POV AuthorKeesokan harinya, kondisi Andini sudah lebih baik dan lebih segar. Gadis itu juga sudah mau makan, walau tak banyak. Dia terpaksa melakukannya karena jika dia kembali menolak makan, maka Devano akan kembali menciumnya. Bibirnya sudah memerah karena tak mau sarapan tadi pagi, dan berakhir dengan ciuman panas dan menyebalkan dari suaminya. Percuma ia menolak, karena Devano memiliki surat pernyataan bahwa mereka sudah menikah siri. Surat yang bertanda tangan keduanya dan juga bermaterai.Pukul sembilan pagi, Andini akhirnya mau menelan bubur ayam dari rumah sakit, tentu saja dengan Devano yang menyuapinya."Saya mau keluar dari rumah sakit," ujar Andini pada Devano."Mau ngapain? Mau ngamen lagi?" tanya Devano balik, sambil meletakkan nampan kosong di dekat pintu."Iya. Bosan di sini," jawab Andini dengan tak semangat."Ngamen sama saya saja. Biar saya yang bayar. Kamu gak perlu ngamen di bus kota, atau ke mana-mana. Sekarang kamu istri saya, sudah menjadi tanggung jawab saya
POV Author“Bagaimana keadaan Bapak tua ini, Dok?” tanya Andini saat dokter jaga stasiun baru saja selesai memeriksakan keadaan Devano.“Ada masalah dengan tangan palsunya. Saran saya, begitu sampai di Jakarta, harus segera diperiksakan. Kalau bisa, untuk sementara jangan mengangkat yang berat dulu ya,” jawab dokter itu sambil menoleh pada Devano dan Andini bergantian.“Mbak, juga tolong perhatikan Bapaknya. Jangan disuruh angkat galon air, atau angkat barbell ya. Pkoknya jangan angkat yang berat-berat dulu,” lanjut dokter itu lagi sembari memberikan senyuman tipisnya pada Andini. Devano merasakan aura negative pada tatapan leleki yang bergelar dokter pada Andini. Lelaki itu masih muda dan tampan, tentulah ia perlu merasa was-was dengan suasana saat ini. Apalagi, dokter muda itu mengira Devano adalah ayah dari Andini.“Maaf, Dok. Saya bukan ayah gadis ini, tapi saya suaminya. Kami masih pengantin baru. Lihat saja wajah saya dan wajah istri saya yang ceria. Tangan saya sakit karren
Pov AuthorAndini menangis melewati malam perkenalan dengan Edo. Gadis yang sudah tak gadis lagi itu, terisak sesegukan sambil memunggungi suaminya. Selimut tebal ia tarik hingga menutupi seluruh tubuh hingga kepala. Devano menjadi merasa sangat bersalah. Dia tak bisa menahan diri untuk bereksperimen kembali dengan Edo. Hingga melukai Andini. Namun di sisi lain, ia merasa senang tak terkira, karena memang bersama Andini'lah keperkasaannya bisa kembali aktif. Setelah belasan tahun mati suri."Sayang, maaf ya," bisik Devano sambil menyentuh pelan kain selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya.Tak ada sahutan. Hanya isakan dan suara air hidung yang ditarik berkali-kali, yang sampai ke telinganya. Mungkinkah Andini benar-benar marah padanya? "Apa yang harus kulakukan?" gumam Devano sembari menggigit bibirnya."Saya rela kamu hukum apa saja, asal jangan nangis," katanya lagi sambil terus membujuk sang istri. Selimut yang menutupi seluruh tubuh Andini akhirnya terbuka hingga memperliha
POV AuthorDua satu plusAndini dan juga Devano sudah berada di depan rumah keluarga Andini. Mereka sengaja tiba lebih awal, agar bisa bertemu dengan seluruh anggota keluarga. Andini mencoba membuka pagar, tetapi tidak bisa karena masih terkunci. Itu pertanda subuh tadi, papanya tidak berangkat salat Subuh di masjid."Assalamualaikum, Andrea, Aleta!" teriak Andini. Devano meletakkan telunjuk di bibirnya, maksud hati memberitahu Andini agar tidak terlalu histeris memanggil orang di dalam rumahnya."Kalau suara saya pelan, tidak ada yang buka pintu. Jadi, harus keras manggilnya, Pak," ujar Andini sudah bersiap dengan menarik napas kembali, hendak berteriak kembali."Aleta! Andrea! Buka woy!" Andini berteriak lebih keras. Namun yang keluar bukanlah anggota keluarganya, tetapi para tetangga yang keluar dari rumah mereka. Andini dan Devano langsung menjadi pusat perhatian. Lelaki itu menempelkan kedua telapak tangannya, lalu diletakkan di dada. Tubuhnya juga sedikit membungkuk, tanda permo
"Pokoknya saya gak mau, kalau sampai teman-teman di kampus tahu, jika kita sudah menikah," tukasku saat tengah memasang tali sepatu sneaker. Pak Dev mengangguk, sambil mengunci pintu rumah."Memangnya kenapa gak boleh tahu?" tanyanya kemudian. Aku memutar bola mata malas, lalu menoleh pada suamiku yang nampak serius menunggu jawaban. Lelaki setengah baya itu duduk di sebrangku, sambil terus menatap ke arahku. "Gak boleh, selagi belum menikah secara negara. Ada tentara yang menembakkan senjatanya ke langit saat kita berjalan memasuki ruang akad. Ada juga pasukan yang mengiringi kita di belakang, dengan seragam serba putih," ujarku dengan antusias. Ah ... Benar-benar pernikahan impianku selama ini."Mm ... Itu kalau nikah sama tentara atau polisi, baru ada pasukan serba putih yang mengiringi. Karena nikahnya sama saya, pasukan serba putihnya bukan tentara, melainkan pocong. Ha ha ha ...." jawaban Pak Dev membuatku sangat kesal. Aku bangun dari duduk, lalu berjalan lebih dahulu keluar d
POV AuthorAndini tersentak saat mendengar ucapannya sendiri. Wajahnya mendadak membeku dengan sorot mata begitu ketakutan. Devano meti-matian menahan tawa. Lelaki itu baru sadar, saat Andini mengacamnya dengan kalimat sakti. Tanpa ia jawab pun, Andini pasti tahu jawabannya. Tidak mungkin ia tidur di luar kamar, tanpa memeluk istrinya. Hal konyol yang sangat romantis menurut lelaki itu adalah bisa bebas memeluk sang istri sedari malam hingga menjelang pagi.“Lu bilang apa barusan, Din?” tanya Tuti dengan wajah penasaran. Andini mengibaskan tangan, sebagai tanda bahwa temannya itu harus menbagaikan ucapannya barusan. Andini berjalan acuh menuju meja, masih dengan penampilan sarung yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Mulai dari kepala hingga betis. “Saya kirain mahasiswa aneh, ternyata lebih dari aneh. Ya sudah, biarkan saja Andini seperti itu. kita mulai kuis hari ini,” seru Devano pada seluruh penghuni kelas.“Pak Dev, baru juga balik dari cuti, udah kasih kuis aja,” celetuk
"Kamu belum tidur?" Andini terlonjak kaget, lalu dengan wajah kaku menyembunyikan ponselnya ke bawah bantal. Devano meraih lampu tidur, kemudian menyalakannya. Sudah tiga malam istrinya selalu tidur larut malam. Pria itu mengusap kedua matanya karena pandangan masih samar, untuk memastikan sekarang pukul berapa."Ini mau tidur," jawab Andini berbohong. Devano duduk bersandar pada punggung ranjang, lalu menarik istrinya ke dalam dekapan."Ini sudah pukul dua dinihari. Kenapa baru mau tidur jam segini?" tanya Devano dengan suara dibuat selembut mungkin."Nonton Drakor, Pak," jawab Andini kembali berbohong. Tangannya membeku di atas dada Devano. Tidak biasanya seperti ini. Jikalau istrinya ini belum benar-benar bisa menerima kondisi mereka sekarang, namun suara dan gestur tubuhnya tidak sekaku ini. "Mm ... Begitu ya?" Devano memasukkan tangannya ke dalam piyama tidur Andini. Gadis itu refleks menahan tangan Devano, membuat pria itu kebingungan. Aneh sekali, tidak pernah Andini menolakny
POV Author"Sudah sejak kapan?" tanya Devano dengan suara dingin. Tangannya dilipat di dada, dengan tatapan lurus pada Andini yang masih diam mematung di depannya."Sejak kapan, Sayang?" lelaki itu berusaha menekan suaranya. Emosi dan harga diri sebagai suami sedang ia kesampingkan. Andini tidak seperti gadis lain yang bisa dikasari, atau dicecar dengan emosi. Masalah dengan pemahaman dan telinganya juga salah satu sebab, Devano harus bersabar pada istrinya dan meminta penjelasan tanpa urat leher."Apanya?" tanya Andini masih dengan kepala menunduk."Rajin WA dan antar jemput dengan Abu. Sudah sejak kapan? Apa sebelum kamu pergi, sudah dekat seperti itu?" tanya Devano dengan suara begitu lembut dan hati-hati. Jika tadi tangannya ada di dada, kali ini Devano meletakkan kedua tangannya di atas meja makan. "Belum lama. Setelah jadi istri Pak Dev," jawab Andini lesu. Gadis itu masih sibuk memainkan ujung baju tidurnya, sambil sesekali menguap. Ini sudah pukul dua dini hari dan dia masih