Share

BAB 7

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-04-13 22:59:24

Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.

Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.”

Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap.

Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak.

“Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir.

Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…”

“Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?”

Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia mencoba membuka aplikasinya, tapi ponselnya lag—baterai 8%, dan cuaca membuat jaringan semakin parah.

Waktu seolah melawan. Matanya berkaca-kaca.

“Astaga jangan sekarang,” bisiknya.

Ia memutuskan turun dan berjalan kaki ke jalan besar. Tumit sepatunya, satu-satunya yang masih tampak “pantas”, terus terperosok ke trotoar berlubang. Gaun lusuhnya tersibak oleh angin, dan membuat orang-orang melirik aneh.

Belum sampai lima langkah, BRUK!

Tubuh Nadine terhuyung. Seorang pengendara sepeda listrik yang melaju terlalu cepat menabraknya dari samping. Tubuhnya jatuh ke aspal panas. Tangannya tergores, lututnya berdarah.

“Maaf, Mbak! Nggak sengaja!” ucap pengendara panik, lalu pergi begitu saja, tanpa membantu.

Nadine terduduk di pinggir trotoar. Gaun lusuh itu kini robek sedikit di bagian bawah. Debu dan noda jalanan menempel. Tangannya gemetar saat mengambil kembali kotak kalung yang nyaris terlempar.

Orang-orang lewat begitu saja. Tak satu pun berhenti.

Air matanya mengalir. Ia ingin menyerah. Namun, hatinya menolak.

“Aku harus datang. Sekalipun hanya untuk menyerahkan ini…”

Dengan tertatih, Nadine kembali berdiri. Ia menghentikan taksi tua yang lewat. Supirnya menatapnya ragu-ragu melihat tampilan Nadine yang acak-acakan. Tapi Nadine membuka dompet kecilnya dan mengulurkan selembar uang terakhir yang ia punya.

“Ke Grand Aurelia, Pak. Tolong…”

Supir itu akhirnya mengangguk.

Mobil taksi tua itu berhenti di pelataran megah Grand Aurelia Hotel. Lantai marmer mengilap, air mancur menari di tengah taman bundar, dan deretan mobil mewah terparkir rapi, memantulkan kemilau langit senja yang mulai merona.

Nadine turun perlahan. Langkahnya tertatih. Tumit sepatunya nyaris patah. Ujung gaunnya kotor oleh tanah dan sobek di satu sisi. Luka di lututnya sudah mengering tapi masih perih saat digerakkan. Tangan kanannya menggenggam erat kotak kecil berisi kalung dan undangan. Sementara rambutnya yang tadinya dikuncir rapi, kini berantakan, terurai ditiup angin.

Ia menatap hotel megah itu dengan napas berat.

“Ya Tuhan. Kuatkan aku,” gumamnya lirih.

Begitu masuk ke lobi, hawa dingin AC menyambut tubuhnya yang masih hangat oleh peluh dan luka. Musik klasik mengalun lembut dari grand piano di sudut ruangan. Para tamu dalam balutan gaun rancangan desainer ternama dan setelan jas mahal mondar-mandir di depan matanya.

Mereka semua terlihat sempurna. Dan Nadine… terlihat seperti noda di atas kain putih.

Beberapa tamu melirik heran. Seorang wanita muda bahkan menahan napas dan berbisik pada temannya, “Dia siapa? Kenapa kayak gitu?”

Nadine pura-pura tidak mendengar. Ia melangkah mantap menuju meja informasi.

“Permisi…” suaranya lirih. “Ballroom Evelyn & Adrian?”

Resepsionis wanita itu sempat memandang Nadine dari atas ke bawah, lalu tersenyum tipis. “Lantai 3, Ballroom Aurelia. Tapi… ehm, acara inti sudah selesai sejak siang, Bu.”

Wajah Nadine menegang.

“Sudah… selesai?”

“Iya. Sekarang sesi makan malam dan dansa. Tapi... kalau Ibu masih ingin naik, silakan. Lift di sebelah kanan.”

Nadine tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan dan berjalan ke arah lift. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah setiap detik adalah pengingat bahwa ia sudah terlambat… seperti biasa.

Di dalam lift, ia berdiri sendiri. Lampu emas menyinari wajahnya dari atas, memantulkan bayangan luka dan air mata yang ia tahan mati-matian.

Saat pintu lift terbuka di lantai 3, suara tawa, musik jazz, dan denting gelas menyambut telinganya. Ballroom megah itu penuh cahaya dan kemewahan. Langit-langit dihiasi kristal. Taplak-taplak putih tertata sempurna di meja bundar. Para tamu tertawa, berdansa, mencicipi canape eksklusif dan sampanye impor.

Di tengah ruangan, Evelyn dan Adrian berdiri berdampingan. Evelyn terlihat memukau dalam gaun pengantin putih gading yang mewah, sementara Adrian tampak gagah dalam tuksedo hitam dengan dasi kupu-kupu perak.

Mereka adalah pasangan sempurna. Sebuah lukisan hidup.

Sampai...

Nadine melangkah masuk. Langkahnya pelan. Tapi cukup mencuri perhatian.

Semua mata menoleh ke arahnya. Terdiam. Ada yang terkejut. Ada yang mencibir. Ada yang tertawa sinis menutup mulut. Seorang tamu pria bahkan berbisik, “Siapa itu? Gelandangan nyasar?”

Nadine tak memedulikan sorot mata tajam yang menyayat. Ia melangkah mantap meski lututnya gemetar. Pandangannya cepat menyapu ruangan, mencari sudut yang paling jauh dari pusat perhatian—dan ia menemukannya.

Sebuah meja kecil di pojok ruangan, nyaris tersembunyi di balik pilar marmer dan pot besar berisi bunga lili putih. Tempat itu tidak terang, bahkan agak temaram karena lampu gantung tidak menjangkau sepenuhnya ke sana. Hanya ada satu kursi yang kosong. Dan itulah tempat yang Nadine pilih.

"Syukurlah ada tempat yang layak untukku," syukur wanita itu.

Ia berjalan ke arah sana, perlahan, seolah menyusuri mimpi buruk yang tak kunjung usai. Gaunnya menyeret lantai, menimbulkan suara gesekan halus. Ia menarik kursi dengan hati-hati, lalu duduk. Napasnya terengah. Pundaknya lelah.

Dari sudut itu, ia bisa melihat semua. Evelyn yang tertawa sambil menggenggam tangan Adrian. Para tamu yang bercanda sambil mengangkat gelas anggur. Musik lembut yang kembali mengalun, seolah tak pernah ada gangguan.

Pelayan yang berdiri di dekat buffet sempat meliriknya ragu. Tapi ketika Nadine hanya diam, menunduk, dan tidak membuat keributan, pelayan itu akhirnya menghampiri dengan piring kosong.

“Mau saya ambilkan makanan, Bu?” tanyanya sopan, meski sorot matanya menyiratkan kebingungan.

Nadine mengangguk pelan. “Apa saja… asal halal.”

Tak lama kemudian, satu piring berisi potongan salmon panggang, mashed potato, salad segar, dan seiris kecil quiche diletakkan di hadapannya. Gelas berisi air mineral dingin menyusul.

"Astaga. Makanan di sini sangat mewah. Bahkan dua hari ini aku harus mengais sampah untuk mengganjal perut."

Nadine menatap makanan itu dengan hampa. Perutnya lapar, tapi hatinya terlalu perih.

Lalu perlahan dengan tangan gemetar, ia menyendokkan sedikit mashed potato.

"Bagaimana rasa makanan mahal ini?" batinnya terenyuh. Aroma sudah menggelitik hidungnya. Indera penciuman sudah menstimulus kalau makanan itu enak.

Suapan pertama bahkan belum sempat sampai ke mulut Nadine, ketika suara hak sepatu stiletto bergema menembus musik dan riuh rendah ballroom.

Langkah cepat dan penuh determinasi itu datang mendekat, sebelum akhirnya berhenti tepat di depan meja Nadine.

"Aku nggak percaya…" suara itu dingin, datar, tapi cukup keras untuk membuat meja-meja terdekat mulai terdiam dan melirik. "Nadine?"

Nadine mendongak. Matanya melebar, menatap orang tersebut.

Evelyn berdiri di sana. Anggun dan tak bercela dalam gaun pengantin dengan ekor renda yang menjuntai, rambut disanggul elegan, riasan sempurna. Namun, mata Evelyn menatapnya seperti melihat sesuatu yang menjijikkan.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut Evelyn dengan nada yang lebih tajam. “Kamu nggak diundang.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
intan
ini kapan di lanjutin ka......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 20

    Nadine merenung di kamar. Ia sudha mengemasi barang-barangnya dan berniat keluar dari rumah ini. Namun, baru saja ia keluar dari kamar, seorang pria paruh baya menatapnya dengan penasaran."Anda mau ke mana, Nona?" tanyanya ramah. Dia adalah pria yang menjemputnya dari apartement Adrian kemarin sore.Nadine yang kikuk karena merasa atmosfer kurang nyaman, segera menjawab, "pulang.""Oh. Maaf, Nona. Tapi Tuan tidak mengizinkan Anda keluar sejengkal pun dari rumah ini."Mata Nadine terbelalak. "Apa? Kenapa?""Saya tidak tahu alasan yang pasti. Tapi, Nona pasti tahu. Jadi, mohon untuk tidak keluar dari rumah ini, atau saya akan mendapat masalah besar."Nadine melirik name tag di dada kanan pria itu, ternyata namanya Jack."Sorry, Jack. Tapi aku harus pergi sekarang."Jack tersenyum, ia kemudian mendekat. Dalam satu kilat tote bag yang dijinjing Nadine sudah berada di tangannya."Bawa Nona Nadine bersenang-senang," perintahnya pada pelayan."Untuk sementara, biar saya yang menyimpan ini."

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 19

    Jantung Nadine berdebar hebat. Ia mengerat bibirnya dengan rapat. Leonard meliriknya sekilas, namun jarinya masih menggulir layar tablet. Di sana terdapat laporan terbaru soal perusahaan yang dia miliki. Posisinya sebagai Menteri dalam negeri, membuat Leonard terpaksa melepaskan posisinya sebagai CEO perusahaan. Namun, dia tetapi rutin mengecek apa saja progress dan regresi. Sialnya pagi ini dia mendapat kabar buruk. Perusahaan mengalami regresi. Tepatnya pada satu jam yang lalu saat ia berniat sarapan dengan tenang.Leonard terpaksa menyipitkan mata saat menatap laporan di layar tablet. Grafik merah menurun tajam. Angka-angka yang sebelumnya stabil, kini menunjukkan penurunan signifikan dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Jari-jarinya mengetuk pelan sisi layar, pertanda bahwa pikirannya mulai dipenuhi amarah yang ditahan.[Laporan Masuk: Penurunan saham 12%, kerugian operasional akibat sabotase logistik di Batam, dan pemutusan sepihak kontrak dari investor asing.]Dahi Leonard ber

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 18

    Di sisi lain, Adrian sedang hectic dengan pekerjaan kantornya. Kepalanya berdenyut karena mendapat serangan dari hacker luar. "Untung saja Anda kembali lebih cepat, Pak. Saya bakal kelabakan kalau pemerintah tahu cyberspace sedang dibobol hacker." Rekan kerjanya bersyukur atas kehadiran Adrian yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan mereka."Bagaimana bisa ini terjadi?" Mata Adrian mengusut beragam kode yang ada di layar. "Sepertinya ini diakibatkan melonjaknya data masyarakat Indonesia yang disadap hacker. Seperkiraan saya, ada aparat yang terkena juga, jadi-""Aku tidak butuh praduga! Cari penyebab konkrit, secepatnya!" murka Adrian yang kesal dengan karyawannya. "Kalian itu bekerja di bidang teknologi! Pakai logika!""B-baik, Pak."Suara ketik keyboard semakin kencang. Semua anak buahnya bekerja mati-matian. Adrian membaca semua hasil penemuan mereka dengan seksama.'Sial! Ada aja masalah. Padahal aku belum berseneng-senang dengan Nadine,' batin pria itu makin frustrasi.Mendadak s

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 17

    Setelah mengirimkan pesan, Nadine segera kembali ke tempatnya. Tak lupa ia membawa ponsel. 'Ya Tuhan. Kumohon, berilah hamba pertolongan,' doa wanita itu dari dalam hati.Menit berlalu berganti jam, langit tampak menggelap. Nadine tanpa sadar tertidur karena merasa lelah dengan ketegangan yang terjadi hari ini.Di saat ia terlelap dalam tidurnya, mendadak seseorang menggoyang kakinya."Hei bangun."Suara bariton yang berat dan menakutkan berhasil membuat Nadine terperanjat."Jangan sentuh aku!" teriak Nadine tanpa sadar.Pria suruhan Adrian itu hanya menatapnya dengan datar. Helaan keluar dari hidungnya. "Ayo keluar!"Mata Nadine terbelalak. "Ke mana?""Udah ikut aja!"Nadine berusaha menolak, tetapi tenaga penjaga itu sangat kuat hingga membuatnya terseret dan menjauh dari apartement."Lepas!" rontanya sekuat tenaga. "Siapapun! Tolong Sa-""Jangan teriak!" seru penjaga dengan tatapan tajam. Mulut Nadine dibekap dengan tangan."Diem! Kamu minta pertolongan, kan?!" bisik pria itu. Nad

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 16

    Satpam itu berdiri dan pura-pura terlihat bingung. Nadine masih menggenggam lengannya, matanya memohon.“Tolong saya. Tolong saya, Pak. Dia ingin menyakiti saya—”Satpam itu mundur selangkah dan memalingkan wajah, pura-pura tidak melihat apa pun. Justru ia menyeringai samar, dan dalam satu isyarat tangan, dua pria berbadan besar yang sebelumnya tak terlihat di balik mobil van segera muncul. Mereka mengenakan pakaian sipil, tetapi dari gerak tubuh dan tatapan mereka, Nadine tahu mereka bukan orang biasa.Panikkk. Nadine segera berbalik, berniat berlari ke arah luar gerbang kampus. Namun, salah satu pria itu sudah memotong jalannya. Lengan kekar menahannya dari samping, menarik kasar hingga tubuhnya terhuyung. Ia meronta, menjerit, menendang, tapi sia-sia.Nadine menjerit lagi, “TOLONG! ADA YANG MAU MENCULIK SAYA!”“LEPASKAN! LEPASKAN AKU!” Nadine menjerit, suaranya menggema di area parkiran.Adrian mendekat cepat, napasnya memburu, wajahnya kini benar-benar seperti orang yang kehilanga

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 15

    Adrian menekan kuat dagu Nadine, wajahnya perlahan mendekat. Tingkahanya membuat mata Nadine terbelalak. Tekanan jari Adrian pada dagunya menyebabkan rasa nyeri disatu titik. 'Apa yang mau dia lakukan?' batin Nadine frustrasi.Perlahan pria itu memejamkan mata dan mendekatkan bibirnya ke bibir Nadine. 'Tak ada cara lain!' Sebelum terjadi sentuhan, Nadine menamparnya keras. Suara tamparan itu menggema, menyayat keheningan perpustakaan seperti petir yang tiba-tiba mengoyak langit cerah. Adrian tertegun. Kepalanya sedikit terpaksa menoleh ke samping karena pukulan itu, tapi matanya tetap menatap Nadine dengan campuran keterkejutan dan amarah.“Jangan pernah sentuh aku,” bisik Nadine tajam. Tubhunya gemetar, nafasnya tersengal, dan dadanya naik-turun. Reaksinya bukan karena takut, tapi kemarahan dan trauma yang nyaris meledak.Adrian mengusap pipinya perlahan, lalu menatap Nadine dengan sorot mata yang berubah. Cara melihatnya sangat gelap."Aku memperlakukanmu baik-baik," katanya renda

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 14

    Andrew mendekat. Tangannya menyentuh rak terakhir yang hanya berjarak dua meter dari meja pelayanan tempat Nadine duduk. Ia menaruh buku dengan gerakan pelan, terukur. Wajahnya masih tertunduk, tapi matanya menatap tajam ke arah target—Nadine, yang masih belum sadar apa-apa."Sepuluh detik lagi," bisik Andrew dalam hati, tangannya perlahan menyelipkan benda kecil ke dalam saku jaketnya. Sebuah pulpen modifikasi. Bukan untuk menulis, tapi mengandung jarum mikro berisi cairan neurotoksin. Cukup satu tusukan di area leher, korban akan pingsan dalam dua menit, dan kematian terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh.Namun sebelum ia melangkah lebih dekat, mendadak sebuah suara berat menghentikan langkahnya.“Jangan coba-coba, Andrew.”Langkah Andrew membeku. Nadine masih tak menyadari, karena suara itu begitu pelan. Perkataan itu hanya ditujukan padanya.Ia menoleh perlahan.Adrian berdiri sepuluh langkah di belakang, mengenakan kemeja dan celana bahan, menyamar seperti dosen atau staf kampus

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 13

    Nadine menghela napas setelah mendapat notifikasi gajinya sebagai pustakan masuk ke rekening. Di tas yang ia bawa, masih terdapat beberapa lembar uang yang diselipkan Leonard seminggu lalu. Tak terasa ia kembali ke rutinitas tanpa gangguan apapun."Apa aku boleh memakainya?" lirihnya menatap lembaran berwarna merah tersebut. Padahal beberapa hari ini, dia bertahan hidup memakai uang tersebut. Namun, dengan kesadaran diri yangtinggi, ia menggabungkan beberapa uang dari gajinya dengan uang Leonard. "Aku akan mengembalikannya kalau kita nggak sengaja ketemu."Wanita itu segera memasuki perpustakaan. Sebelum itu, ia sempat mampir ke cafe untuk membeli satu croissant isi cokelat dan secup americano. Aroma kopi sedikit menenangkan pikirannya yang mulai lelah. Ia kembali berjalan ke perpustakaan, menyapa sekilas beberapa rekan kerja dan mahasiswa. Hari tampak biasa. Tenang. Rutinitas yang semu.Tapi dari arah gedung seberang, lensa kamera kecil yang terpasang di dalam lampu jalan bergerak pe

  • Dosa di Ranjang Sang Penguasa   BAB 12

    Sementara di dua tempat yang berbeda, dua pria dengan obsesi yang sama telah menempatkan bidak-bidak mereka untuk mengawasi satu sosok yang tak bisa mereka buang dari kepala—Nadine.Di sebuah ruang gelap berisi layar-layar monitor dan peta kota terpajang di dinding, seorang pria berkacamata sedang mengetik laporan di laptopnya."Target sudah masuk ke gedung Perpustakaan Universitas 21 April pukul 09.12. Kondisi fisik terlihat lemah, diduga belum makan. Saat ini sedang berada di balik meja pelayanan utama lantai satu. Tidak menunjukkan interaksi mencurigakan."Ia menekan tombol enter, lalu menyisipkan laporan itu ke dalam sistem internal. Tak sampai dua menit kemudian, layar monitor utama berkedip.INCOMING CALL: LS“Sinclair di sini,” kata Leonard dari balik layar, mengenakan setelan jas rapi. Matanya gelap, penuh perhitungan.“Update terakhir?” tanyanya singkat.“Dia kembali bekerja, Pak. Tapi kondisinya masih rapuh. Kami sudah menempatkan dua orang di lingkungan perpustakaan. Salah s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status