LOGINLangkah Lyra terhuyung di sepanjang trotoar, tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, lampu jalan menyinari wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sepasang sepatu hak yang ia kenakan terasa semakin menyiksa setiap kali dirinya melangkah. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada lecet di kakinya.
Hembusan angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuh Lyra menggigil meski sudah memakai jaket. Dengan pikiran kacau, ia akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan dirinya ke bangku kayu, menengadahkan wajahnya ke langit malam yang terlihat buram karena air matanya. Tangannya merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang nyaris kehabisan baterai. Jemarinya gemetar saat menekan nama Sally di daftar kontak—ibunya, satu-satunya orang yang masih ia harapkan bisa menjadi tempat pulang. Ponsel menempel di telinga, nada sambung terdengar panjang. Hatinya berdebar penuh harap, seolah hidupnya bergantung pada jawaban di ujung telepon sana. “Hallo?” Suara perempuan terdengar menjawab dengan malas. Suara Lyra bergetar. “M–ma ... ini aku, Lyra.” Terdengar nada kesal dari seberang. “Oh, kamu. Ada apa nelpon malam-malam begini?” “Ma, aku ... aku diusir dari rumah. Apa aku bisa menginap di rumah Mama?” Di ujung sana, Sally terdiam sebentar. Lyra menunggu, berharap ibunya akan menerimanya. Namun, jawaban yang keluar justru menusuk jantungnya. “Kalau kamu mau menginap, bawakan uang. Ibumu ini butuh banyak hal. Uang belanja, uang untuk membayar tagihan, juga untuk suamiku. Kalau kamu tidak punya, jangan harap bisa tinggal di sini.” Lyra menutup mulutnya, menahan suaranya agar isakannya tak terdengar. Dadanya terasa sakit, harapan terakhirnya pun sirna begitu saja. Suara Sally di ujung telepon terdengar ketus. “Johan tidak memberi uang sepeser pun sebelum mengusirmu?” Lyra terdiam, tangannya meremas kemejanya sambil menahan isak. “Tidak, Ma. Papa ... dia memaksaku menikah dengan pria yang gak aku kenal. Karena aku menolak, dia mengusirku.” Alih-alih merasa iba, Sally malah menghela napas keras. “Harusnya kau terima saja pernikahan itu, Lyra! Itu kan demi masa depanmu. Kamu selalu saja keras kepala, makanya jadi begini.” “Ma ....” Suara Lyra akhirnya pecah, ia terdengar lelah. “Aku cuma pengen nikah sama orang yang kucintai, bukan dipaksa begitu, Ma.” Namun, Sally tak peduli. Nada bicaranya berubah tajam dan penuh tuntutan. “Dengar ya, aku gak butuh alasanmu. Yang aku butuhkan sekarang adalah uang. Kamu anakku, jadi anggap ini kewajibanmu. Minggu depan, kirimkan aku uang. Suamiku butuh biaya, dan banyak juga barang branded yang harus kubeli.” Jantung Lyra seakan diremas. Harapan yang tadinya tipis kini benar-benar hancur. Ia menunduk, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti, sementara suara ibunya masih terdengar jelas, penuh tuntutan dan tanpa secuil pun kasih sayang. Lyra menggenggam ponselnya erat. “Ma, aku bahkan gak punya uang. Papa mengusirku dan memintaku mengganti semua biaya hidup yang pernah dikeluarkannya untukku.” Sejenak hening di ujung telepon. Bukannya kasihan, Sally justru tertawa sinis. “Kalau begitu, kamu juga harus membayar aku. Jangan lupa, aku yang melahirkanmu, Lyra. Itu jauh lebih besar daripada sekadar biaya hidup. Jadi kau wajib membalasku dengan uang juga.” Tubuh Lyra bergetar hebat, tangannya menekan dada yang terasa sesak. “Ma, kenapa Mama tega bilang gitu ke aku? Aku anakmu, Ma.” Sally hanya mendengus malas. “Kamu terlalu bodoh, Lyra. Dunia ini gak butuh orang yang cuma bisa nangis. Kalau kamu pengen dianggap berguna, buktikan dengan memberi. Minggu depan aku tunggu uang itu. Kalau gak, jangan pernah hubungin aku lagi!" Suara sambungan terputus, meninggalkan Lyra yang menatap layar ponsel yang kini menampilkan bayangan dirinya yang menyedihkan. Air matanya tak terbendung, jatuh deras ke pangkuannya. Ia benar-benar sendirian, ditolak oleh dua orang yang seharusnya menjadi pelindungnya di dunia yang keras ini. Tiba-tiba layar ponselnya kembali menyala. Sebuah pesan singkat masuk: “Saya Neilson Alexander. Malam ini, kita bertemu. Ada hal yang perlu saya bicarakan.” Jari-jarinya gemetar saat membaca nama itu, lelaki asing yang disebut ayahnya sebagai calon suaminya. Lyra menatap layar cukup lama, perasaannya campur aduk. Hatinya ingin menolak, tetapi kenyataan menyadarkannya bahwa ia benar-benar tidak punya tujuan lagi. Tidak ada rumah untuk kembali, sedangkan perutnya terasa melilit sejak tadi. Lyra menarik napas panjang, mencoba menelan kepahitan yang membakar tenggorokannya. Setelah beberapa menit menimbang, ia akhirnya mengetik balasan. “Baik. Katakan di mana tempatnya.” _____ Lyra melangkah masuk ke restoran mewah dengan jantung yang berdebar kencang. Matanya menyapu ruangan, beberapa lirikan mata tertuju kearahnya membuatnya menunduk malu. Pakaian yang ia gunakan hanya kemeja dengan balutan jaket dan celana jeans yang ternoda oleh darah di lututnya. Dia benar-benar terlihat seperti gelandangan di tengah para pelanggan yang memakai dress cantik dan mewah. Lyra memilih duduk di salah satu kursi dekat jendela, merapatkan tas di pangkuan sambil menunggu kedatangan lelaki yang menjadi calon suaminya itu. Hingga suara langkah tegap terdengar mendekat. Lyra mendongak, dan detik itu juga napasnya tercekat di tenggorokan. Seorang lelaki berjas hitam dengan wajah dingin dan tatapan tajam berdiri di hadapannya. Wibawa lelaki itu begitu kuat hingga Lyra spontan menunduk, tak sanggup menatap lebih lama. Tanpa basa-basi, lelaki itu menarik kursi dan duduk tepat di depannya. Tatapannya menelusuri wajah Lyra, seolah menilai dan mengukur dirinya dari ujung rambut hingga kaki. “Jadi, kau Lyra Florency?” tanyanya datar, tanpa nada ramah sedikit pun. Lyra menelan ludah, tangannya menggenggam ujung kemejanya erat. “I–iya, aku Lyra.” Lyra kembali membuka mulut, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu. “Aku—” Namun, suaranya langsung terhenti ketika lelaki itu menyodorkan sebuah map cokelat tebal ke hadapannya. Gerakan Neilson begitu cepat, dingin, dan penuh wibawa, membuat Lyra terdiam dengan bibir setengah terbuka. “Baca,” titah Neilson singkat, suaranya datar tanpa emosi. Lyra menatap map itu ragu-ragu, lalu mengangkat pandangan pada pria yang duduk tegap di hadapannya. Tatapan tajam Neilson seakan menekannya hingga akhirnya ia menurunkan pandangan lagi. Jemarinya yang gemetar membuka map tersebut, dan matanya langsung membesar saat membaca judul di halaman pertama: Kontrak Pernikahan. Neilson menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan kedua tangan dengan ekspresi dingin. “Aku tidak tertarik dengan cinta atau segala omong kosong tentang pernikahan. Aku hanya butuh pernikahan untuk memenuhi syarat ayahku. Sebagai imbalannya, aku akan memberimu uang dalam jumlah besar.” Lyra menelan ludah ketika membaca kontrak itu, ia membalik halaman demi halaman. Dirinya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya tentang isi yang tertulis dalam kontrak tersebut. Neilson melanjutkan dengan nada lebih tajam. “Anggap saja ini transaksi. Kamu akan menjadi istriku di hadapan ayahku. Di depan orang-orang, kita orang asing, tidak lebih.”Lyra menutup pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan gerbang. Hatinya berdebar penuh semangat, masih terbawa oleh kabar bahagia yang disampaikan Wina beberapa menit lalu. “Mr. Neil ... jadi dosen di kampus?” gumamnya, nyaris tak percaya. Senyum kecil merekah di wajah Lyra, matanya berbinar penuh antusiasme. Desainer yang selama ini hanya bisa Lyra kagumi lewat karya-karyanya, kini akan menjadi dosen barunya dan berdiri di depan kelasnya. Hari ini Neil, desainer favoritenya akan mengajar untuk pertama kalinya. Dan Lyra tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ia merapatkan tas di pangkuannya, pandangan matanya menatap keluar jendela taksi dengan penuh harap, seolah dunia tiba-tiba menghadiahkannya sebuah keberuntungan besar. Meskipun pikirannya masih melayang pada pernikahan kontrak yang baru saja dijalaninya, kini semangatnya kembali membuncah. Kampusnya menanti, begitu juga sosok yang diam-diam selalu men
Kotak putih itu adalah kotak P3K. Tangan Lyra terhenti, ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Perlahan, Lyra menurunkan pandangan ke kakinya. Sepatu yang tadi ia kenakan kembali ia lepaskan, dan barulah ia menyadari rasa perih yang sejak tadi ditahannya. Pergelangan kakinya lecet, sementara lututnya memerah dengan sedikit darah kering akibat dorongan keras ayahnya tadi. Jantung Lyra berdegup aneh. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya. Kotak P3K itu pasti bukanlah kebetulan, Lyra yang sejak tadi tak menyadari luka itu justru Neilson yang lebih menyadarinya. Lelaki yang hampir tidak mengenalnya ternyata cukup jeli untuk memperhatikan luka kecil di tubuhnya. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kasa steril, kapas, dan obat antiseptik. “Dia memperhatikan aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Mata Lyra terasa panas, tetapi ia buru-buru menggeleng, menahan air mata agar tidak jatuh. Dengan pelan, ia membersihkan lukanya sendiri. Ia mendesis kecil ke
Lyra membalik halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin hatinya tak percaya. Di sana tertulis dengan jelas bahwa setelah pernikahan, keduanya diwajibkan tinggal dalam satu rumah. Namun, dilarang melewati batas dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Bahkan kamar tidur mereka akan terpisah. Lyra menelan ludah, melirik Neilson yang terlihat duduk tenang di hadapannya, wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman. Neilson kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Lyra. “Sebagai imbalannya, kau akan mendapat ini. Kartu tanpa batas. Kau bisa membeli apa saja, tanpa perlu meminta izin.” Lyra menatap kartu itu seperti menatap harta karun langka. Hatinya berdegup kencang, tak menyangka ada tawaran kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suara Neilson terdengar lagi. “Pikirkan baik-baik, Lyra Florency. Aku menawarkan kebebasan finansial. Dan aku hanya perlu satu hal darimu,
Langkah Lyra terhuyung di sepanjang trotoar, tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, lampu jalan menyinari wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sepasang sepatu hak yang ia kenakan terasa semakin menyiksa setiap kali dirinya melangkah. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada lecet di kakinya. Hembusan angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuh Lyra menggigil meski sudah memakai jaket. Dengan pikiran kacau, ia akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan dirinya ke bangku kayu, menengadahkan wajahnya ke langit malam yang terlihat buram karena air matanya. Tangannya merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang nyaris kehabisan baterai. Jemarinya gemetar saat menekan nama Sally di daftar kontak—ibunya, satu-satunya orang yang masih ia harapkan bisa menjadi tempat pulang. Ponsel menempel di telinga, nada sambung terdengar panjang. Hatinya berdebar penuh harap, seolah hidupnya bergantung pada jawaban di ujung telepon sana. “Hallo?” Suara perempua
“Nggak, Pa! Lyra gak mau menikah dengan pria itu!” Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lyra setelah melontarkan penolakan. Tubuhnya terdorong jatuh ke lantai, ia memegang pipinya yang terasa perih, pandangan matanya mulai berkunang karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri. “Kurang ajar!” bentak Johan Fernando, ayahnya, dengan wajah yang sudah merah padam. “Kamu pikir hidupmu ini kamu biayai sendiri? Sejak kecil, aku yang membesarkanmu dengan uangku. Saat ibumu membuangmu ke panti asuhan, siapa yang datang menjemputmu? Aku! Dan sekarang kau menolak membalas budiku?” Lyra berusaha keras menahan air matanya, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang mulai gemetar. Kata-kata ayahnya tajam, seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Papa, aku gak bisa ... aku gak mengenalnya. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang bahkan belum kukenal?” suaranya terdengar gemetar, penuh rasa takut. Johan berjongkok kemudian meraih kerah kemeja Lyra. Ia menar







