Langit Batavia malam itu seperti kaca retak, menyisakan celah-celah gelap yang meneteskan hujan deras ke bumi yang sudah lama menjerit dalam diam. Kilatan petir sesekali menyambar, membelah kabut yang menggantung seperti kabus dingin, menyorotkan bayangan-bayangan bengkok dari reruntuhan pasar, bangunan yang hangus, dan bendera hitam yang masih berkibar lemah di atas menara yang nyaris runtuh. Api kecil masih menyala di sudut-sudut kota, menghanguskan sisa-sisa kayu, kain, dan impian yang hancur. Suara-suara tangisan dan jeritan mereda menjadi bisikan-bisikan samar, seperti suara roh yang terjebak di antara dunia hidup dan mati.
Di tengah puing-puing yang basah oleh hujan, Satrio berjongkok, tangannya gemetar saat meraba di antara potongan kayu yang patah dan batu yang hangus. Jari-jarinya kotor oleh lumpur dan jelaga, tapi matanya kosong, seolah terhisap oleh kekosongan di dadanya. Napasnya berat, terdengar seperti d
Langit Batavia malam itu seperti kaca retak, menyisakan celah-celah gelap yang meneteskan hujan deras ke bumi yang sudah lama menjerit dalam diam. Kilatan petir sesekali menyambar, membelah kabut yang menggantung seperti kabus dingin, menyorotkan bayangan-bayangan bengkok dari reruntuhan pasar, bangunan yang hangus, dan bendera hitam yang masih berkibar lemah di atas menara yang nyaris runtuh. Api kecil masih menyala di sudut-sudut kota, menghanguskan sisa-sisa kayu, kain, dan impian yang hancur. Suara-suara tangisan dan jeritan mereda menjadi bisikan-bisikan samar, seperti suara roh yang terjebak di antara dunia hidup dan mati.Di tengah puing-puing yang basah oleh hujan, Satrio berjongkok, tangannya gemetar saat meraba di antara potongan kayu yang patah dan batu yang hangus. Jari-jarinya kotor oleh lumpur dan jelaga, tapi matanya kosong, seolah terhisap oleh kekosongan di dadanya. Napasnya berat, terdengar seperti d
Dunia seolah berhenti. Hujan membeku di udara. Napas Satrio tercekat di tenggorokannya. Dan ketika dia menatap ke dalam cahaya itu, matanya menangkap pantulan—bayangannya sendiri, namun lebih tua, lebih kelam, dengan wajah yang keras, mata yang menyala biru seperti bara yang membara di dasar samudra. Bayangan itu menatap lurus ke arahnya, dan bibirnya bergerak, suaranya terdengar bukan hanya di telinga Satrio, tetapi di dalam tulang, di dalam darahnya.“Selamat datang... di takdirmu.”Hujan mengguyur Batavia dengan irama yang lebih mirip ratapan dunia, menciptakan genangan air yang bercampur lumpur, darah, dan serpihan masa lalu yang tercerai-berai. Langit di atasnya seperti kertas hitam yang diremas, retak-retak oleh kilatan petir yang menyambar liar, menerangi sekelebat bayangan di antara kabut dan bara yang masih membara di sudut kota yang terbakar. Bau hangus
Langit Batavia malam itu seperti kaca retak, menyisakan celah-celah gelap yang meneteskan hujan deras ke bumi yang sudah lama menjerit dalam diam. Kilatan petir sesekali menyambar, membelah kabut yang menggantung seperti kabus dingin, menyorotkan bayangan-bayangan bengkok dari reruntuhan pasar, bangunan yang hangus, dan bendera hitam yang masih berkibar lemah di atas menara yang nyaris runtuh. Api kecil masih menyala di sudut-sudut kota, menghanguskan sisa-sisa kayu, kain, dan impian yang hancur. Suara-suara tangisan dan jeritan mereda menjadi bisikan-bisikan samar, seperti suara roh yang terjebak di antara dunia hidup dan mati.Di tengah puing-puing yang basah oleh hujan, Satrio berjongkok, tangannya gemetar saat meraba di antara potongan kayu yang patah dan batu yang hangus. Jari-jarinya kotor oleh lumpur dan jelaga, tapi matanya kosong, seolah terhisap oleh kekosongan di dadanya. Napasnya berat, terdengar seperti d
Bayangan lain muncul di belakang pria itu, bergerak seperti kabut yang terlahir dari kegelapan. Mata-mata redup muncul satu per satu, menyala samar, menyaksikan, mengintai. Dari balik mantel hitam, kilasan tangan pucat menjulur keluar, jemarinya kurus, kukunya panjang dan kotor, seperti cakar yang mengais batas antara dunia hidup dan mati. Sosok lain yang tubuhnya kurus, wajahnya hancur setengah terbakar, menatap lurus ke arah Citra dengan mata kosong, namun penuh tuntutan yang dingin dan tajam, seperti belati yang menusuk dada tanpa suara.Suster tua berteriak—jeritan yang menembus langit-langit ruangan, tinggi, melengking, hingga kaca-kaca kecil di jendela bergetar hebat. Tubuhnya terangkat dari tanah, melayang di udara dengan posisi tak wajar, tangan terentang, matanya terbuka lebar, membelalak kosong, seolah jiwanya telah direnggut dan tubuhnya hanya cangkang yang ditinggalkan. Rosario terlepas dari tanganny
Citra membeku. Tubuhnya lunglai, tangannya gemetar, namun matanya tetap terpaku pada pintu, seperti rusa yang terperangkap dalam cahaya bulan yang dingin. Dalam dada yang berdegup keras, ada firasat yang mencengkeram lebih dalam daripada sekadar ketakutan—ini bukan hanya tentang seseorang yang datang mencarinya. Ini adalah tentang sesuatu yang telah lama mengintai, menunggu di ambang batas kesadarannya, menuntut untuk diingat.Angin malam menerobos masuk, membuat pintu kayu tua itu bergetar. Bayangan di dinding menari liar, memanjang dan memendek, seperti cakar-cakar gelap yang mencoba menjangkau mereka. Suster tua terisak pelan, suaranya tercekat, sementara biarawan tua hanya berdiri, tak bergerak, seolah tahu bahwa pertahanan apa pun adalah sia-sia.Dan kemudian, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih dekat, setiap kata terdengar seperti pisau yang ditarik pe
Bab 48 Permohonan MaafLangit di atas Batavia berwarna kelabu tua, nyaris hitam, seolah waktu berhenti pada titik yang berat, di mana langit dan bumi saling menatap dalam diam yang penuh dendam. Awan menggantung rendah, tebal, menekan dada, menutup cahaya rembulan yang biasanya mengintip malu di sela pepohonan. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur debu, juga aroma samar-samar dupa yang baru terbakar. Suara jangkrik pun tertahan, seakan seluruh dunia memilih diam, menyaksikan peristiwa yang tak kasatmata, tapi terasa mendalam hingga ke tulang.Di bawah pohon beringin tua yang menjulang bagai penjaga zaman, Satrio berdiri terpaku, tubuhnya berat, seolah akar pohon itu menjulur keluar dan membelit kakinya, memaksanya untuk tidak lari, untuk tetap menghadapi. Cahaya rembulan yang menerobos celah awan tipis memantul samar di wajahnya yang basa