pendek: ”Satrio, jika kau membaca ini, aku mungkin suda
Langkah-langkah Satrio terdengar berat, setiap pijakan menghantam batuan jalan seperti pukulan palu ke peti mati. Dunia di sekitarnya berubah menjadi palet warna kelam—hitam dari asap, merah dari darah, dan abu-abu dari debu yang melayang di udara seperti abu kremasi kota yang terbakar. Di kejauhan, teriakan-teriakan samar masih terdengar, namun suara itu terasa jauh, teredam seperti gema dari mimpi buruk yang terlalu nyata untuk diabaikan. Hujan gerimis mulai turun, membuat tanah yang menghitam menjadi lumpur lengket yang mencengkeram sepatu Satrio seolah dunia pun menolak melepaskannya dari kubangan dosa ini.Di sepanjang jalan, mayat-mayat terbujur kaku, wajah mereka beku dalam ekspresi terakhir: ketakutan, kemarahan, atau keterkejutan yang membatu. Mata-mata kosong itu memandang langit, seakan menuntut jawaban yang tak kunjung datang. Satrio berjalan melewati mereka dengan dada sesak, napasnya berat, seolah
Udara di pasar malam itu penuh dengan aroma hangus—kain terbakar, kayu hangus, dan bau tajam besi yang terpanggang panas. Asap menggulung tebal, menyelimuti langit malam hingga bulan yang pucat pun lenyap, tenggelam dalam kabut kematian. Jeritan manusia bercampur dengan desisan api, teriakan memanggil nama-nama yang tak kunjung dijawab, dan dentuman besi bertemu besi, menciptakan simfoni neraka yang menggetarkan tulang. Satrio berdiri di tengah pusaran kekacauan itu, matanya memicing, dadanya naik turun seperti drum yang dipukul tanpa irama, tubuhnya bergetar oleh amarah yang mendidih bercampur ketakutan yang tak mampu ia remas.Anak kecil di pelukannya terisak, tubuhnya menggigil ketakutan, tangannya kecil mencengkeram baju Satrio dengan kekuatan putus asa yang hanya dimiliki oleh anak-anak yang tak paham mengapa dunia mendadak berubah menjadi mimpi buruk. Satrio mengusap kepala anak itu dengan tangan yang gem
Malam terasa semakin pekat, seolah kegelapan menebal dengan niat untuk menelannya bulat-bulat. Di luar pondok, angin menderu membawa aroma tanah basah dan anyir laut, melintasi celah-celah dinding kayu reyot, menciptakan suara desis yang mirip desahan makhluk yang menunggu di balik gelap. Cahaya lampu minyak di meja bergoyang perlahan, cahayanya melemparkan bayangan Satrio ke dinding, memperpanjang siluetnya menjadi sosok bengkok yang menggigil, seakan menari dalam perlawanan yang sia-sia.Satrio duduk terpaku di tepi ranjang, surat di tangannya bergetar halus. Mata merahnya menatap kata-kata yang sudah pudar di kertas itu, namun setiap goresan tinta terasa membakar, menorehkan luka baru di daging hatinya yang sudah koyak. Ia membaca ulang kalimat-kalimat itu dengan suara hampir tak terdengar, bibirnya gemetar, napasnya pendek: ”Satrio, jika kau membaca ini, aku mungkin suda
Malam itu menebarkan dingin yang menusuk, bukan hanya di kulit, tetapi juga menembus ke tulang dan menggigit jiwa. Langit menggantung rendah, kelabu, tanpa bintang, seolah Batavia ditelan oleh sesuatu yang lebih besar dari kegelapan biasa—sesuatu yang berbisik di antara celah-celah dinding tua, di sela-sela daun jendela yang berderik, dan di lorong-lorong yang berkelok di bawah kota. Angin malam bergerak seperti roh yang mengintai, membawa desas-desus yang merayap ke telinga Satrio, membisikkan nama yang menggema di dalam hatinya seperti mantra yang tidak bisa dihindari: Sekar.Di warung kopi remang, di sudut gang sempit, di pasar yang basah oleh hujan sisa, nama itu dibisikkan dengan suara serak, seolah setiap kata adalah peluru yang bisa menghancurkan siapa saja yang mendengarnya. Mereka berkata Sekar adalah pemimpin bayangan—perempuan dengan tatapan dingin dan tangan yang tak ragu berlumuran darah. Mer
Ruangan itu sunyi, namun keheningannya bukanlah ketenangan, melainkan ruang yang dipenuhi dengan dengung ketakutan yang menggantung di udara, seperti napas dunia yang tertahan, menunggu untuk meledak. Bau kayu tua, minyak tanah, dan debu yang lembap memenuhi paru-paru, menyesakkan dada. Cahaya lentera menggantung lemah, cahayanya berkedip-kedip, menciptakan bayangan panjang yang merayap di dinding seperti tangan-tangan dari masa lalu yang mencoba meraih, mencengkeram, mencabik mereka yang cukup bodoh untuk mencari kebenaran di tempat ini.Satrio berdiri kaku di depan meja, tubuhnya menegang, matanya terpaku pada peta yang terbentang. Setiap garis, setiap simbol di atasnya seperti urat nadi yang terhubung langsung ke dadanya, mengalirkan sesuatu yang lebih dari sekadar informasi—ini adalah jejak luka yang diwariskan turun-temurun, luka yang kini berdenyut di bawah kulitnya sendiri. Tangannya gemetar ketika menco
Lorong itu terasa seperti liang kubur yang hidup, menganga di perut kota tua Batavia, menelan Satrio ke dalam perut bumi dengan bisikan dingin yang menggerayangi kulit. Setiap langkah kakinya menimbulkan suara gemeretak di lantai batu yang lembap, sementara dinding-dinding lorong yang basah dan berlumut menciumkan bau logam tua dan tanah yang membusuk, bercampur dengan aroma garam laut yang terbawa angin dari kejauhan. Di langit-langit lorong, air merembes dan jatuh dalam tetes-tetes lambat yang terdengar seperti detak jam yang menandai waktu yang terus habis.Napas Satrio berat, terengah, dadanya naik turun dalam upaya menahan gemuruh ketakutan yang mendesak di dalam dada. Keringat dingin bercampur dengan sisa hujan di kulitnya, dan meskipun dingin menusuk, tubuhnya terasa panas, seakan darahnya mendidih oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dalam benaknya, wajah Citra muncul—matanya penuh luka