Beranda / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 43 - Malam Sebelum Dunia Berubah

Share

Bab 43 - Malam Sebelum Dunia Berubah

Penulis: A. Rani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-30 10:00:31

Hujan mengguyur Batavia tanpa ampun, membasahi tanah yang retak oleh perang yang tak kasatmata. Di antara gemuruh guntur dan kilatan petir yang memecah langit, kota tua itu berdetak seperti jantung raksasa yang tengah sekarat. Di lorong-lorong sempit yang gelap, bisikan-bisikan kelam merayap di dinding, menyusup ke telinga mereka yang cukup nekat untuk mendengarkan.

Di sebuah gudang tua di pelabuhan, api kecil bergetar di tengah ruangan yang dipenuhi bayangan. Asap rokok melingkar, bercampur dengan bau garam laut, besi tua, dan peluh ketakutan yang menggantung di udara.

Rangga duduk di ujung meja panjang, matanya merah, wajahnya tirus, bibirnya menyeringai seperti binatang yang sudah lama mencium darah. Di hadapannya, duduk para lelaki kasar—pedagang gelap dari Jawa, bajak laut dari Malaka, mata-mata dari Eropa yang mengenakan jubah lusuh dan sorot mata mencurigakan. Di pojok

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Dosa dalam Cinta    Bab 44 – Gerbang Retakan Dunia

    Suaranya keluar, pelan, namun bergema seperti palu yang memecah batu, merembes masuk ke dalam tulang, ke nadi, ke setiap helai rambut yang kini meremang berdiri.“Kalian... bukan hanya bagian dari takdir. Kalian adalah kunci. Dan kunci... harus diputar... sampai dunia pecah.”Suaranya seperti mantra yang memecah dinding-dinding yang sudah retak. Dan seketika itu juga, dunia seperti mengempis.Kilatan cahaya biru terakhir meledak, melemparkan semuanya ke dalam pusaran kehampaan yang membutakan. Dinding-dinding runtuh, kayu-kayu meledak menjadi serpihan, udara bergetar seperti kawat yang dipetik terlalu keras, dan napas berhenti—tak ada yang bisa ditarik lagi.Sekar menjerit, tangannya terulur ke arah Satrio, namun sebelum jarinya sempat menyentuhnya, tubuhnya terseret ke dalam pusaran cahaya,

  • Dosa dalam Cinta    Bab 43 - Malam Sebelum Dunia Berubah

    Hujan mengguyur Batavia tanpa ampun, membasahi tanah yang retak oleh perang yang tak kasatmata. Di antara gemuruh guntur dan kilatan petir yang memecah langit, kota tua itu berdetak seperti jantung raksasa yang tengah sekarat. Di lorong-lorong sempit yang gelap, bisikan-bisikan kelam merayap di dinding, menyusup ke telinga mereka yang cukup nekat untuk mendengarkan.Di sebuah gudang tua di pelabuhan, api kecil bergetar di tengah ruangan yang dipenuhi bayangan. Asap rokok melingkar, bercampur dengan bau garam laut, besi tua, dan peluh ketakutan yang menggantung di udara.Rangga duduk di ujung meja panjang, matanya merah, wajahnya tirus, bibirnya menyeringai seperti binatang yang sudah lama mencium darah. Di hadapannya, duduk para lelaki kasar—pedagang gelap dari Jawa, bajak laut dari Malaka, mata-mata dari Eropa yang mengenakan jubah lusuh dan sorot mata mencurigakan. Di pojok

  • Dosa dalam Cinta    Bab 42 – Saat Dunia Pecah

    Hujan menderas, mengetuk genteng biara seperti denting-denting kematian yang menari di ujung malam. Aroma tanah basah, batu lumut, dan dupa yang tak lagi membara memenuhi udara, bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—aroma besi tua, darah yang membeku, dan bayangan masa lalu yang enggan mati. Ruangan itu, yang semula sunyi, kini seperti jantung dunia yang berdetak liar, menahan napas di antara retakan waktu yang terpecah.Satrio berdiri di sana, tubuhnya basah kuyup, dadanya naik-turun, matanya terbakar oleh air mata yang tak sempat jatuh. Di hadapannya, Citra terbaring di lantai dingin, wajahnya pucat seperti kain kafan yang diseret hujan, matanya setengah terbuka, menatap ke langit-langit yang retak, seolah mencari jawab yang sudah lama hilang. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar, seakan setiap tarikan napas adalah pertempuran yang mengiris paru-parunya.Di dada Citra,

  • Dosa dalam Cinta    Bab 40 – Ketika Takdir Membuka Menganga

    Bibir Sekar bergerak, suaranya keluar—serak, berat, dalam, seperti bisikan yang merayap dari dasar liang kubur.“Kau... Satrio... adalah kunci. Dan aku... akan menjadi pintunya.”Kata-katanya seperti mantra yang membekukan udara. Satrio tertegun, tubuhnya gemetar, matanya terbuka lebar, dan sebelum dia sempat berkata apa-apa, raungan dahsyat mengguncang ruangan, seolah bumi itu sendiri menjerit. Retakan di lantai menganga lebih lebar, menciptakan pusaran hitam yang menyerap cahaya, suara, dan kehidupan. Cakar-cakar gelap muncul dari dalamnya, panjang, kurus, kuku-kukunya melengkung tajam, bergerak seperti tangan-tangan yang lapar, mencari, meraih, dan mencengkeram.Salah satu cakar itu melesat, mencengkeram tubuh Sekar dengan kekuatan yang brutal, menariknya ke dalam pusaran hitam. Sekar menjerit, suaranya tinggi, melengking, b

  • Dosa dalam Cinta    Bab 41 - Biara yang Menyimpan Luka

    Hujan turun tipis, menyusup di antara celah-celah jendela biara yang sudah tua, menciptakan suara seperti desahan yang menggema di aula batu yang dingin. Cahaya lilin bergetar, melemparkan bayangan panjang di dinding-dinding yang dihiasi lukisan-lukisan kudus, namun malam itu, keheningan biara terasa lebih seperti kuburan yang hidup, menelan setiap langkah kaki menjadi bisikan yang tak terdengar.Satrio berdiri di ambang pintu, tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, matanya merah oleh amarah yang ia telan sendiri dan rindu yang menggantung seperti duri di tenggorokannya. Jemarinya mengepal, gemetar, seakan mencoba menahan sesuatu yang mendesak keluar dari dada. Di balik pintu, di bawah cahaya lilin yang temaram, Citra duduk di bangku kayu panjang, tubuhnya berselimut kain tebal, wajahnya pucat, matanya kosong menatap jendela yang dipenuhi embun.Ada sesuatu yang hilang

  • Dosa dalam Cinta    Bab 39 - Kunci dan Pintu

    Suaranya keluar, rendah, berat, dalam, seperti retakan bumi yang mengoyak dasar dunia. Kata-kata itu meluncur perlahan, menghantam dada Satrio dengan kekuatan yang tak terucapkan.“Sudah waktunya... kau tahu siapa aku.”Satrio merasakan darahnya berhenti mengalir. Napasnya tersendat, tubuhnya gemetar, dan matanya membelalak, menatap lekat sosok itu. Dalam sekejap, dia melihat—bukan sekadar melihat, tetapi menyadari—kebenaran yang selama ini terpendam, yang terkubur dalam garis-garis darah yang mengalir di nadinya. Sosok itu bukan orang asing. Sosok itu… adalah dirinya sendiri. Lebih tua. Lebih kelam. Wajah yang dihancurkan oleh luka dan kehancuran, mata yang pernah memiliki harapan namun kini hanya menjadi bejana kehampaan.Tubuh Satrio limbung, langkah mundurnya terhenti oleh dinding di belakang. Liontin di dadany

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status