Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.
Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.” Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap. Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak. “Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir. Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…” “Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?” Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia mencoba membuka aplikasinya, tapi ponselnya lag—baterai 8%, dan cuaca membuat jaringan semakin parah. Waktu seolah melawan. Matanya berkaca-kaca. “Astaga jangan sekarang,” bisiknya. Ia memutuskan turun dan berjalan kaki ke jalan besar. Tumit sepatunya, satu-satunya yang masih tampak “pantas”, terus terperosok ke trotoar berlubang. Gaun lusuhnya tersibak oleh angin, dan membuat orang-orang melirik aneh. Belum sampai lima langkah, BRUK! Tubuh Nadine terhuyung. Seorang pengendara sepeda listrik yang melaju terlalu cepat menabraknya dari samping. Tubuhnya jatuh ke aspal panas. Tangannya tergores, lututnya berdarah. “Maaf, Mbak! Nggak sengaja!” ucap pengendara panik, lalu pergi begitu saja, tanpa membantu. Nadine terduduk di pinggir trotoar. Gaun lusuh itu kini robek sedikit di bagian bawah. Debu dan noda jalanan menempel. Tangannya gemetar saat mengambil kembali kotak kalung yang nyaris terlempar. Orang-orang lewat begitu saja. Tak satu pun berhenti. Air matanya mengalir. Ia ingin menyerah. Namun, hatinya menolak. “Aku harus datang. Sekalipun hanya untuk menyerahkan ini…” Dengan tertatih, Nadine kembali berdiri. Ia menghentikan taksi tua yang lewat. Supirnya menatapnya ragu-ragu melihat tampilan Nadine yang acak-acakan. Tapi Nadine membuka dompet kecilnya dan mengulurkan selembar uang terakhir yang ia punya. “Ke Grand Aurelia, Pak. Tolong…” Supir itu akhirnya mengangguk. Mobil taksi tua itu berhenti di pelataran megah Grand Aurelia Hotel. Lantai marmer mengilap, air mancur menari di tengah taman bundar, dan deretan mobil mewah terparkir rapi, memantulkan kemilau langit senja yang mulai merona. Nadine turun perlahan. Langkahnya tertatih. Tumit sepatunya nyaris patah. Ujung gaunnya kotor oleh tanah dan sobek di satu sisi. Luka di lututnya sudah mengering tapi masih perih saat digerakkan. Tangan kanannya menggenggam erat kotak kecil berisi kalung dan undangan. Sementara rambutnya yang tadinya dikuncir rapi, kini berantakan, terurai ditiup angin. Ia menatap hotel megah itu dengan napas berat. “Ya Tuhan. Kuatkan aku,” gumamnya lirih. Begitu masuk ke lobi, hawa dingin AC menyambut tubuhnya yang masih hangat oleh peluh dan luka. Musik klasik mengalun lembut dari grand piano di sudut ruangan. Para tamu dalam balutan gaun rancangan desainer ternama dan setelan jas mahal mondar-mandir di depan matanya. Mereka semua terlihat sempurna. Dan Nadine… terlihat seperti noda di atas kain putih. Beberapa tamu melirik heran. Seorang wanita muda bahkan menahan napas dan berbisik pada temannya, “Dia siapa? Kenapa kayak gitu?” Nadine pura-pura tidak mendengar. Ia melangkah mantap menuju meja informasi. “Permisi…” suaranya lirih. “Ballroom Evelyn & Adrian?” Resepsionis wanita itu sempat memandang Nadine dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis. “Lantai 3, Ballroom Aurelia. Tapi… ehm, acara inti sudah selesai sejak siang, Bu.” Wajah Nadine menegang. “Sudah… selesai?” “Iya. Sekarang sesi makan malam dan dansa. Tapi... kalau Ibu masih ingin naik, silakan. Lift di sebelah kanan.” Nadine tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan dan berjalan ke arah lift. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah setiap detik adalah pengingat bahwa ia sudah terlambat… seperti biasa. Di dalam lift, ia berdiri sendiri. Lampu emas menyinari wajahnya dari atas, memantulkan bayangan luka dan air mata yang ia tahan mati-matian. Saat pintu lift terbuka di lantai 3, suara tawa, musik jazz, dan denting gelas menyambut telinganya. Ballroom megah itu penuh cahaya dan kemewahan. Langit-langit dihiasi kristal. Taplak-taplak putih tertata sempurna di meja bundar. Para tamu tertawa, berdansa, mencicipi canape eksklusif dan sampanye impor. Di tengah ruangan, Evelyn dan Adrian berdiri berdampingan. Evelyn terlihat memukau dalam gaun pengantin putih gading yang mewah, sementara Adrian tampak gagah dalam tuksedo hitam dengan dasi kupu-kupu perak. Mereka adalah pasangan sempurna. Sebuah lukisan hidup. Sampai... Nadine melangkah masuk. Langkahnya pelan. Tapi cukup mencuri perhatian. Semua mata menoleh ke arahnya. Terdiam. Ada yang terkejut. Ada yang mencibir. Ada yang tertawa sinis menutup mulut. Seorang tamu pria bahkan berbisik, “Siapa itu? Gelandangan nyasar?” Nadine tak memedulikan sorot mata tajam yang menyayat. Ia melangkah mantap meski lututnya gemetar. Pandangannya cepat menyapu ruangan, mencari sudut yang paling jauh dari pusat perhatian—dan ia menemukannya. Sebuah meja kecil di pojok ruangan, nyaris tersembunyi di balik pilar marmer dan pot besar berisi bunga lili putih. Tempat itu tidak terang, bahkan agak temaram karena lampu gantung tidak menjangkau sepenuhnya ke sana. Hanya ada satu kursi yang kosong. Dan itulah tempat yang Nadine pilih. "Syukurlah ada tempat yang layak untukku," syukur wanita itu. Ia berjalan ke arah sana, perlahan, seolah menyusuri mimpi buruk yang tak kunjung usai. Gaunnya menyeret lantai, menimbulkan suara gesekan halus. Ia menarik kursi dengan hati-hati, lalu duduk. Napasnya terengah. Pundaknya lelah. Dari sudut itu, ia bisa melihat semua. Evelyn yang tertawa sambil menggenggam tangan Adrian. Para tamu yang bercanda sambil mengangkat gelas anggur. Musik lembut yang kembali mengalun, seolah tak pernah ada gangguan. Pelayan yang berdiri di dekat buffet sempat meliriknya ragu. Tapi ketika Nadine hanya diam, menunduk, dan tidak membuat keributan, pelayan itu akhirnya menghampiri dengan piring kosong. “Mau saya ambilkan makanan, Bu?” tanyanya sopan, meski sorot matanya menyiratkan kebingungan. Nadine mengangguk pelan. “Apa saja… asal halal.” Tak lama kemudian, satu piring berisi potongan salmon panggang, mashed potato, salad segar, dan seiris kecil quiche diletakkan di hadapannya. Gelas berisi air mineral dingin menyusul. "Astaga. Makanan di sini sangat mewah. Bahkan dua hari ini aku harus mengais sampah untuk mengganjal perut." Nadine menatap makanan itu dengan hampa. Perutnya lapar, tapi hatinya terlalu perih. Lalu perlahan dengan tangan gemetar, ia menyendokkan sedikit mashed potato. "Bagaimana rasa makanan mahal ini?" batinnya terenyuh. Aroma sudah menggelitik hidungnya. Indera penciuman sudah menstimulus kalau makanan itu enak. Suapan pertama bahkan belum sempat sampai ke mulut Nadine, ketika suara hak sepatu stiletto bergema menembus musik dan riuh rendah ballroom. Langkah cepat dan penuh determinasi itu datang mendekat, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan meja Nadine. "Aku nggak percaya…" suara itu dingin, datar, tapi cukup keras untuk membuat meja-meja terdekat mulai terdiam dan melirik. "Nadine?" Nadine mendongak. Matanya melebar, menatap orang tersebut. Evelyn berdiri di sana. Anggun dan tak bercela dalam gaun pengantin dengan ekor renda yang menjuntai, rambut disanggul elegan, riasan sempurna. Namun, mata Evelyn menatapnya seperti melihat sesuatu yang menjijikkan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut Evelyn dengan nada yang lebih tajam. “Kamu nggak diundang.”Bibir Leonard terangkat begitu pesan yang ia ketik terkirim. Hatinya terasa hangat, rasanya tak sabar ingin keluar dari ruang meeting.Namun tatapan puluhan pasang mata dari para pejabat tinggi yang duduk melingkar di ruangan itu membuatnya harus menahan diri. Ia menyandarkan punggung ke kursi kulit cokelatnya, lalu mengangkat dagu sedikit—mengembalikan aura otoritasnya sebagai Menteri Dalam Negeri Republik ini."Pak Leonard," suara Direktur Jenderal Otonomi Daerah memecah keheningan, "terkait data wilayah perbatasan Kalimantan Utara, ada inkonsistensi koordinat dan potensi celah hukum yang bisa dimanfaatkan pihak asing."Leonard mengangguk pelan, jemarinya mengetuk pelan meja bundar. "Saya ingin semua data lintas kementerian dikompilasi ulang. Termasuk laporan militer dari pertahanan, BPN, dan informasi dari BIN. Kita tidak bisa mengabaikan hal sekecil apa pun dalam wilayah perbatasan. Saya ulang: sekecil apa pun."Seseorang dari Kementerian Keuangan mengangkat tangan. “Kalau begitu,
Alexander termenung di kursi goyangnya. Ia menyesap cerutu hingga asap mengebul pekat. Tangan kirinya sibuk mengetuk sadaran, dengan sorot tajam ke arah paludarium. Di dalam kepalanya berisi banyak hal, terutama putranya."Aku tidak menyangka dia sekeras kepala itu," gerutunya setelah menyembulkan asap ke udara. Wajahnya yang keriput dengan mata sayu, tak menurunkan vibes dark darinya. "Tidak ada cara lain. Aku harus menekan anak itu, sebelum terlambat."Pada saat itu terdengar ketukan heels di atas marmer. Wanita paro baya dengan dress merah ketat bahan beludru, membelai lembut dada suaminya. Lipstik merah menambah pancaran kecantikannya yang tak lekang oleh waktu."Sedang mikirin apa, Pa?" tanyanya lembut, sedikit berbisik di telinga Alexander."Seperti yang kamu duga." Pria itu menarik Victoria ke pangkuannya."Putra kita?" Senyum nakal tercetus dalam wajah ayu itu.Alexander hanya ber-hm. Rambutnya yang terdiri dari guratan putih, di sisir lembut oleh Victoria. "Bukankah dia m
RUANG PERTEMUAN DONOVAN PRIVATE CLUBRuangan tempat Nadine dibawa tak ubahnya ruang interogasi, meski tak ada lampu gantung menyala di atas kepala atau cermin dua arah. Tapi hawa di dalamnya cukup untuk membuat siapa pun kehilangan kendali atas detak jantung.Lantai marmer mengilap, karpet mewah dari wol Turki, dan meja oval panjang dengan hanya tiga kursi. Dua kursi sudah terisi. Nadine menelan ludah saat matanya bertemu sosok di sisi kanan meja.Alexander Sinclair.Ayah kandung Leonard.Sosok yang hampir tak pernah muncul di hadapan publik, tetapi namanya berkumandang di koridor kekuasaan sebagai raja bisnis minyak, logam, dan ia adalah mantan perdana menteri. Sampai sekarang ia masih berjibaku di dunia politik bayangan. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan sorot matanya menembus, seperti mampu membongkar isi pikiran Nadine tanpa perlu berkata apa pun.“Duduk,” ujar Victoria datar, tanpa memandang Nadine.Nadine menunduk, berjalan pelan, dan duduk di kursi yang tersedia. Kedua tang
KEESOKAN PAGINYANadine duduk di sofa kamar hotel dengan tangan memegang secangkir teh hangat. Matanya masih mengantuk, rambutnya dikuncir rendah seadanya, dan ia masih mengenakan hoodie kebesaran milik hotel. Tapi meski tampak santai, pikirannya berkelana.Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak."Nadine? Ini aku."Suara Leonard.Nadine bangkit dan membuka pintu. Ia sedikit terkejut melihat Leonard telah berpakaian rapi dengan setelan jas abu gelap yang menegaskan aura karismatiknya. Dasi biru tua yang dipilihnya memberikan kesan tenang dan dapat dipercaya—penampilan seorang calon presiden yang sudah siap turun ke lapangan.“Pagi,” sapa Leonard, tersenyum kecil. Matanya menyapu penampilan Nadine sekilas. Tak ada kritik. Hanya... kehangatan.“Pagi,” balas Nadine, suara pelan.Leonard mengangkat kotak kecil dari tangannya. “Sarapan. Aku tahu kamu nggak suka makan pagi di restoran hotel karena terlalu ramai. Aku pesan khusus dari koki pribadi.”Nadine sempat menahan napas, lalu ters
Usai makan malam yang hangat dan tenang, Leonard menawarkan tangan pada Nadine saat mereka meninggalkan ruang makan privat. Lampu-lampu lorong hotel meredup dengan hangat, menyinari langkah mereka menuju taman kecil di sisi belakang bangunan—tempat yang jarang dilewati tamu lain, terutama di malam hari.Begitu kaki mereka menginjak jalan setapak berbatu yang mengarah ke taman, udara malam menyambut dengan embusan lembut yang menggesek pelan helai-helai rambut Nadine. Rerumputan terpangkas rapi, dan pohon-pohon palem berdiri seperti penjaga diam. Cahaya kuning temaram dari lentera taman membuat suasana seolah berbisik, "Rahasiakan momen ini hanya untuk kalian."Leonard menyelipkan tangan ke dalam saku celananya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Nadine yang berjalan di sampingnya. "Aku tahu kamu masih menyimpan banyak hal," kata Leonard akhirnya, suaranya rendah dan pelan, hampir seperti gumaman angin.Nadine menoleh, menatapnya sekilas. "Aku tidak bermaksud menyembunyikan apa-apa."
Leonard membuka pintu ruang makan privat dan mempersilakan Nadine masuk lebih dulu. Ruangan itu hangat dan intim, dindingnya dihiasi lukisan klasik, dan hanya ada satu meja kecil bundar yang sudah ditata sempurna dengan lilin di tengahnya. Pencahayaan temaram dari chandelier kristal menggantung di atas, menambah kesan elegan. Di luar, kaca lebar menampilkan pemandangan kota yang berkilau malam itu.Nadine menelan ludah pelan. Rasanya terlalu mewah untuk seseorang sepertinya. Ia bisa merasakan aroma lembut lavender dan wine menguar di udara.Leonard menarikkan kursi untuknya dengan sopan. "Silakan duduk."Nadine mengangguk kecil dan duduk, lalu memperhatikan pria di hadapannya. Leonard tampak tenang, tapi di balik sorot matanya, ada kegelisahan yang seolah tak bisa ia tutupi sepenuhnya. Sesekali, ia melirik Nadine, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.Tak lama, pelayan datang membawa hidangan pembuka. Mereka tak banyak bicara, hanya terdengar dentingan alat makan yang lembut.S