Share

BAB 6

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-04-11 12:15:24

Adrian calon pengantin pria sedang berdiri membelakangi pintu. Dia berada di kamar suite hotel Gran Aurelia. Kamar yang berada di lantai atas memamerkan gemerlapnya kota Jakarta. Di tengah keheningan itu, ponselnya menyala.

Tak lama, suara pelan terdengar dari earpiece-nya.

“Kami sudah menyelidiki rekaman CCTV hotel. Semua wajah terdata, tapi ada pria yang tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena angle kamera atau seseorang menghapusnya dari sistem.”

Rahang Adrian mengencang. “Jadi, sampai sekarang kalian belum tahu siapa bajingan itu?”

“Maaf, Pak. Dia seperti orang penting. Kami duga dia sudah profesional.”

Adrian mengumpat pelan. Tangannya mengepal hampir meremukkan ponsel.

“Aku ingin tahu dia siapa. Terus habisi siapapun dia! Aku tidak mau ada yang mengotori milikku.” Urat pelipis Adrian menegang, ia teringah dengan laporan Nadine- kekasihnya menghabiskan malam dengan pria lain. Hatinya tidak rela! 

“Siap, Pak. Kami akan telusuri lagi malam ini.”

Belum sempat ia menutup panggilan, suara centil terdengar dari balik pintu balkon.

“Sayang?”

Evelyn melangkah keluar memakai gaun tidur satin tipis berwarna merah marun. Kakinya telanjang, langkahnya ringan mendekati Adrian dari belakang.

Dengan manja, ia menyentuhkan jemarinya ke bahu pria itu.“Kamu tegang sekali. Bukankah besok pagi kita menikah?” bisiknya menggoda. “Kamu seharusnya bersantai, bukan malah sembunyi-sembunyi menelpon di balkon.”

Adrian langsung menyimpan ponsel ke saku celana, memasang wajah datar.“Hanya urusan kantor.”

Evelyn mencibir, lalu berdiri di hadapannya. Matanya menyipit nakal.“Hmm... kantor atau mantan pacarmu yang kutu buku itu?”

Tatapan Adrian menusuk, tapi ia tak menjawab.

Evelyn mendekat, mengusap dadanya perlahan.“Kamu tahu, tidak ada pria yang ingin istrinya uring-uringan di hari pernikahan. Jadi mulai besok, lupakan semua drama masa lalu, ya?”

Ia mengecup bibir Adrian singkat lalu tersenyum. “Aku ingin kamu fokus hanya padaku.” Tangan wanita itu membelai lembut dada suaminya.

Evelyn berbalik dan melangkah masuk, meninggalkan aroma mawar.

Adrian menatap punggungnya sekilas, lalu kembali memandang ke arah kota.

Wajahnya gelap. Penuh amarah.

Dalam hatinya berkata, 'Nadine hanya milikku seorang. Siapapun yang menyentuhnya, aku akan menghabisinya! Siapa pun pria itu... akan kubuat menyesal pernah menyentuh Nadine."

Nadine yang ada di kontrakan kumuh meringkuk lega setelah menerima bingkisan dari Evelyn. Dalam bingkisan undangan itu ada sekotak coklat La Madeline au Truffe, wine, lilin aroma teraphy, biskuit parfum dan make up doir . Rasa syukur langsung terucap dari mulutnya.

"Mewah banget," ujarnya takjub.

Ia menatap undangan beraksen rosegold dengan nanar. Jemarinya menyentuh setiap lekukan emboss nama “Evelyn & Adrian” yang tercetak anggun dengan tinta emas mengilat. Di pojok kanan bawah, terpampang tanggal dan lokasi pernikahan: Grand Aurelia Ballroom, 10.00 WIB.

Wajah Nadine memucat.

"Adrian…"

Hati kecilnya bergemuruh. Ada sembilu yang tertancap pelan-pelan, makin dalam, makin perih. Di balik rasa syukur menerima bingkisan mewah itu, dadanya terasa sesak. Ia menggenggam undangan itu erat, seolah ingin menghancurkannya, tapi tak kuasa.

“Kenapa kamu undang aku ke hari bahagiamu, Evelyn…” bisiknya lirih.

“Kalau kamu tahu siapa aku... mungkin kamu akan membakarku hidup-hidup.”

Matanya menatap kotak coklat eksklusif La Madeline au Truffe yang bahkan ia tahu harganya bisa membayar kontrakannya tiga bulan. Bibirnya gemetar saat ia mencoba menyentuh lipstik Dior yang masih tersegel. Aroma lilin terapi menguar lembut dari balik kotaknya, mengaburkan bau lembab kamar kontrakan kecilnya.

Tangis Nadine pecah tanpa suara.

Ia bangkit perlahan, mengambil cermin kecil yang tergantung di dinding kusam. Menatap wajahnya yang pucat, kurus, dan tak terurus. “Apa aku pantas datang?” gumamnya.

“Apa aku terlihat seperti Starlight Beat atau-”

Tiba-tiba, ponselnya menyala. Sebuah notifikasi DM dari Evelyn masuk.

Evelyn 🥂

“Halo Starlight Beat! Ini Evelyn lagi. Sudah terima bingkisannya? Aku sengaja kirim yang spesial buat penulis favoritku 🥰. Jangan lupa kirim alamat ya, biar aku kirim yang lainnya juga setelah pernikahan. I want you to always feel appreciated ❤️”

Nadine menggigit bibir. Hatinya semakin carut marut. Dunia Evelyn terlalu mewah, terlalu bersinar. Dunia yang dulunya juga sedikit ia kecap saat masih bersama Adrian.

Ia memandangi pesan itu lama, lalu membalas dengan tangan gemetar:

Starlight Beat:

“Terima kasih banyak, Evelyn. Bingkisannya sangat indah dan bermakna buat saya. Saya senang bisa menerima undangan ini, walau saya belum tahu bisa hadir atau tidak. Tapi doa terbaik saya untuk pernikahan kalian ❤️.”

Setelah mengirim pesan itu, Nadine meletakkan ponsel di dada.

Air matanya mengalir pelan. Ia memejamkan mata, mencoba menguatkan diri. Tidak ada tempat untuk dendam. Hanya luka yang harus ia peluk dalam diam.

Sementara itu…

Di kamar suite yang sama, Adrian duduk di ranjang sambil membuka kembali laporan digital yang dikirim anak buahnya. Wajah pria yang buram itu masih menjadi misteri. Tapi bukan itu yang mengganggu Adrian malam ini.

Ia menatap Evelyn yang tertidur lelap di ranjang, masih mengenakan gaun satin merah tipis itu.“Kamu tidak tahu apa pun, Evelyn,” bisiknya penuh bara.

Adrian mengepalkan tangan.

Besok dia akan menikah. Tapi pikirannya tidak fokus pada pernikahan, melainkan Nadine.

~

Sinar matahari menembus celah gorden tipis kamar kontrakan. Menyapu wajah Nadine yang masih terlelap di atas kasur tipis tanpa seprai. Aromanya campur aduk, sisa wine murah yang semalam ia minum dari bingkisan Evelyn, dan bau apek kamar yang lembab.

Nadine mengerang pelan, menggeliat di balik selimut kumal.

"Agh kepalaku…"

Ia membuka mata dengan susah payah. Dunia terasa berputar. Mulutnya kering, matanya sembab. Ia menatap jam ponsel di sampingnya.

15.03 WIB.

Panik langsung menyeruak.

“Astaga! Pernikahannya jam sepuluh! Dan sekarang udah mau sore?!”

Nadine sontak bangkit dari kasurnya, hampir tersandung botol wine yang semalam ia habiskan sendiri. Kepalanya nyut-nyutan, tapi ia tetap menyeret tubuhnya ke depan cermin kecil.

Wajahnya terlihat kacau. Rambutnya awut-awutan. Matanya sembab. Tapi sorot matanya keras, menolak menyerah.

“Aku harus datang… setidaknya… melihat mereka satu kali,” bisiknya lirih.

Ia langsung membuka lemari kayu lapuknya, jantungnya berdebar. Jemarinya menyibak tumpukan pakaian usang, berharap menemukan keajaiban.

Dan di sanalah terselip di antara sweater lusuh dan kemeja bekas lipatan buruk, gaun itu!

Gaun warna navy panjang sederhana , tetapi dulu sangat elegan. Hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Ia ingat betul momen Adrian menyerahkannya, dengan senyum tipis dan ucapan pelan, "Kamu pantas terlihat seperti bintang malam, Nadine."

Kini gaun itu kusut dan lusuh. Warna navy-nya mulai pudar, renda bagian pinggangnya mulai terlepas di ujung. Tapi tidak ada pilihan lain.

Dengan napas berat, Nadine mengambil gaun itu. Ia memeluknya sesaat, lalu mulai berganti pakaian dengan tergesa. Sambil berdiri di depan cermin, ia mengoleskan sedikit bedak sisa di kotak make up gratis dari bingkisan Evelyn. Memoles lipstik Dior pelan-pelan, takut menghabiskan.

Rambutnya ia sisir seadanya, lalu menguncir rendah. Ia menyemprotkan sedikit parfum berlabel “J-adore” ke nadi lehernya.

Cermin itu memantulkan sosok wanita yang berusaha mati-matian terlihat layak di tengah keterbatasan. Matanya menatap refleksi itu lama.

“Kamu akan berdiri di hadapan mereka. Berdiri di antara tawa, cinta, dan pengkhianat…” ucapnya pelan pada dirinya sendiri.

“Kamu harus kuat. Sekali ini saja, Nadine.”

Ia mulai melepaskan kalung yang selalu tersemat di lehernya. Kemudian ia mengambil kotak yang menjadi bingkisan kalung itu. Perlahan ia membungkusnya serapi mungkin. "Aku akan mengembalikan ini. Lagipula aku tidak punya hadiah yang pantas untuk pernikahan mereka. Jadi, hanya kalung ini yang bisa kuberika." 

Nadine menggeleng, "Tidak. Tapi aku kembalikan pada orang yang memberikannya."

Dengan langkah perlahan dan dada bergemuruh, ia mengambil undangan mewah beraksen rose gold itu, memasukkannya ke dalam tas kecil, lalu keluar dari kamar kontrakan mungil yang menjadi saksi keterpurukannya.

Hari ini, ia akan datang ke pesta pernikahan pria yang pernah ia cintai sepenuh hati… sahabat yang paling ia sayangi dan wanita yang mengaguminya sebagai Starlight Beat.

Bersambung~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 36

    RUANG PERTEMUAN DONOVAN PRIVATE CLUBRuangan tempat Nadine dibawa tak ubahnya ruang interogasi, meski tak ada lampu gantung menyala di atas kepala atau cermin dua arah. Tapi hawa di dalamnya cukup untuk membuat siapa pun kehilangan kendali atas detak jantung.Lantai marmer mengilap, karpet mewah dari wol Turki, dan meja oval panjang dengan hanya tiga kursi. Dua kursi sudah terisi. Nadine menelan ludah saat matanya bertemu sosok di sisi kanan meja.Alexander Sinclair.Ayah kandung Leonard.Sosok yang hampir tak pernah muncul di hadapan publik, tetapi namanya berkumandang di koridor kekuasaan sebagai raja bisnis minyak, logam, dan ia adalah mantan perdana menteri. Sampai sekarang ia masih berjibaku di dunia politik bayangan. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan sorot matanya menembus, seperti mampu membongkar isi pikiran Nadine tanpa perlu berkata apa pun.“Duduk,” ujar Victoria datar, tanpa memandang Nadine.Nadine menunduk, berjalan pelan, dan duduk di kursi yang tersedia. Kedua tang

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 35

    KEESOKAN PAGINYANadine duduk di sofa kamar hotel dengan tangan memegang secangkir teh hangat. Matanya masih mengantuk, rambutnya dikuncir rendah seadanya, dan ia masih mengenakan hoodie kebesaran milik hotel. Tapi meski tampak santai, pikirannya berkelana.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak."Nadine? Ini aku."Suara Leonard.Nadine bangkit dan membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat Leonard telah berpakaian rapi dengan setelan jas abu gelap yang menegaskan aura karismatiknya. Dasi biru tua yang dipilihnya memberikan kesan tenang dan dapat dipercaya—penampilan seorang calon presiden yang sudah siap turun ke lapangan.“Pagi,” sapa Leonard, tersenyum kecil. Matanya menyapu penampilan Nadine sekilas. Tak ada kritik. Hanya... kehangatan.“Pagi,” balas Nadine, suara pelan.Leonard mengangkat kotak kecil dari tangannya. “Sarapan. Aku tahu kamu nggak suka makan pagi di restoran hotel karena terlalu ramai. Aku pesan khusus dari koki pribadi.”Nadine sempat menahan napas, lalu ters

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 34

    Usai makan malam yang hangat dan tenang, Leonard menawarkan tangan pada Nadine saat mereka meninggalkan ruang makan privat. Lampu-lampu lorong hotel meredup dengan hangat, menyinari langkah mereka menuju taman kecil di sisi belakang bangunan—tempat yang jarang dilewati tamu lain, terutama di malam hari.Begitu kaki mereka menginjak jalan setapak berbatu yang mengarah ke taman, udara malam menyambut dengan embusan lembut yang menggesek pelan helai-helai rambut Nadine. Rerumputan terpangkas rapi, dan pohon-pohon palem berdiri seperti penjaga diam. Cahaya kuning temaram dari lentera taman membuat suasana seolah berbisik, "Rahasiakan momen ini hanya untuk kalian."Leonard menyelipkan tangan ke dalam saku celananya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Nadine yang berjalan di sampingnya. "Aku tahu kamu masih menyimpan banyak hal," kata Leonard akhirnya, suaranya rendah dan pelan, hampir seperti gumaman angin.Nadine menoleh, menatapnya sekilas. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa-apa."

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 33

    Leonard membuka pintu ruang makan privat dan mempersilakan Nadine masuk lebih dulu. Ruangan itu hangat dan intim, dindingnya dihiasi lukisan klasik, dan hanya ada satu meja kecil bundar yang sudah ditata sempurna dengan lilin di tengahnya. Pencahayaan temaram dari chandelier kristal menggantung di atas, menambah kesan elegan. Di luar, kaca lebar menampilkan pemandangan kota yang berkilau malam itu.Nadine menelan ludah pelan. Rasanya terlalu mewah untuk seseorang sepertinya. Ia bisa merasakan aroma lembut lavender dan wine menguar di udara.Leonard menarikkan kursi untuknya dengan sopan. "Silakan duduk."Nadine mengangguk kecil dan duduk, lalu memperhatikan pria di hadapannya. Leonard tampak tenang, tapi di balik sorot matanya, ada kegelisahan yang seolah tak bisa ia tutupi sepenuhnya. Sesekali, ia melirik Nadine, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.Tak lama, pelayan datang membawa hidangan pembuka. Mereka tak banyak bicara, hanya terdengar dentingan alat makan yang lembut.S

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 32

    "Apa yang Mama katakan?" tanya Leonard sembari menyisir rambutnya dengan tangan."Miss. Victoria tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadi besok saya diminta membawa Anda-""Cukup." Leonard segera melangkah ke arah Nadine yang baru selesai bersiap. Wanita itu tampak lebih elegan dengan dress hitam dan rambut messy bun. Sudut bibir Leonard tersungging. "Perfect. Kita berangkat sekarang."Pria itu membuka sedikit lengannya, mengode Nadine untuk mengaitkan tangan di sana.Raymond hanya menghela napas. Ucapannya belum tuntas, tapi bossnya sudah pergi. Jack hanya menatapnya datar, dan meminta dia segera mengikuti mereka.'Aku merindukan hari-hari yang tenang,' batin Raymon menahan diri.Berhari-hari berlalu seperti itu. Raymond mendapat desakan dari Vectoria sekaligus Alexander untuk membawa Leonard ke kediaman mereka. Sedangkan Leonard sibuk menghadiri kampanye untuk meningkatkan popularitasnya. "Maaf, Madam. Tuan Leo benar-benar sibuk saat ini," akhir Raymond langsung memutuskan telepo

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 31

    "Jadi malam ini kamu di kantor?" tanya Evelyn di ujung telepon."Ya. Aku harus memastikan semua pekerjaan tuntas." Adrian sibuk menelitidatabase yang ada di layar komputer."Baiklah. Kalau gitu, aku akan menghadiri pesta sendiri.""Ya, ya. Lakukan sesukamu. Sekarang aku sangat sibuk.""Okey. See you, Dear."Sambungan telepon pun terputus.Adrian meletakkan ponselnya di meja tanpa ekspresi. Matanya kembali fokus menelusuri data yang berbaris rapi di layar. Tangannya mengetik cepat, sesekali mengernyit saat menemukan kejanggalan dalam laporan keuangan bulan lalu.Sementara itu, suasana kantor sudah sepi. Hanya lampu di ruangannya yang masih menyala. Di luar jendela, kota mulai larut dalam cahaya malam. Tapi Adrian tak peduli. Ia lebih tertarik pada angka-angka yang tak sesuai ini. Ada transaksi dalam jumlah besar yang tercatat atas nama perusahaan—tetapi tak pernah ia setujui.“Ini aneh…” gumamnya, mengetuk pena ke meja. “Siapa yang menyetujui ini?”Ia membuka folder digital lain, menyam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status