Beranda / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 17 Retak di Antara Janji dan Cinta

Share

Bab 17 Retak di Antara Janji dan Cinta

Penulis: A. Rani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-09 00:07:18
Pertemuan demi pertemuan rahasia semakin memanas. Satrio datang kepada Citra dengan penuh keraguan, menuntut jawaban atas kabar yang menyebar liar. Citra menegaskan cintanya, tetapi luka di antara mereka sudah terlalu dalam. Sekar dan Rangga memanfaatkan kesempatan, mempermainkan emosi dan ketegangan di antara dua insan yang mulai kehilangan arah. Fitnah berkembang menjadi ancaman nyata. Malam-malam Batavia dipenuhi bisikan gelap, langkah-langkah mencurigakan, dan bayangan yang menunggu di luar pintu. Di tengah badai keraguan, Citra dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan dengan risiko nyawa atau meninggalkan segalanya.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu, dan di hadapannya berdiri Satrio dengan wajah yang tidak bisa ia baca. Tatapan matanya penuh dengan sesuatu yang berbeda—bukan amarah, tetapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Keraguan.

“Kau datang terlambat,” kata Citra dengan nada rendah, mencoba membaca ekspresi lelaki itu.

Satrio masuk tanpa menunggu undangan, langkahnya tegap, s
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Dosa dalam Cinta    Bab 47 Kunjungan ke Makam

    Kabut tipis bergelayut di antara pepohonan tua, menyelimuti bumi dengan kelembutan yang menipu, seolah dunia sedang menahan napas untuk mendengarkan sesuatu yang tak terucapkan. Langkah Satrio menyusuri tanah basah yang dipenuhi dedaunan layu, gemerisik di bawah tapak kakinya seperti bisikan dari masa lalu yang menolak diam. Langit di atasnya kelabu, redup, menggantung rendah dengan awan gelap yang bergerak lambat, sementara embusan angin membawa aroma tanah basah bercampur wangi samar melati yang entah dari mana asalnya.Di hadapannya, dua makam berdampingan berdiri diam. Batu nisan itu sederhana, kasar, dengan ukiran nama yang mulai pudar digerus waktu: Citra dan Sekar. Tanah di sekitarnya basah oleh embun, rumput liar tumbuh tak teratur, dan di atas nisan, bunga-bunga kering tertinggal, seperti kenangan yang rapuh, terbangun lalu kembali runtuh. Satrio berdiri kaku di depan mereka, tangannya

  • Dosa dalam Cinta    Bab 46: Catatan Terakhir Sekar

    Hujan sudah lama berhenti, tapi dunia di sekitar Satrio tetap basah, seolah bumi menyimpan air matanya sendiri, enggan kering, enggan lupa. Pagi yang menyingsing datang tanpa warna, tanpa burung-burung berkicau, hanya udara yang dingin menusuk, kabut tipis menggantung rendah, dan aroma tanah basah yang bercampur dengan wangi kayu tua, seperti bau kamar yang lama terkunci. Di dalam rumah kecil itu, Satrio duduk bersila di lantai, punggungnya membungkuk, tangannya gemetar memegang sebuah kotak kayu kecil yang lapuk, ditemukan di sudut ruangan di balik tumpukan kain tua dan barang-barang peninggalan yang sudah terlupakan.Kotak itu berat, bukan karena isinya, tapi karena beban yang tersembunyi di dalamnya—rahasia yang tak terucapkan, bisikan-bisikan yang selama ini hanya menjadi bayangan di sudut pikirannya. Ketika dibuka, aroma debu lama menyeruak, bercampur dengan sesuatu yang lebih samar&m

  • Dosa dalam Cinta    Bab 45: Anak dalam Pengawasan

    Hujan turun deras, mengguyur atap rumah kecil Satrio dengan bunyi gemuruh yang menggetarkan, seakan langit sedang mengguncangkan bumi dengan murka yang tertahan terlalu lama. Setiap tetes air memukul atap seperti genderang perang yang dipukul tanpa jeda, memecah malam menjadi serpihan-serpihan gelap yang bergetar di udara. Angin meraung, menyusup di sela-sela dinding bambu, menciptakan suara desis yang mencekam, seperti bisikan lidah-lidah halus yang mengintai dari bayang-bayang.Di dalam rumah, Satrio duduk di tepi ranjang, punggungnya tegang, napasnya pendek-pendek, mata merahnya terpaku pada ranjang kosong di sudut ruangan. Tubuh anak kecil itu tidak ada di sana—tidak ada jejak kaki kecil, tidak ada napas lemah, tidak ada suara rintihan malam yang biasanya terdengar lirih dari balik selimut tipis. Ranjang itu kosong, hanya menyisakan bekas lipatan kain yang basah oleh embun dingin, seol

  • Dosa dalam Cinta    Bab 44 Bayangan Masa Lalu

    Malam menjerat desa dengan cengkeraman sunyi yang pekat, seolah waktu berhenti di bawah selimut kegelapan yang berat dan lembab. Angin bertiup rendah, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan jejak kematian dan arang yang seolah belum tuntas terbakar. Di bawah langit yang kelabu tanpa bintang, rumah kecil Satrio berdiri bagai perahu rapuh di tengah lautan gelap, setiap sudutnya diterpa bayangan-bayangan yang bergerak seperti bisikan.Satrio terbaring di ranjang bambu tua yang berderit pelan, matanya terbuka, menatap atap anyaman daun kelapa yang remang. Keringat dingin membasahi tubuhnya meskipun udara dingin menggigit kulit, dan napasnya memburu seperti seseorang yang baru saja muncul dari air dalam setelah hampir tenggelam. Ia menutup mata sejenak, berharap gelap akan membawa ketenangan, tapi yang datang justru ledakan gambar-gambar yang menghantam pikirannya dengan kekuatan yang meremu

  • Dosa dalam Cinta    Bab 43 Kehidupan Baru di Desa

    Pagi itu datang dengan tenang, namun bukan ketenangan yang menyejukkan, melainkan ketenangan yang terasa seperti permukaan danau sebelum badai. Langit di atas desa memancarkan rona kelabu, awan menggantung berat, dan embun masih menempel di pucuk-pucuk daun beringin tua yang berdiri kaku di tepi jalan setapak. Di udara, aroma tanah basah bercampur dengan wangi samar bunga liar, seolah alam mencoba menghapus jejak-jejak luka semalam. Namun, bagi Satrio, udara itu tetap membawa bayangan kelam—bayangan yang tidak akan pergi begitu saja, meski ia telah memilih jalan baru.Satrio berdiri di depan sebuah bangunan kecil yang dulunya bekas lumbung, kini direnovasi menjadi ruang belajar sederhana. Papan tulis lusuh tergantung di dinding, kursi-kursi kayu kasar tersusun rapi, dan di sudut ruangan, tumpukan buku-buku tua yang diwariskan dari rumah-rumah penduduk menjadi saksi bisu tentang usaha berta

  • Dosa dalam Cinta    Bab 42: Jalan Pulang

    Langit di atas Batavia menyapu kelabu yang berat, mendung menggantung rendah seperti tangan raksasa yang siap merenggut setiap jiwa yang tersesat di bawahnya. Hujan mengguyur dengan kekuatan yang tampak seperti murka alam, membasahi jalan-jalan tanah yang sudah berubah menjadi lumpur pekat. Di antara gemuruh hujan itu, langkah Satrio terdengar berat, menjejak bumi dengan kesadaran baru—setiap derapnya bukan hanya sekadar langkah, tetapi beban sejarah, luka, dan pilihan yang belum juga tuntas. Setiap tetes hujan yang membasahi wajahnya seakan membawa bisikan masa lalu, suara-suara yang masih membayang dalam pikirannya: panggilan lirih Citra yang terhenti di antara bara api, tangis Sekar yang menggema di lorong-lorong malam, dan suara anak kecil itu—”Ayah... jangan biarkan aku hilang...”—yang mengiris lebih dalam dari semua luka fisik yang pernah ia rasakan. Satrio berdiri di tep

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status