POV Devano
Ya Tuhan, ada-ada saja dengan mahasiswiku satu itu. Sudah sore begini dia memintaku untuk ke kampus lagi, hanya untuk membawakan pembalutnya yang tanpa sengaja ada di dalam tas Arjun.Memang jarak dari kampus dan rumahku tidaklah jauh. Aku juga biasa bersepeda ke sana. Namun sangat aneh rasanya ke kampus untuk urusan tidak penting seperti itu. Lebih baik aku abaikan saja. Urusanku di rumah ini masih banyak. Mengoreksi, membuat soal, membuat kisi-kisi ujian, memasukkan nilai. Semua itu membuat kepalaku hampir saja pecah. Ditambah lagi Arjun yang sudah semakin aktif berkeliling di dalam rumah. Pasti aku harus lebih memperhatikannya lagi.PRAK! Aku terlonjak kaget saat mulai memasukkan satu suap nasi ke dalam mulutku. Suara benda jatuh dari dalam kamar membuatku langsung berlari menuju kamar. Aku takut sekali Arjun jatuh dari tempat tidur. Telepon yang kembali berdering pun kuabaikan. Fokusku kini melihat keadaan balita itu yang ternyata baik-baik saja. Ia hanya melemparkan botol susu yang masih ada isinya dari ranjang, hingga jatuh, lalu membasahi lantai kamar. “Inspektur, diam di situ! Papa mau ambil lap. Oke!” ya ampun, betapa geli hati ini mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulutku. Arjun yang biasa aku panggil jagoan, kenapa tiba-tiba menjadi kupanggil Arjun? Semua gara-gara mahasiswi yang sangat mengesalkan itu. Kain butut yang biasa digunakan bibik untuk mengeringkan lantai yang basah, ternyata sedang dijemur di belakang. Dengan berlari terbirit-birit aku mengambilnya, lalu membawannya kembali ke kamar. Kuangkat Arjun, lalu menaruhnya di atas karpet. Kukeringkan lantai basah sampai benar-benar kering. Kubersihkan lagi dengan kain pel yang diberi cairan pembersih, agar lantai kamar tidak lengket dan berbau anyir tumpahan susu. Kini, setelah semua rapi, aku pun melanjutkan makan soreku yang sempat tertunda karena Arjun.Dering ponsel yang pelan kembali mengusik waktu makanku. Dengan malas kupastikan siapa penelepon itu, ternyata masih dari mahasiswiku yang bertingkah sangat konyol. Kenapa dia tidak minta tolong pada teman di kelasnya saja? Kenapa harus padaku? Langit pun akhirnya gelap. Arjun menemaniku menonton televisi. Tepatnya acara komedi yang menampilkan lawakan khas Indonesia. Walau aku rasa terkadang mereka tidak real lucu, tetapi memaksakan lucu. Biarlah, tak apa. Aku harus banyak menonton acara hiburan seperti ini, kata teman-temam di selku waktu itu. Hidupku dulu terlalu kaku dan monoton. Tak pernah senyum ataupun tertawa. Sehingga aku harus banyak menonton acara hiburan seperti ini. Ingin sekali aku mematikan ponsel, tetapi aku sedang menunggu pesan dari anak gadis cantikku yang saat ini tengah hamil muda. Aku merindukan Amira. Lagi-lagi dering itu memanggil. Benda pipih berwarna hitam itu kuambil dari atas meja untuk melihat siapa peneleponnya. Mataku terbelalak sempurna, saat nama ‘cewek rusuh’ muncul di sana. Mau apa dia menelponku sudah malam seperti ini? [“Halo, ada apa?”] [“Pak, hiks … saya Andini, buka Refa.”] aku mengepalkan tangan, sambil berharap darah tinggiku tidak kambuh. [“Iya, Andini. Ada apa?!”] aku sengaja berteriak di depan ponsel. [“Pak, gelap.”] [“Iya, gelap. Namanya juga sudah malam.”] [“Oh, Bapak lagi makan ayam.”] [“Saya pengennya makan beling aja kalau bisa.”] kataku lagi sambil menggertakkan gigi. Ingin sekali kulemparkan ponsel ini gara-gara Andini. [“Enak Bapak mah, saya masih di WC kampus, Pak. Gak bisa keluar.”] [“Hah? Apa?!”] Semua orang tahu, bahwa Devano bukanlah orang yang rendah hati, tetapi aku tak tega juga dengan mahasiswi yang seharian ini sudah membuatku migren, sekaligus naik darah. Bagaimana bisa sudah jam delapan malam dan dia masih di WC kampus? Ya Tuhan, ada-ada saja. Sambil menggendong Arjun di depan dada. Aku mengendarai sepeda dengan kecepatan penuh. Jangan sampai gadis itu pingsan masuk angin kelamaan di dalam kamar mandi, ataupun diganggu oleh jin kampus. Sungguh sial, ponselnya sudah tidak aktif. Katanya lowbatt dan bodohnya aku lagi, tidak bertanya dulu dia ada di WC kampus apa? B, C, atau D. Alhasil, semua toilet kamar mandi di kampus aku masuki dan tak menemukan siapapun di sana. Lalu-lalang mahasiswa juga sudah nampak lengang. Apakah karena ini malam jum’at? Bulu tanganku merinding. Jujur aku sedikit takut, tetapi sepertinya Arjun baik-baik saja. Ia akan tertawa cekikikan saat aku berlari kencang ke sana-kemari. Keringatku sudah bercucuran. Bajuku basah, napasku juga sesak karena kelelahan. Namanya juga sudah tua. Usia empat puluh lima dan jarang berolah raga, pada saat diajak berlari, pastilah napasnya sesak. Tinggal satu toilet lagi yang belum aku masuki. Ini harapan terakhirku. Jika gadis itu tak ada di dalam sana, maka aku mau pulang saja. Masa bodoh dia mau tidur di dalam sana. Tunggu! Dia tidak sedang mengerjaiku’kan? “Andini! Andini!” seruku memanggil namanya dengan suara keras. “Bapak, saya di sini,” jawabnya dari bilik toilet yang paling ujung. Bahuku melemah, diikuti hembusan napas kelegaan. Aku bersukur dia ada di sana dan aku sedang tidak dikerjai olehnya. “Bapak, ya ampun saya kirain Bapak gak mau nolongin saya. Terima kasih, Pak. Mana pembalut saya, Pak? Lewat sini aja kasiinnya!” Tangan gadis itu muncul dari kolong pintu kamar mandi. “Eh, pembalut? Ya ampun, kenapa saya lupa bawanya?” “Apa? Lupa? Trus Bapak ke sini mau ngapain, kalau gak bawa pembalut? Pokoknya Bapak harus tanggung jawab. Belikan saya pembalut di depan kampus!” “I-iya, tunggu ya.” Aku kembali berlari keluar dari toilet itu dengan mata berkaca-kaca. Besok, aku mau mengundurkan diri saja jadi dosen. Sungguh takkan sanggup jiwa ragaku memiliki mahasiswi seperti Andini.BersambungPOV DevanoKukayuh sepeda dengan kecepatan kilat. Untunglah keadaan kampus sudah sepi, sehingga saat aku mengebut seperti ini tak ada mahasiswa yang memperhatikan. Hanya ada satpam kampus yang menyapaku karena melihatku terlalu tergesa. Sapaan itu hanya kujawab dengan anggukan dan senyuman tipis. Arjun yang masih setia berada di dalam gendonganku tentu saja sangat senang dengan kelakuan konyolku mala mini. Ditambah lagi angina malam yang hari ini tidak terlalu kencang, tetapi tetap menyejukkan, membuat Arjun tertawa-tawa senang.Mataku melihat aneka barang dagangan yang ada di warung besar depan kampus. Ada beberapa mahasiswa juga yang nampak duduk di meja panjang yang disediakan oleh pemilik warung. Sepertinya mereka sedang menumpang wifi untuk mengerjakan tugas.“Mau beli apa, Pak?” tanya penjaga warung—wanita bertubuh kurus tinggi.“Beli apa ya? Duh, kok saya lupa,” gumamku sambnil menggaruk kepala. Otakku benar-benar tak bisa diajak kerja sama disaat genting seperti ini.“Pa
POV Devano"Rumah kamu di mana?" tanyaku pada Andini, saat kami sedang menunggu taksi online di depan gerbang kampus. Wanita itu yang memesannya langsung dari ponselnya. Aku tak tahu menahu dan dia juga tidak memberitahu apapun."Di rumah ibu saya, Pak. Saya kan single, jadi belum ada rumah," jawabnya sambil tersenyum tak sedap. Ya, tak sedap menurutku karena aku bertanya apa, dia menjawab layaknya anak TK. Malah, anak TK bisa menjawab dengan benar."Iya, saya tahu kamu tinggal di rumah Ibu kamu. Gak mungkin kamu tinggal di rumah saya'kan? Maksud ....""Emang boleh tinggal sama, Bapak?" tanyanya balik memotong ucapanku dengan polosnya. Sudahlah, lebih baik aku tidak perlu bertanya apapun lagi, jika ingin usiaku lebih panjang. Buat para pembaca yang ingin segera mengakhiri hidup, aku sarankan banyaklah berbincang dengan Andini. Tak lama kemudian, taksi tiba untuk menjemput kami. Aku duduk di depan bersama Arjun yang berada dalam gendonganku, lalu Andini duduk di belakang. Tak ada perc
POV DevanoHari yang sungguh melelahkan. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan aku baru bisa berbaring di ranjang kuno empuk, tempat biasa aku melepaskan lelah. Arjun sudah terlelap setelah menyusu satu botol dan bermain sebentar denganku.Jika kupikirkan lagi, betapa hari ini aku berlakon bukan seperti diriku. Ke sana-kemari hanya untuk mahasiswi yang membuatku kesal setiap masuk ke dalam kelasnya. Sepanjang usia, baru malam inilah aku pergi ke warung untuk membeli pembalut untuk seorang wanita yang bukan siapa-siapa. Seandainya aku adalah pemilik kampus, pasti mahasiswi seperti Andini tidak akan aku loloskan masuk kampus, karena pasti akan mengakibatkan gagal jantung para dosen dan teman-temannya.Kembali kuteringat akan parasnya. Gadis itu benar-benar seperti pernah kulihat, tapi di mana? Tak mungkin dia anak mantanku, atau anak saudara. Berkali-kali aku coba mengingat di mana pernah melihatnya, tetapi tak juga ketemu. Mungkin aku memang benar-benar tak pernah bertemu denga
POV DevanoAku merasa sangat beruntung bisa mengajar di fakultas ekonomi milik Opa Wijaya ini. Selain aku mengenal banyak staf yang tadinya pernah bekerja denganku, aku juga merasa nyaman dan diberi sedikit kelonggaran perihal Arjun yang ikut ke kampus bersamaku.Walau bayarannya tidak banyak, tetapi cukup bagiku yang saat ini masih sendiri, serta lingkungan yang cukup nyaman bagiku.Hari ini sungguh padat. Sedari pagi punggungku belum benar-benar bisa bersandar di kursi dan selera makanku menjadi buruk. Pagi tadi, aku hanya memasukkan sepotong roti bakar ke dalam mulut, dan minum segelas teh jahe. Sekarang, disaat jam sudah menunjukkan pukul sebelas, cacing di dalam perutku pun meronta minta diisi kembali.Aku masih berada di kelas D anak semester dua. Tersisa dua puluh menit lagi jam baru akan usai. Mau tidak mau, sabar tidak sabar, aku harus bersabar menunggu, sambil terus mengajak Arjun bermain. Balita itu duduk nyaman di atas meja dosen sambil memainkan mainan bunyi-bunyian.Tok
POV AndiniAku sudah bersiap sejak sore hari. Kebetulan sekali, pukul satu siang jam perkuliahanku selesai, sehingga aku bisa lebih awal pulang ke rumah. Sempat berpapasan dengan Pak Dev saat di gerbang kampus, tetapi sepertinya beliau tidak menyadari senyum yang aku lemparkan padanya. Menunggu jemputan dari Dimas sungguh membuatku berdebar. Lelaki itu adalah kakak kelasku saat SMA. Sering mengirimkan pesan dan juga salam, tetapi kami tidak juga jadian. Karena saat itu Kak Dimas sudah memiliki pacar yang satu kelas dengannya. Pertemuan kembali seminggu yang lalu, saat acara sekolah, membuat Kak Dimas kembali mengirimiku pesan. Dari yang aku tahu, dia sedang skripsi dan malah sudah bekerja. Paling tidak, jika nanti kami jadian, aku pasti merasa bangga padanya, karena pacarku mempunyai pekerjaan yang layak, walau usianya masih muda dan pastinya berbeda dengan Aleta dan Andrea yang memiliki pacar tajir karena harta orang tuanya. Aku terus saja tersenyum sambil memandang keluar rumah da
POV Devano"Jadi, itu pacar kamu?" tanyaku pada Andini yang masih saja meringis meraba kepalanya."Bukan, Pak. Baru diajak makan doang. Saya berharap dia menyatakan perasaannya, tapi malah sudah punya pacar," omelnya dengan wajah sebal. Aku tak ingin menanggapi terlalu berlebihan, tetapi jujur anak jaman sekarang pada nekat dan berani, bahkan di tempat umum. "Untung Bapak jadi Spiderman saya hari ini, kalau tidak, bisa botak saya dijambak wanita itu," tambahnya lagi sambil melirik keluar restoran. Jelas sekali wajahnya kecewa dan sedih, tetapi ia menutupinya. Ada satu yang cukup membuatku heran, kenapa malam Minggu seperti ini, dia dapat berkomunikasi dengan baik? Biasanya, kepalaku pasti berasap saat berbincang dengannya."Sini, saya pangku Arjun!" pintanya sembari memberikan kedua tangannya. Aku pun berdiri untuk memberikan bayi gemas ini untuk dipangku oleh Andini."Eh ... Saya bukan mau pangku Bapak. Itu loh, Inspektur," ujarnya lagi dengan gugup. Seketika perasaanku mulai tidak
POV Devano["Ish, cuma mahasiswa biasa, Sayang."]["Ayah kok gitu? Siapa tahu dari mahasiswa biasa jadi luar biasa. Ayolah, Ayah pokoknya harus punya istri!"]Perbincangan kami selalu seru dan memakan waktu yang panjang. Aku bahkan tak menyadari Arjun tertidur di pundakku dan Andini sudah kembali dari toilet dan bersabar menungguku di meja. Setelah mengucapkan salam, Amira pun menutup teleponnya. Aku kembali berjalan mendekati meja yang sudah tersedia aneka makanan di atasnya. "Kamu gak pesan makanan? Pesan saja, nanti saya yang bayar," kataku pada Andini. Wanita itu mengangkat wajah, lalu kulihat ada air mata yang menganak sungai membasahi kedua pipinya."Loh, kamu kenapa?" tanyaku sedikit panik. Aki menarik kursi untuk duduk di sebelahnya. "Lihatlah, Pak. Ini foto yang dibagikan dua saudara kembar saya. Ada yang dikasih hadiah boneka besar sama pacarnya. Ada yang diajak dinner romantis di sebuah restoran mewah. Ya Allah, saya malah malam minggunya dijambak Mak Lampir. Sungguh beru
Aku sangat terkejut dengan info orang hilang yang dibagikan salah satu saudara Andini. Ada rasa khawatir menggelayut, saat tahu bahwa gadis itu tidak pulang ke rumah sejak semalam. Apalagi aku orang yang terakhir bertemu dengannya. Apa ini ada kaitannya dengan lelaki semalam yang kami temui di restoran? Karena setelah dengannya, wajah Andini muram dan buru-buru mengajakku untuk keluar dari restoran. Sekarang apa yang harus aku lakukan, aku tidak tahu. Dengan jari gemetar, aku mengetik pesan inbox untuk saudara Andini lewat pesan f******k. Tidak, sepertinya aku harus segera ke rumah mahasiswiku itu untuk memberi penjelasan pada keluarganya. Bubur ayam yang tadinya sudah ada dalam tenggorokanku mendadak tidak bisa kutelan. Rasa khawatir pada gadis itu lebih besar mengalahkan rasa laparku saat ini. Semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya saat ini. “Mang, berapa?” tanyaku pada penjual bubur. Lelaki itu memandangku aneh, lalu menoleh pada mangkukku yang masih penuh. “Buburnya t