Share

4. Gara-gara Pembalut

POV Devano

Ya Tuhan, ada-ada saja dengan mahasiswiku satu itu. Sudah sore begini dia memintaku untuk ke kampus lagi, hanya untuk membawakan pembalutnya yang tanpa sengaja ada di dalam tas Arjun.

Memang jarak dari kampus dan rumahku tidaklah jauh. Aku juga biasa bersepeda ke sana. Namun sangat aneh rasanya ke kampus untuk urusan tidak penting seperti itu. Lebih baik aku abaikan saja. Urusanku di rumah ini masih banyak. Mengoreksi, membuat soal, membuat kisi-kisi ujian, memasukkan nilai. Semua itu membuat kepalaku hampir saja pecah. Ditambah lagi Arjun yang sudah semakin aktif berkeliling di dalam rumah. Pasti aku harus lebih memperhatikannya lagi.

PRAK!

Aku terlonjak kaget saat mulai memasukkan satu suap nasi ke dalam mulutku. Suara benda jatuh dari dalam kamar membuatku langsung berlari menuju kamar. Aku takut sekali Arjun jatuh dari tempat tidur. Telepon yang kembali berdering pun kuabaikan. Fokusku kini melihat keadaan balita itu yang ternyata baik-baik saja. Ia hanya melemparkan botol susu yang masih ada isinya dari ranjang, hingga jatuh, lalu membasahi lantai kamar.

“Inspektur, diam di situ! Papa mau ambil lap. Oke!” ya ampun, betapa geli hati ini mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulutku. Arjun yang biasa aku panggil jagoan, kenapa tiba-tiba menjadi kupanggil Arjun? Semua gara-gara mahasiswi yang sangat mengesalkan itu. Kain butut yang biasa digunakan bibik untuk mengeringkan lantai yang basah, ternyata sedang dijemur di belakang. Dengan berlari terbirit-birit aku mengambilnya, lalu membawannya kembali ke kamar.

Kuangkat Arjun, lalu menaruhnya di atas karpet. Kukeringkan lantai basah sampai benar-benar kering. Kubersihkan lagi dengan kain pel yang diberi cairan pembersih, agar lantai kamar tidak lengket dan berbau anyir tumpahan susu. Kini, setelah semua rapi, aku pun melanjutkan makan soreku yang sempat tertunda karena Arjun.

Dering ponsel yang pelan kembali mengusik waktu makanku. Dengan malas kupastikan siapa penelepon itu, ternyata masih dari mahasiswiku yang bertingkah sangat konyol. Kenapa dia tidak minta tolong pada teman di kelasnya saja? Kenapa harus padaku?

Langit pun akhirnya gelap. Arjun menemaniku menonton televisi. Tepatnya acara komedi yang menampilkan lawakan khas Indonesia. Walau aku rasa terkadang mereka tidak real lucu, tetapi memaksakan lucu. Biarlah, tak apa. Aku harus banyak menonton acara hiburan seperti ini, kata teman-temam di selku waktu itu. Hidupku dulu terlalu kaku dan monoton. Tak pernah senyum ataupun tertawa. Sehingga aku harus banyak menonton acara hiburan seperti ini.

Ingin sekali aku mematikan ponsel, tetapi aku sedang menunggu pesan dari anak gadis cantikku yang saat ini tengah hamil muda. Aku merindukan Amira. Lagi-lagi dering itu memanggil. Benda pipih berwarna hitam itu kuambil dari atas meja untuk melihat siapa peneleponnya. Mataku terbelalak sempurna, saat nama ‘cewek rusuh’ muncul di sana. Mau apa dia menelponku sudah malam seperti ini?

[“Halo, ada apa?”]

[“Pak, hiks … saya Andini, buka Refa.”] aku mengepalkan tangan, sambil berharap darah tinggiku tidak kambuh.

[“Iya, Andini. Ada apa?!”] aku sengaja berteriak di depan ponsel.

[“Pak, gelap.”]

[“Iya, gelap. Namanya juga sudah malam.”]

[“Oh, Bapak lagi makan ayam.”]

[“Saya pengennya makan beling aja kalau  bisa.”] kataku lagi sambil menggertakkan gigi. Ingin sekali kulemparkan ponsel ini gara-gara Andini.

[“Enak Bapak mah, saya masih di WC kampus, Pak. Gak bisa keluar.”]

[“Hah? Apa?!”]

Semua orang tahu, bahwa Devano bukanlah orang yang rendah hati, tetapi aku tak tega juga dengan mahasiswi yang seharian ini sudah membuatku migren, sekaligus naik darah. Bagaimana bisa sudah jam delapan malam dan dia masih di WC kampus?  Ya Tuhan, ada-ada saja. Sambil menggendong Arjun di depan dada. Aku mengendarai sepeda dengan kecepatan penuh. Jangan sampai gadis itu pingsan masuk angin kelamaan di dalam kamar mandi, ataupun diganggu oleh jin kampus.

Sungguh sial, ponselnya sudah tidak aktif. Katanya lowbatt dan bodohnya aku lagi, tidak bertanya dulu dia ada di WC kampus apa? B, C, atau D. Alhasil, semua toilet kamar mandi di kampus aku masuki dan tak menemukan siapapun di sana. Lalu-lalang mahasiswa juga sudah nampak lengang. Apakah karena ini malam jum’at? Bulu tanganku merinding. Jujur aku sedikit takut, tetapi sepertinya Arjun baik-baik saja. Ia akan tertawa cekikikan saat aku berlari kencang ke sana-kemari.

Keringatku sudah bercucuran. Bajuku basah, napasku juga sesak karena kelelahan. Namanya juga sudah tua. Usia empat puluh lima dan jarang berolah raga, pada saat diajak berlari, pastilah napasnya sesak. Tinggal satu toilet lagi yang belum aku masuki. Ini harapan terakhirku. Jika gadis itu tak ada di dalam sana, maka aku mau pulang saja. Masa bodoh dia mau tidur di dalam sana. Tunggu! Dia tidak sedang mengerjaiku’kan?

“Andini! Andini!” seruku memanggil namanya dengan suara keras.

“Bapak, saya di sini,” jawabnya dari bilik toilet yang paling ujung. Bahuku melemah, diikuti hembusan napas kelegaan. Aku bersukur dia ada di sana dan aku sedang tidak dikerjai olehnya.

“Bapak, ya ampun saya kirain Bapak gak mau nolongin saya. Terima kasih, Pak. Mana pembalut saya, Pak? Lewat sini aja kasiinnya!” Tangan gadis itu muncul dari kolong pintu kamar mandi.

“Eh, pembalut? Ya ampun, kenapa saya lupa bawanya?”

“Apa? Lupa? Trus Bapak ke sini mau ngapain, kalau gak bawa pembalut? Pokoknya Bapak harus tanggung jawab. Belikan saya pembalut di depan kampus!”

“I-iya, tunggu ya.” Aku kembali berlari keluar dari toilet itu dengan mata berkaca-kaca. Besok, aku mau mengundurkan diri saja jadi dosen. Sungguh takkan sanggup jiwa ragaku memiliki mahasiswi seperti Andini.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yunita Anisyah
gara2 pembalut doang Ampe ngg lama di toilet. Andini yg eror ap dosen nya yg eror
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status