Beranda / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 23 – Janji yang Terucap

Share

Bab 23 – Janji yang Terucap

Penulis: A. Rani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-17 11:00:41

Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.

Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Dosa dalam Cinta    Bab 23 – Janji yang Terucap

    Hujan mengguyur Batavia seperti cambuk, memukul atap-atap rumah, membasahi jalanan berbatu yang penuh genangan darah dan abu. Bau hangus dan logam bercampur dalam udara yang berat, menusuk hidung Satrio hingga membuat napasnya terasa seperti menelan besi panas. Di antara reruntuhan pasar yang hancur, api kecil masih menyala, membisikkan nyanyian kematian yang berbaur dengan tangisan, erangan, dan bisikan yang menggema entah dari mana. Satrio berdiri, tubuhnya lelah, bajunya robek dan basah kuyup, namun matanya menatap tajam ke depan—mata seorang lelaki yang telah kehilangan banyak, namun masih menggenggam janji yang belum ditepati.Di bawah cahaya kilat yang menyambar langit, anak kecil itu berdiri di dekatnya, tubuhnya gemetar, matanya lebar penuh ketakutan. Tangan kecilnya menggenggam ujung baju Satrio, seolah mencari perlindungan di tengah kekacauan yang melanda dunia mereka. Wajah anak

  • Dosa dalam Cinta    Bab 22 – Benteng yang Akan Runtuh

    Angin malam berembus liar di atas atap-atap Batavia, mengantarkan bau anyir darah yang belum sempat mengering, dan bau asap dari api yang membakar kota beberapa malam terakhir. Di dalam sebuah ruangan gelap di gang belakang, suara bisik-bisik berpadu dengan bunyi gesekan kertas peta di atas meja kayu. Lentera kecil menggantung, cahayanya bergoyang diterpa hembusan angin, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding, seakan mengintai dari setiap sudut.Sekar berdiri di ujung meja, tangannya mengepal di pinggir peta, wajahnya setengah terbenam dalam cahaya kuning. Matanya tajam, memindai setiap titik yang telah ditandai dengan tinta merah: gerbang barat benteng, menara jaga, gudang mesiu, dan ruang bawah tanah yang tersembunyi. Suaranya rendah, namun penuh bara, “Kita serang sebelum fajar. Saat mereka lengah. Tidak ada kompromi.” Napasnya terputus-putus, bukan hanya kar

  • Dosa dalam Cinta    Bab 21 – Rencana Mata-Mata

    Malam di Batavia menggantung berat di langit, kelam tanpa bintang, seakan seluruh kota bernafas dalam satu tarikan panjang yang menahan ledakan tak terhindarkan. Di dalam gudang tua yang menjadi markas sementara pemberontak, udara terasa tebal dan panas, meski angin malam meniup celah-celah papan dengan desisan lirih, seperti bisikan rahasia yang menyelinap di telinga-telinga yang cemas.Satrio berdiri di sudut ruangan, punggungnya menempel pada dinding yang dingin dan kasar. Matanya menyapu setiap wajah—pedagang tua dengan sorban lusuh yang terus mengusap keringat di dahinya, Rahman yang duduk gelisah sambil mengetukkan jari-jari di atas tongkat, dan dua pemuda baru yang saling berbisik dengan sorot mata curiga. Tatapan Satrio tajam, seperti elang yang mencium darah di udara. Ia tahu ada yang salah. Sejak pertemuan di Balai Kota, rencana-rencana mereka yang disusun rapi mendadak diketahui pihak kolonial. Seran

  • Dosa dalam Cinta    Bab 20 – Pertemuan di Balai Kota

    Langit Batavia menghitam, awan-awan gelap menggulung seperti tirai neraka yang siap merenggut dunia. Di dalam Balai Kota, udara terasa lebih berat dari baja, seolah ruangan itu menahan napasnya sendiri, menunggu percikan yang akan meledakkan segalanya. Cahaya lentera bergoyang di dinding, menciptakan bayangan-bayangan bergerigi yang menari di wajah-wajah tegang. Satrio berdiri di tengah ruangan, tubuhnya lelah, jiwanya koyak, namun matanya menyala dengan bara yang tak lagi bisa dipadamkan. Di hadapannya, Sekar duduk tegak di kursi tinggi, gaunnya lusuh namun anggun, rambutnya basah oleh keringat dan hujan yang menembus atap, wajahnya keras, dingin, namun retak di sudut-sudutnya—retak yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang pernah mencintainya.Suara langkah kaki terdengar berat di lantai kayu tua, gema dentumnya menggema seperti genderang perang yang menghantam dada. Di sekeliling, wajah-wajah lain menonton

  • Dosa dalam Cinta    Bab 19 – Bayangan Citra

    Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah dinding pondok tua, membawa bisikan-bisikan halus yang seolah berasal dari dunia lain. Di dekat perapian kecil yang nyalanya mulai redup, Satrio duduk membatu, tubuhnya kaku, pandangannya kosong tertuju pada surat yang masih terlipat di tangannya. Api yang tinggal bara memantulkan kilatan samar di wajahnya yang pucat, mempertegas garis-garis lelah dan guratan luka batin yang semakin dalam. Tangannya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi karena beban yang menggantung di dadanya semakin berat, menghimpit napasnya seperti rantai besi yang tak kasatmata.Pikiran Satrio berputar liar. Bayangan Citra begitu nyata di matanya—gaun putihnya yang berkibar, senyum kecil yang dulu menenangkan, dan tatapan yang kini seperti menuntut, menagih janji yang belum ditepati. Dalam kabut pikirannya, suara itu kembali t

  • Dosa dalam Cinta    Bab 18 – Surat Wasiat Nyai Rahayu

    Di dalam keheningan rumah tua yang seakan menahan napas bersama Satrio, bunyi hujan di atap terdengar seperti detak jam yang memaksa waktu berjalan lambat. Dinding kayu yang lembap memantulkan bayangan tubuhnya yang gemetar, seolah menjadi saksi bisu dari badai yang bergemuruh dalam dadanya. Tetesan minyak dari lampu lentera menguap di udara, menciptakan aroma gosong samar yang bercampur dengan debu tua dan serpihan masa lalu. Satrio duduk membungkuk, tangan-tangannya mengepal di atas meja, mencengkeram surat itu seolah kertas itu adalah jangkar terakhir yang menahannya dari jatuh ke jurang gila. Setiap kata dalam surat itu menggerogoti pikirannya seperti bisikan setan: “Sekar adalah warisan dari darah kita... dia membawa luka dan kutukan... dia harus memilih: membakar dunia atau menyelamatkannya.”Kata-kata itu berputar di kepalanya, membentuk pusa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status