Home / Romansa / Dosa dalam Cinta / Bab 51 Surat untuk Masa Depan

Share

Bab 51 Surat untuk Masa Depan

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-07-27 09:00:57

Hujan turun perlahan di luar jendela, butirannya jatuh seperti bisikan halus dari langit yang meneteskan luka, membasahi bumi yang retak dan dingin. Di dalam ruangan yang redup, Satrio duduk di depan meja kayu tua yang warnanya sudah pudar, permukaannya dipenuhi goresan-goresan kecil seperti luka-luka masa lalu yang menolak sembuh. Di hadapannya terbentang selembar kertas lusuh, ujung-ujungnya basah oleh tetesan air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Di tangan Satrio, pena bergoyang, jemarinya gemetar, mencatat kata-kata dengan tinta yang bergetar, seolah setiap huruf adalah darah yang ditumpahkan dari hatinya sendiri.

Di sekelilingnya, bayangan-bayangan masa lalu berbisik di telinga: suara Citra memanggil dengan tangis tertahan, Sekar berteriak dalam amarah yang terbakar, dan anak kecil itu, berdiri di antara mereka, matanya merah menyala, suaranya pecah memohon: “Ayah... tolong aku...&rdqu

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Dosa dalam Cinta    Bab 56 Luka yang Sembuh Perlahan

    Kabut pagi masih menggantung rendah di atas pantai, membalut garis horizon dengan kelabu pucat yang samar-samar, seolah dunia sendiri menahan napas. Laut yang semalam mengamuk kini kembali tenang, namun ketenangan itu seperti wajah palsu yang menutupi luka dalam; ombak hanya berdesir pelan, membasahi pasir yang masih retak, sementara angin membawa bau asin bercampur bau hangus yang samar—sisa dari sesuatu yang hampir saja memecah batas antara dunia dan kegelapan.Satrio berdiri di tepi pantai, telapak kakinya terasa dingin di atas pasir basah. Matanya menatap ombak yang bergulung pelan, namun pikirannya melayang jauh, menembus ruang yang tidak bisa dilihat mata: ruang di mana suara Kalina masih bergema, di mana mata merah itu masih menyala di kelam, menunggu, menuntut, menagih janji darah yang belum lunas.Namun ada sesuatu yang berbeda di dada Sa

  • Dosa dalam Cinta    Bab 55 Jejak di Pasir Waktu

    Langit di atas pantai terhampar luas, kelam, dan seolah terbelah menjadi dua dunia: di satu sisi, langit pagi yang pucat, memantulkan cahaya abu-abu ke permukaan laut yang bergelombang; di sisi lain, bayangan gelap yang menggantung di horison, samar namun menekan, seperti awan hitam yang menunggu saatnya untuk runtuh. Ombak memukul bibir pantai dengan ritme yang berat, meninggalkan jejak busa yang cepat hilang, dan pasir di bawah kaki terasa dingin, kasar, seolah menyimpan bisikan yang tertinggal dari ribuan kaki yang pernah melangkah di sana.Anak itu berjalan pelan di tepi pantai, langkah-langkah kecilnya meninggalkan jejak di pasir basah yang segera disapu gelombang. Matanya menatap ke laut yang terbentang tanpa batas, seolah ingin mencari jawaban di balik garis air yang jauh, di mana dunia dan langit bertemu namun tak pernah menyatu. Angin laut menerpa wajahnya, meniup rambutnya yang basah,

  • Dosa dalam Cinta    Bab 54 Warisan yang Tertinggal

    Angin pagi menyusup pelan ke dalam bilik kayu yang sudah mulai rapuh, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau kayu lapuk dan abu dupa yang masih mengepul samar di sudut ruangan. Cahaya matahari menyelinap melalui celah-celah dinding bambu, memantulkan bayangan-bayangan panjang yang menari di lantai, menciptakan ilusi seolah dunia di dalam ruangan itu terbelah antara cahaya dan gelap, antara masa lalu dan masa depan.Di tengah ruang itu, Satrio duduk bersila, tubuhnya sedikit membungkuk, napasnya berat, matanya menatap lekat pada selembar peta tua yang terhampar di depannya. Peta itu berwarna kusam, kertasnya rapuh, bergaris-garis retak seperti urat luka yang menghitam di kulit manusia, dan di sudutnya, ada noda cokelat tua—bekas darah yang mengering bertahun-tahun lalu.Anak itu duduk di seberangnya, mata besarnya membelalak penuh tany

  • Dosa dalam Cinta    Bab 53: Matahari Baru di Desa

    Fajar merekah di ujung perbukitan, sinarnya menembus kabut yang menggantung tipis di atas desa, membentuk siluet pepohonan yang berjajar bisu. Cahaya kuning keemasan menyelimuti atap-atap rumah yang lembab, menghangatkan dedaunan yang basah oleh embun malam. Di kejauhan, suara tawa anak-anak mulai terdengar, pecah seperti riak kecil yang menghantam permukaan danau yang tenang, membawa getar-getar kehidupan ke dalam udara yang masih dingin.Di lapangan yang dikelilingi oleh pohon-pohon tua, beberapa anak berlarian, kaki-kaki kecil mereka menghentak tanah, meninggalkan jejak-jejak kotoran di rerumputan yang mulai tumbuh kembali setelah musim gelap. Bola anyaman rotan melompat di udara, tertangkap tangan-tangan kecil yang cekatan, dan di antara tawa mereka, terdengar teriakan penuh kegembiraan—sebuah musik baru yang menari di antara bekas luka yang masih terasa panas di bawah permukaan tanah.

  • Dosa dalam Cinta    Bab 52: Jejak Tanah Leluhur

    Angin malam menyapu tanah yang basah, membelai permukaan bumi yang retak dengan kelembutan yang menipu, seolah ingin menyembunyikan luka-luka yang membusuk di bawahnya. Di atas tanah yang dingin itu, kabut menggulung, menari pelan di sela-sela akar pohon tua, dan dalam tiap gerakannya, ada bisikan-bisikan samar—suara-suara dari masa lalu yang belum sepenuhnya mati, menunggu, mengintai.Satrio duduk bersila di dekat perapian kecil, nyala apinya lemah, seakan takut menyala terlalu terang di tengah kegelapan yang tebal. Di hadapannya, anak kecil itu duduk diam, matanya yang besar menatap lurus dengan sorot yang terlalu dalam untuk anak seusianya, seolah setiap pertanyaan yang hendak ia ajukan bukan hanya tentang dirinya, tetapi tentang dunia yang telah diwariskan kepadanya tanpa ia minta.“Ayah...” sua

  • Dosa dalam Cinta    Bab 51 Surat untuk Masa Depan

    Hujan turun perlahan di luar jendela, butirannya jatuh seperti bisikan halus dari langit yang meneteskan luka, membasahi bumi yang retak dan dingin. Di dalam ruangan yang redup, Satrio duduk di depan meja kayu tua yang warnanya sudah pudar, permukaannya dipenuhi goresan-goresan kecil seperti luka-luka masa lalu yang menolak sembuh. Di hadapannya terbentang selembar kertas lusuh, ujung-ujungnya basah oleh tetesan air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Di tangan Satrio, pena bergoyang, jemarinya gemetar, mencatat kata-kata dengan tinta yang bergetar, seolah setiap huruf adalah darah yang ditumpahkan dari hatinya sendiri.Di sekelilingnya, bayangan-bayangan masa lalu berbisik di telinga: suara Citra memanggil dengan tangis tertahan, Sekar berteriak dalam amarah yang terbakar, dan anak kecil itu, berdiri di antara mereka, matanya merah menyala, suaranya pecah memohon: “Ayah... tolong aku...&rdqu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status