Dalam semburan api itu, sesosok lain muncul, mencuat dari perut bumi—anak kecil, kurus, wajahnya pucat seperti lilin yang hampir meleleh, matanya merah membara seperti bara api yang menyala dari kegelapan, menatap lurus tanpa berkedip ke arah Satrio. Tangan anak itu terulur, di telapak mungilnya terukir simbol aneh yang berdenyut merah menyala, berdenyut seirama dengan detak jantung dunia yang terguncang. Suaranya terdengar, datar, dingin, namun tajam seperti bilah yang menusuk, “Jika kau tak memilih… dunia ini akan memilih untukmu.”
Satrio terhuyung, tubuhnya gemetar hebat, mulutnya terbuka tanpa suara, matanya membelalak seolah menyaksikan mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam pikirannya, bayangan-bayangan berkelebat liar—Citra yang terbaring lemah dengan mata kosong, Sekar yang berteriak dalam kegelapan, dan wajahnya sendiri, pecah, terbelah, menghilang dalam pusaran api merah. Tan Mi
Langit Batavia memendungkan dirinya dalam kelabu pekat, menggantung rendah di atas kota tua yang seolah menahan napas dalam duka yang tak terucapkan. Hujan jatuh dalam ritme monoton, setiap tetesnya menghantam tanah dengan suara lembut yang meresap, namun justru memperdalam sunyi yang mencekik. Di pemakaman kecil di pinggir kota, di bawah pohon beringin tua yang menjulang seperti penjaga bisu, dunia seolah terhenti, tertahan dalam luka yang tak terlihat namun merayap di udara seperti kabut. Satrio berdiri di sana, tubuhnya diam, matanya memaku pada batu nisan sederhana yang membisikkan nama yang ia coba lupakan, namun justru menghantamnya setiap kali ia mengedip—Citra.Butiran hujan membasahi wajahnya, mengalir di sepanjang pipinya, bercampur dengan air mata yang enggan ia akui. Tangannya yang gemetar memegang segenggam tanah merah basah, dinginnya menyerap ke tulang, menggigil hingga ke ujung jari. Saat ia men
Malam menebarkan kesepian yang pekat di sekeliling pondok kecil itu. Angin menerobos celah dinding, menggoyangkan lampu minyak yang sudah tua, membuat nyalanya bergoyang-goyang liar, menciptakan bayangan yang menari liar di dinding kayu yang lapuk. Di luar, angin menderu, membawa suara-suara aneh yang terdengar seperti bisikan, atau mungkin hanya gemuruh alam yang bermain-main dengan imajinasi Satrio. Namun di dalam ruang sempit itu, dunia seolah menyusut, menyempit hingga hanya tersisa dia, kertas surat yang terbentang di meja reyot, dan kecamuk pikirannya yang makin menggila.Satrio duduk terpaku, tubuhnya kaku, matanya merah lelah menelusuri setiap huruf yang tercetak samar di atas kertas yang sudah kusut. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanannya memegang pensil tumpul dengan cengkeraman yang terlalu erat, hingga ujung-ujung jarinya memutih. Napasnya terputus-putus, seperti tercekik oleh sesuatu yang tak
Langit di atas pelabuhan merunduk kelabu, menindih bumi dengan beban yang berat dan pekat. Awan menggumpal seperti luka lama yang tak pernah sembuh, menggantung di atas atap-atap seng yang berkarat, mengisi udara dengan kelembapan dan getir asin laut. Hujan turun dalam tirai tipis, menetes di sela-sela jeruji gudang, menciptakan pola-pola acak di lantai yang berdebu dan dingin. Di sudut ruangan yang remang, di antara peti-peti tua yang tercium bau kayu lapuk dan garam, Satrio duduk membungkuk, membisu, matanya terpaku pada amplop lusuh yang diam di pangkuannya. Tangan kasarnya yang dipenuhi kapalan menggenggam amplop itu erat, seolah memegang denyut jantungnya sendiri yang berdebar tak teratur.Ada sesuatu pada amplop itu yang membuat darah Satrio menggigil. Bukan sekadar tinta yang samar oleh percikan hujan, bukan hanya goresan tulisan yang nyaris luntur, tetapi aroma samar yang melingkupi kertas itu—wangi mel
Langit malam menggantung rendah, mendung hitam menggumamkan ancaman yang menggantung di udara. Hujan turun dengan ganas, memukul pelabuhan seperti cambuk tak kenal lelah, menciptakan simfoni bunyi yang keras dan mentah: denting air menghantam atap seng berkarat, teriakan mandor yang kasar seperti cambuk, dan suara dentuman kayu peti kemas yang terhempas ke tanah becek. Di tengah hiruk-pikuk itu, Satrio berjalan tertunduk, wajahnya sembunyi di balik tirai hujan, tubuhnya basah kuyup hingga tulang, dingin merambat masuk ke sumsum. Bajunya melekat di kulit, berat oleh lumpur dan garam laut yang menempel, seolah setiap tetes air yang menghantamnya membawa beban baru yang harus dipikulnya. Di punggungnya, ada luka-luka lama yang tak terlihat, namun terasa begitu nyata, menggerogoti setiap tarikan napasnya.Satrio bukan siapa-siapa di tanah ini. Bukan pahlawan, bukan kekasih yang ditunggu, bukan anak yang dirindukan. Di pe
Malam itu menggigil dalam diam, seakan bumi sendiri menahan napas, membiarkan kegelapan membungkus setiap sudut dunia. Angin menerobos celah dinding pondok reyot itu, membawa bisikan yang terdengar seperti ratapan arwah yang terperangkap. Satrio duduk membatu, tubuhnya terbungkus kain lusuh, matanya terpaku pada sebatang lilin yang menyala redup di meja kayu lapuk. Nyala lilin itu gemetar, seolah takut pada bayangan yang menari di sekelilingnya—bayangan yang bukan hanya milik benda-benda di ruangan, melainkan juga bayangan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.Di wajah Satrio, kerutan-kerutan yang terbentuk oleh tahun-tahun penyesalan tampak jelas di bawah cahaya temaram. Matanya merah, bukan hanya karena kelelahan, tetapi karena pertempuran batin yang terus menghantamnya tanpa ampun. Nafasnya berat, seolah setiap helaan adalah usaha untuk menahan beban yang semakin menggunung di dadanya. Jemarinya
Batavia, 1893.Angin malam berhembus liar di antara lorong-lorong sempit yang basah oleh hujan sore, membawa aroma tanah basah bercampur dengan bau besi tua, darah yang tak terlihat, dan rahasia yang tak pernah diucapkan. Di bawah langit yang kelam, rembulan memudar di balik awan hitam yang menggantung rendah, seperti mata yang tertutup oleh luka lama yang enggan sembuh. Pohon-pohon beringin tua berdiri kokoh di sudut-sudut kota, akarnya menjalar ke dalam bumi yang retak, menyimpan desahan yang tak pernah terdengar oleh telinga manusia, seolah mereka adalah saksi bisu dari dosa-dosa yang terkubur di dalam tanah.Di sebuah rumah tua yang teronggok di tepi Batavia, tembok-temboknya retak, catnya mengelupas, dan jendela-jendela kayunya berderit pelan, seakan mengaduh di antara angin yang berhembus menusuk. Di dalamnya, udara terasa berat, dingin, seakan tiap butir debu membawa