Share

Bab 03

Author: Penadiary
last update Last Updated: 2025-09-27 15:00:10

Lyra membalik halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin hatinya tak percaya.

Di sana tertulis dengan jelas bahwa setelah pernikahan, keduanya diwajibkan tinggal dalam satu rumah. Namun, dilarang melewati batas dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Bahkan kamar tidur mereka akan terpisah.

Lyra menelan ludah, melirik Neilson yang terlihat duduk tenang di hadapannya, wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman.

Neilson kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Lyra. “Sebagai imbalannya, kau akan mendapat ini. Kartu tanpa batas. Kau bisa membeli apa saja, tanpa perlu meminta izin.”

Lyra menatap kartu itu seperti menatap harta karun langka. Hatinya berdegup kencang, tak menyangka ada tawaran kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Suara Neilson terdengar lagi. “Pikirkan baik-baik, Lyra Florency. Aku menawarkan kebebasan finansial. Dan aku hanya perlu satu hal darimu, status sebagai istri.”

Alih-alih merasa tak terima, Lyra justru terdiam, lalu perlahan sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Ia membaca ulang poin-poin kontrak itu, memastikan matanya tak salah. Tidak boleh mencampuri urusan pribadi. Tidak boleh melewati batas. Bahkan kamar pun dipisahkan. Namun, imbalan yang dirinya terima justru sangat besar.

Tak ada kewajiban untuk tunduk sebagai istri sesungguhnya. Tak ada paksaan untuk berbagi perasaan apalagi tubuh. Semua yang ia takutkan tentang pernikahan paksaan ini tiba-tiba terasa sirna.

"Ini ... sama sekali tidak merugikanku," batin Lyra bahagia.

Lyra kembali mengangkat wajahnya. Pandangannya bertemu dengan mata Neilson yang dingin dan penuh wibawa. Seketika ia teringat semua rumor yang pernah didengarnya, bahwa anak sulung Alexander itu sudah tua, memiliki penyakit menular, bahkan cacat fisik.

Namun, lelaki yang kini duduk di hadapannya sama sekali tidak sesuai dengan rumor itu. Tubuh Neilson terlihat tegap, sorot matanya tajam namun memukau, memiliki paras tampan dan kharisma yang begitu kuat hingga membuat Lyra membeku sejenak.

Gadis itu tertegun, sulit mempercayai kenyataan. Bagaimana mungkin lelaki semuda dan setampan ini dikatakan cacat dan sudah tua?

Lyra menutup map itu dengan mantap, kedua matanya menatap lurus ke arah Neilson. Tanpa ragu ia berkata, “aku setuju.”

Neilson sempat terdiam, alisnya terangkat sedikit. Ia tidak menyangka gadis itu akan menyetujuinya dengan begitu cepat, apalagi dengan nada mantap seolah kontrak itu adalah sebuah anugerah.

Sekilas, sesuatu melintas di sorot mata Neilson, keterkejutan bercampur heran. Seharusnya gadis itu merasa tak terima dan merasa direndahkan karena dirinya ditukar dengan uang. Namun, ekspresi Lyra justru menampakkan kepuasan, bahkan ada kilatan lega yang tidak bisa gadis itu sembunyikan.

Neilson segera menghapus keterkejutannya. Wajahnya kembali dingin, rahangnya mengeras, seolah tak ingin menunjukkan ketertarikan pada reaksi Lyra. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Baiklah. Kalau begitu, kita sepakat. Aku akan mengurus pernikahan ini besok.”

Lyra mengangguk pelan. “Aku tidak keberatan.”

Keheningan singkat menyelimuti mereka, hanya suara sendok garpu dari meja lain yang terdengar. Tatapan dingin Neilson sempat turun, menyapu pakaian lusuh yang dikenakan Lyra malam itu.

Kemeja sederhana yang hanya dibaluti jaket kemudian celana jeans yang terlihat kotor, jelas kontras dengan interior restoran mewah yang penuh cahaya kristal dan suasana elegan.

Tanpa sepatah kata pun, Neilson memanggil asistennya yang berdiri tak jauh dari meja.

Ia membisikkan sesuatu dengan nada rendah, cukup singkat, kemudian sang asisten mengangguk patuh sebelum melangkah pergi. Lyra hanya bisa menatap heran, tidak mengerti apa yang sedang direncanakan lelaki di hadapannya.

Beberapa menit kemudian, pelayan restoran datang dengan langkah sopan. Di tangannya, nampan-nampan besar berlapis penutup perak berkilau dibawa satu per satu. Dengan gerakan terlatih, pelayan itu menaruh hidangan-hidangan mewah di hadapan Lyra.

Aroma gurih dan harum segera memenuhi udara. Piring demi piring terbuka menampilkan daging premium yang diolah dengan seni, pasta lembut dengan saus yang menggoda, hingga dessert cantik dengan taburan emas tipis di atasnya.

Lyra membelalakkan mata, mulutnya sedikit menganga tak percaya. Selama ini ia hanya melihat makanan seperti itu di televisi atau majalah. Tangannya spontan meremas ujung kemejanya, seakan takut menyentuh apa pun di meja itu karena takut mengotori keindahannya.

“Ini ... apa?” Suaranya nyaris berbisik, masih dipenuhi keterkejutan.

Neilson menatapnya sekilas, lalu kembali bersikap datar. “Anggap saja sebagai imbalan kecil.”

Hati Lyra berdebar kencang. Campuran antara rasa tak percaya, kagum, sekaligus canggung memenuhi dadanya. Perutnya mulai memberontak, mengeluarkan bunyi lirih yang membuat wajahnya merona malu.

Tangannya langsung menekan perutnya, kemudian melirik ke arah Neilson dengan ragu, berharap lelaki itu tak mendengar suara perutnya.

Hidangan-hidangan mewah yang tersaji di hadapannya begitu menggoda, tetapi ada rasa malu yang menahan dirinya untuk tidak menyentuhnya.

Neilson yang sejak tadi memperhatikan, mengangkat sendoknya perlahan. Tatapannya dalam, namun nada suaranya tetap datar. “Makanlah.”

Seolah mendapat izin tak tertulis, Lyra langsung meraih sendok perak yang mengkilap. Rasa gugupnya seketika tergantikan oleh rasa penasaran. Ia mencicipi satu demi satu hidangan di hadapannya. Potongan daging lembut yang meleleh di mulut, pasta dengan saus creamy yang kaya rasa, hingga dessert manis yang membuatnya ketagihan.

“Mmhh ... enak sekali ...,” gumam Lyra berulang kali, matanya berbinar setiap kali suapan baru menyentuh lidahnya. Tanpa segan, ia terus mencoba berbagai hidangan, seakan dunia di sekitarnya lenyap dan hanya tersisa rasa luar biasa di mulutnya.

Neilson, yang duduk di seberang meja, makan dengan tempo pelan dan elegan. Namun, sesekali matanya melirik ke arah Lyra. Ada kilatan samar di balik tatapannya yang dingin, seakan ia tengah mengamati seekor anak kucing yang baru pertama kali melihat makanan—ceroboh, berantakan, dan benar-benar kacau.

“Pelan sedikit,” kata Neilson akhirnya, suaranya terdengar tenang. “Tak ada yang akan merebut makanan itu darimu," lanjutnya sambil mengambil beberapa lembar tisu kemudian memberikannya pada Lyra.

Lyra berhenti sejenak, pipinya tersipu mendengarnya. Tangan kanannya yang masih memegang sendok meraih tisu itu. Sebuah senyum kecil di bibirnya tak bisa ia tahan. “Terima kasih. Dan maaf, ini benar-benar pertama kalinya aku memakan makanan mewah seperti ini. Apalagi aku belum makan sejak pagi.”

Neilson tak menanggapi lebih jauh. Ia hanya kembali menyuap makanannya perlahan, tetapi sorot matanya tetap melekat pada Lyra, seakan tengah mempelajari setiap ekspresi dari gadis itu.

Usai suapan terakhir, Lyra bersandar sejenak, mengusap perutnya yang kini terasa penuh. Wajahnya masih menggambarkan kepuasan karena baru saja menikmati makanan terenak seumur hidupnya. Saat ia hendak menaruh sendok kembali, terdengar suara langkah mendekat.

Asisten Neilson muncul dengan membawa sebuah tas kertas bermerk mewah. Dengan sedikit membungkuk, ia menyerahkan tas itu ke hadapan Lyra. “Silakan, Nona Lyra.”

Lyra menatap bingung, lalu beralih pada Neilson. “Ini apa lagi?” tanyanya hati-hati.

Neilson menyilangkan tangan, duduk dengan postur tegas dan dingin. “Ganti pakaianmu. Penampilanmu terlalu lusuh untuk duduk bersamaku di sini.”

Ucapan itu menusuk, membuat pipi Lyra terasa panas menahan malu. Namun, alih-alih tersinggung, ia lebih merasa rendah diri ketika melirik bajunya yang memang sederhana, kotor, jauh dari kata pantas memasuki restoran mewah ini. Untung saja ketika masuk tadi dia tidak diusir oleh satpam yang berjaga di depan.

Dengan ragu, Lyra meraih tas itu dan berdiri perlahan. “Baik, aku akan ganti.”

Gadis itu melangkah menuju ruang kecil yang disediakan restoran untuk tamu. Saat membuka tasnya, matanya terbelalak. Di dalamnya terdapat gaun panjang berwarna biru pastel, jelas terlihat mahal dari bahannya yang berbahan katun yang terasa lembut, lengkap dengan sepatu dan aksesoris kecil yang serasi.

Tangannya sempat ragu untuk menyentuh gaun itu, tetapi akhirnya ia tetap mengganti pakaian lusuhnya. Saat melihat pantulan dirinya di cermin, Lyra hampir tak mengenali sosoknya sendiri. Ia tampak lebih anggun, lebih berkelas seperti gadis dari dunia yang berbeda.

Saat merapikan isi tas setelah mengganti gaun, Lyra tiba-tiba menemukan sebuah kotak kecil berwarna putih.

"Apa ini?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosen Dingin Itu, Suami Rahasiaku   Bab 05

    Lyra menutup pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan gerbang. Hatinya berdebar penuh semangat, masih terbawa oleh kabar bahagia yang disampaikan Wina beberapa menit lalu. “Mr. Neil ... jadi dosen di kampus?” gumamnya, nyaris tak percaya. Senyum kecil merekah di wajah Lyra, matanya berbinar penuh antusiasme. Desainer yang selama ini hanya bisa Lyra kagumi lewat karya-karyanya, kini akan menjadi dosen barunya dan berdiri di depan kelasnya. Hari ini Neil, desainer favoritenya akan mengajar untuk pertama kalinya. Dan Lyra tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ia merapatkan tas di pangkuannya, pandangan matanya menatap keluar jendela taksi dengan penuh harap, seolah dunia tiba-tiba menghadiahkannya sebuah keberuntungan besar. Meskipun pikirannya masih melayang pada pernikahan kontrak yang baru saja dijalaninya, kini semangatnya kembali membuncah. Kampusnya menanti, begitu juga sosok yang diam-diam selalu men

  • Dosen Dingin Itu, Suami Rahasiaku   Bab 04

    Kotak putih itu adalah kotak P3K. Tangan Lyra terhenti, ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Perlahan, Lyra menurunkan pandangan ke kakinya. Sepatu yang tadi ia kenakan kembali ia lepaskan, dan barulah ia menyadari rasa perih yang sejak tadi ditahannya. Pergelangan kakinya lecet, sementara lututnya memerah dengan sedikit darah kering akibat dorongan keras ayahnya tadi. Jantung Lyra berdegup aneh. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya. Kotak P3K itu pasti bukanlah kebetulan, Lyra yang sejak tadi tak menyadari luka itu justru Neilson yang lebih menyadarinya. Lelaki yang hampir tidak mengenalnya ternyata cukup jeli untuk memperhatikan luka kecil di tubuhnya. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kasa steril, kapas, dan obat antiseptik. “Dia memperhatikan aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Mata Lyra terasa panas, tetapi ia buru-buru menggeleng, menahan air mata agar tidak jatuh. Dengan pelan, ia membersihkan lukanya sendiri. Ia mendesis kecil ke

  • Dosen Dingin Itu, Suami Rahasiaku   Bab 03

    Lyra membalik halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin hatinya tak percaya. Di sana tertulis dengan jelas bahwa setelah pernikahan, keduanya diwajibkan tinggal dalam satu rumah. Namun, dilarang melewati batas dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Bahkan kamar tidur mereka akan terpisah. Lyra menelan ludah, melirik Neilson yang terlihat duduk tenang di hadapannya, wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman. Neilson kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Lyra. “Sebagai imbalannya, kau akan mendapat ini. Kartu tanpa batas. Kau bisa membeli apa saja, tanpa perlu meminta izin.” Lyra menatap kartu itu seperti menatap harta karun langka. Hatinya berdegup kencang, tak menyangka ada tawaran kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suara Neilson terdengar lagi. “Pikirkan baik-baik, Lyra Florency. Aku menawarkan kebebasan finansial. Dan aku hanya perlu satu hal darimu,

  • Dosen Dingin Itu, Suami Rahasiaku   Bab 02

    Langkah Lyra terhuyung di sepanjang trotoar, tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, lampu jalan menyinari wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sepasang sepatu hak yang ia kenakan terasa semakin menyiksa setiap kali dirinya melangkah. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada lecet di kakinya. Hembusan angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuh Lyra menggigil meski sudah memakai jaket. Dengan pikiran kacau, ia akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan dirinya ke bangku kayu, menengadahkan wajahnya ke langit malam yang terlihat buram karena air matanya. Tangannya merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang nyaris kehabisan baterai. Jemarinya gemetar saat menekan nama Sally di daftar kontak—ibunya, satu-satunya orang yang masih ia harapkan bisa menjadi tempat pulang. Ponsel menempel di telinga, nada sambung terdengar panjang. Hatinya berdebar penuh harap, seolah hidupnya bergantung pada jawaban di ujung telepon sana. “Hallo?” Suara perempua

  • Dosen Dingin Itu, Suami Rahasiaku   Bab 01

    “Nggak, Pa! Lyra gak mau menikah dengan pria itu!” Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lyra setelah melontarkan penolakan. Tubuhnya terdorong jatuh ke lantai, ia memegang pipinya yang terasa perih, pandangan matanya mulai berkunang karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri. “Kurang ajar!” bentak Johan Fernando, ayahnya, dengan wajah yang sudah merah padam. “Kamu pikir hidupmu ini kamu biayai sendiri? Sejak kecil, aku yang membesarkanmu dengan uangku. Saat ibumu membuangmu ke panti asuhan, siapa yang datang menjemputmu? Aku! Dan sekarang kau menolak membalas budiku?” Lyra berusaha keras menahan air matanya, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang mulai gemetar. Kata-kata ayahnya tajam, seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Papa, aku gak bisa ... aku gak mengenalnya. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang bahkan belum kukenal?” suaranya terdengar gemetar, penuh rasa takut. Johan berjongkok kemudian meraih kerah kemeja Lyra. Ia menar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status