Ketukan pintu kamar menampilkan salah satu ART keluarganya. Satu yang tersisa setelah mereka memilih mengundurkan diri karena sang nyonya tak lagi berada di istananya. Wanita paruh baya itu memberitahu, jika Tanu sudah menunggu kehadiran Anya di meja makan.
Memuakkan!
Papanya sama sekali tak pernah menyerah meski tahu acara makan itu akan berakhir dengan sebuah pertengkaran. Dia terlalu terobsesi ingin membangun keluarga cemara. Sayangnya Anya tak akan mengabulkannya. Ia bukan bagian dari Tanu Handoyo beserta nyonya barunya.
“Bilang sama Papa, Bik. Duluan aja. Aku mau langsung ke kampus.” Anya menjelaskan kalau dosennya pagi ini sangat killer. Dosennya tidak menerima keterlambatan, walau itu satu menit saja. Mengingat ramainya kota Jakarta, kemungkinan terjebak macet sangatlah besar.
“Tolong ya, Bik,” pinta Anya ramah. Wanita dihadapannya merupakan seseorang yang membantu mamanya untuk merawat dirinya sejak kecil. Dia sengaja tetap tinggal bersama suaminya. Mengabdikan dirinya untuk menemani Anya, sesuai permintaan sang mama.
“Bibik siapin bekal untuk Mbak Anya kalau begitu.”
“Makasih, Bik.”
Hanya kepada sepasang suami istri itu-lah Anya bersikap ramah. Kepribadiannya sedikit pun tak berubah, sama seperti Anya sebelum penyihir jahat melepaskan topengnya untuk merebut suami milik sahabatnya.
“Mana, Anya?” Tanu melipat koran ditangannya ketika sang asisten rumah tangga kembali terlihat.
Wanita itu menundukkan kepalanya, meminta maaf karena tidak berhasil membujuk nona mudanya. Ia menyampaikan alasan mengapa sang nona tak dapat bergabung.
“Bawakan dia bekal, Bik. Perbanyak sayurannya. Anak itu pasti tidak makan dengan benar di kampus,” perintah Tanu. Dibalik setiap pertengkarannya dengan sang putri, Tanu begitu menyayangi Anya. Mungkin ia tidak dapat menahan emosinya kala dihadapkan secara langsung dengan pembangkangan putrinya, tapi dibelakang itu Tanu selalu merasa bersalah setiap keduanya selesai bertengkar hebat.
“Baik Tuan.” Sang asisten berlalu, memilih mengerjakan apa yang tuannya perintahkan. Ia harus cepat sebelum nona mudanya berangkat ke kampus. Akhir-Akhir ini ia sering melihat nona mudanya melewatkan sesi makan. Tentu saja alasannya karena pertengkaran dengan istri majikannya. Wanita itu selalu dapat mengacaukan mood nonanya.
“Papa mau makan pakai apa?” tanya Soraya menunjukan perhatiannya. Ia telah bersiap mengangkat sebuah piring kosong. “Fillet ikan mau ya?”
“Kalian makan saja. Papa mau langsung ke kantor.” Tanu menghabiskan kopi paginya yang tersisa. Sebelum beranjak, ia meninggalkan pesan agar Josephin menyambangi kantor cabang terlebih dahulu.
“Nggak perlu diantar ke depan, Mah. Mama sarapan dengan Josephin. Papa bisa sendiri,” tolaknya ketika Soraya hendak berdiri. Wanita itu biasanya memang akan mengantarkannya sampai masuk ke dalam mobil. “Papa pergi dulu,” ucap Tanu berpamitan.
Soraya memaksakan senyumnya. Wanita itu kembali duduk di kursinya. “Jo, Mama ambilkan nasi ya?” Josephin menggelengkan kepalanya. Ia bergerak cepat memenuhi kebutuhannya sendiri. Semakin cepat meninggalkan rumah, akan semakin baik. Ia masih merasa tak pantas menempati singgasana dengan status barunya.
Selang beberapa menit kemudian, Anya menuruni anak tangga. Di bawahnya, asisten rumah tangga kesayangannya telah menanti, mengulurkan sebuah tas bekal untuk diberikan kepada sang nona.
“Dihabiskan ya, Mbak. Bibik tadi sudah masukin cake kesukaan Mbak Anya juga.”
Anya menganggukkan kepalanya, tak ketinggalan, dirinya pun mengucapkan terima kasih. Sempat tatapannya bersitabrak dengan manik Josephin, tapi Anya memilih memutus kontak tersebut terlebih dahulu. Kamarudin sudah hampir sampai di depan rumahnya.
Anya tak mungkin menyia-nyiakan ajakan Kamarudin. Semalaman ia tidak tidur karena ajakan tersebut. Berangkat bersama tandanya ia tidak akan terlambat. Dosennya saja bersamanya.
Perempuan muda itu melangkah, melewati tunggangannya yang telah disiapkan. Aksi ini membuat Tanu keheranan. Pria yang berada di dalam mobilnya itu memperhatikan gerak-gerik sang putri. Alisnya mengerut kala melihat seorang laki-laki menuruni sebuah Hummer hitam untuk membukakan pintu kepada anaknya.
“Cari tahu laki-laki yang menjemput anak saya. Josephin, pemuda itu tidak bisa diandalkan.” Anak tirinya mungkin memiliki kemampuan untuk bekerja di perusahaannya. Tanu tidak menyangkal kepiawaian sahabat putrinya. Ia mengenal Josephin sebagai pribadi tangguh yang ulet. Namun beberapa tugas mengenai Anya, anak tirinya tak dapat memuaskannya.
“Baik Pak,” jawab asisten pribadi Tanu.
Mobil Tanu meninggalkan pekarangan sesaat setelah Anya pergi. Pria itu tidak dapat tenang, melihat putrinya telah berani memiliki hubungan dengan seorang pria. Dimatanya, anak masih seorang putri kecil. Usianya memang menginjak kepala dua, tapi Tanu belum rela kalau anak kesayangannya itu ingin melepaskan diri sepenuhnya.
.
.
“Kamu bisa bangun pagi juga ternyata?”
Anya mendengus. Pria disampingnya tidak tahu saja jika dirinya begadang. Anya akan menganggap hinaan ini sebagai sebuah pujian. Moodnya tidak boleh berantakan. Hari masih panjang. Anya tak ingin memendam kesal sejak dini.
“Sudah sarapan?”
‘Kepo banget sih!’ batin Anya. Dosennya ini sedang memerankan peran calon suami perhatian atau bagaimana? Jujur saja, Anya merasa jijik. Perceraian kedua orang tuanya membawa Anya pada sebuah ketidakpercayaan. Ia antipati pada pria dan sejenis racun yang mereka tebarkan.
Anya tak lagi mempercayai cinta. Menurutnya perasaan itu tidaklah berguna untuk bertahan hidup di dunia. Percuma ada cinta— kalau seseorang tak bisa berlaku setia. Papanya yang begitu mencintai sang mama pun dapat berpaling, menghancurkan keluarganya sendiri karena orang baru. Anya tak ingin hidupnya hancur karena perasaan itu. Pengalaman kedua orang tuanya sudah cukup untuk menjadi pelajaran paling berharga.
“Anya, saya bertanya..” Kamarudin mengalihkan tatapannya, melirik sejenak Anya yang tidak merespon pertanyaannya.
“Belom..”
Kamarudin mengembuskan napasnya. Jawaban Anya terlalu singkat dan judes tentunya. Khas perempuan muda itu ketika di kelasnya.
“Kita cari sarapan kalau begitu. Saya juga tidak sempat tadi.”
“Mau jam tujuh ya, Pak! Saya bisa telat nanti. Nggak usah! Saya udah dibawain bekal sama Bibik.” Ucap Anya, panjang lebar. Kamarudin mungkin tidak akan terlambat mengingat dia dosen, tapi dirinya adalah mahasiswa. Peraturannya berbeda. Sepertinya Kamarudin pikun dengan aturan yang dia buat sendiri.
“Hari ini saya mengosongkan kelas.”
“What?” Pekik Anya langsung memutar kepalanya. Apa Kamarudin sengaja mempermainkannya? Kalau kelas kosong, kenapa dirinya dijemput segala. “Nggak ada pemberitahuan dari komting.” Anya semalaman memegang ponselnya. Ia tidak membaca jika kelas yang Kamarudin ampu diliburkan.
“Cek lagi. Saya baru saja mengirimkan informasi pengosongan saat sampai di rumah kamu.”
Anya segera menyasar aplikasi LINE diponselnya. Benar saja— anak-anak sedang berpesta karena dosen tiran mereka tak masuk hari ini. Bodohnya dirinya. Mengapa ia harus sanksi ketika yang memberitahu orang yang bersangkutan langsung. Kamarudin bukan manusia luang dengan bisnis prank ala YouTubers.
“Terus ngapain Bapak jemput saya segala?”
Andai manusia disampingnya rakyat jelata, Anya akan menyewa sepuluh pembunuh bayaran untuk menyingkirkannya. Semalaman ia mencari tahu identitas Kamarudin di internet. Pria itu rupanya bukan hanya sekedar dosen, melainkan anak pengusaha batu bara ternama. Beberapa artikel mengunggah tajuk mengenai Kamarudin dan keluarganya. Melenyapkan dosennya sama berarti dengan merusak masa depannya sendiri.
“Tau gini saya bisa tidur, Pak!” Sentak Anya. Ia jadi emosi karena kelakuan Kamarudin ini. Sia-Sia dirinya tak tidur semalaman.
“Kemarin kamu bilang, pagi ini Mama kamu akan mendarat di Jakarta. Pukul berapa pesawatnya landing?”
“Delapan!”
“Kita jemput Mama kamu.”
Anya berdecak, hebat. “Mama saya punya supir dari perusahaannya. Ngapain dijemput segala coba!” Lagi pula setelah kelas hari ini selesai, keduanya akan bertemu. Mamanya sangat memaklumi kesibukannya. Apalagi wanita itu tahu, kalau dirinya sedang berjuang mendapatkan kelulusan pada mata kuliah MPK.
“Akan lebih membahagiakan jika putrinya sendiri yang bisa menjemput. Beliau pasti senang. Kata kamu, kalian sudah lama tidak bertemu, kan?”
Jantung Anya berdegup. Sudah lama ia tidak mendengar seseorang memikirkan perasaannya. Hubungan mamanya dengan keluarga sang papa memang baik, tapi mereka tak sekali pun pernah ingin tahu bagaimana kabar mendetail tentang mantan menantu dan kakak ipar mereka. Dan sekarang, ada orang baru yang memikirkan perasaan mamanya?
Sungguh— Anya tak tahu dengan jantungnya sendiri. Ia merasa seluruh tubuhnya menghangat seketika. Menganggap bahwa ia dan mamanya menemukan sosok yang tepat, untuk mengakhiri penderitaan mereka.
‘Nggak! Nih orang pasti cuman modus!’ Kepala Anya menggeleng cepat, mencoba menampil sesuatu yang menyusup pada hatinya.
“Jadi jam berapa pesawatnya tiba?” tanya Kamarudin lagi— untuk memastikan jika mereka memiliki waktu yang cukup untuk sarapan.
“Setengah sembilan.”
Kamarudin mengangguk. Ia lalu mengajak Anya singgah pada salah satu restoran bubur langganan ibunya. Pria itu membiarkan Anya bergelut dengan pikirannya. Dari raut wajah Anya, Kamarudin tahu kalau Anya tengah memikirkan sesuatu. Kamarudin tak ingin mengganggu.
“Loh, Nya! Sama siap..” kalimat tersebut terhenti kala Flora melihat sosok Kamarudin. Gadis itu kontan membekap mulutnya. “Pagi, Pak,” sapa Flora ramah. Ditangannya terdapat tiga bungkus kantong plastic berlogokan restoran yang Anya singgahi.
“Selamat pagi, Flora. Membeli sarapan?”
“Iya, Pak. Disuruh Mami.”
Flora mengerjapkan matanya. Bulu mata extensionnya bergoyang-goyang seiring dengan pergerakan kelopaknya. Sekarang ia percaya dengan perkataan dosennya kemarin. Anya dan Kamarudin memang memiliki hubungan spesial. Buktinya pagi-pagi sekali mereka sudah bersama.
“Lo utang penjelasan ya, Nya, ke kita. Bales tuh chat! Jangan dianggurin,” bisik Flora ditelinga Anya. “Mari, Pak. Saya duluan. Mami udah nungguin di mobil.” Pamit Flora tak lupa dengan senyuman ramahnya.
“Dia bilang apa?”
“Minta spill penjelasan.”
Kamarudin ber-oh ria, sebelum mengutarakan kalimat yang mampu membuat Anya ketakutan sampai-sampai menggigit pipi dalamnya.
Anya berlari, menyongsong tubuh sang mama. Wanita itu telah menunggunya dengan tangan direntangkan. “Mama!” Panggil Anya, menumpahkan segala kerinduannya. Hanya beberapa hari tak bertemu, rasanya seperti lima abad. Kerinduan kepada sosok sang ibu membuat Anya melupakan kekesalannya. Ia tak lagi ingat pada cekcoknya dengan Kamarudin di mobil. Pria menyebalkan itu benar-benar spesies terkampret di dunia. Mulutnya yang nyinyir melebihi si nenek sihir, mengomentari dirinya yang tidak sengaja mendengkur saat tertidur. Woy, ngorok itu manusiawi ya! Apalagi setelah tidak tidur semalaman. Tubuh manusia juga memiliki batas. Wajar ia mendengkur karena terlalu lelah. Memang dasarnya Kamarudin saja yang suka cari gara-gara. “Anya kangen banget.” Anya bergelendot manja. Sebuah hal yang tidak Kamarudin pernah lihat ketika anak itu berada di kampus. Mahasiswanya itu selalu tampil garang. Hampir tak ada mahasiswa lain berani mengganggu karena kegalakannya. Macam-Macam sedikit, pasti langsung diliba
Plak!!Tanu Handoyo membulatkan matanya ketika sebuah tamparan mendarat pada pipinya. Matanya berkilat marah, tak menyangka mantan istrinya memberikan salam pembuka yang begitu kasar.“Apa yang kamu lakukan, Sasmita?!” Ia baru saja sampai dan hendak menyapa wanita itu. Belum sempat mulutnya yang terbuka mengeluarkan suara, sapaan lain justru menyambutnya. Membuat pipinya terasa kebas.“Seharusnya saya yang bertanya begitu, Mas!” Murka Sasmita, membentak. Kelembutannya tak lagi terlihat saat berhadapan dengan sang mantan suami. Ia kecewa— teramat sangat. Disaat pria itu dapat menugaskan seseorang untuk mengawasinya, mengapa dia tak melakukan hal yang sama untuk putri mereka. Dengan begitu putri mereka tidak akan terperosok pada lubang kesalahan.“Apa yang selama ini Mas lakukan sampai nggak becus jaga anak kita satu-satunya?” “Maksud kamu apa?” tanya Tanu. “Ada apa ini, Anya? Kenapa Mama kamu marah-marah ke Papa?” Pria itu lantas mengalihkan fokusnya, meminta penjelasan kepada sang pu
Pemandangan menyakitkan terlihat ketika Tanu Handoyo menyeret lengan Anya. Gadis itu diseret memasuki rumah mewahnya, menimbulkan kepanikan dalam diri Asih— wanita yang selama ini menjaga Anya, layaknya putri sendiri.Asih sudah mendapatkan pesan dari sang nyonya. Ia langsung berlari keluar, menanti kedatangan dua majikannya dengan hati berdebar.“Tuan, tolong lepaskan Mbak Anya. Kasihan Mbak Anya, kesakitan, Tuan,” mohon Asih, mengiba.Tanu menghentikan langkah kakinya, “masukan Anya ke kamarnya. Jangan biarkan dia keluar atau kamu yang menanggung akibatnya, Asih!” Ancam Tanu sembari mendorong tubuh Anya. Ia tidak akan membiarkan putrinya melangkah satu senti pun dari rumahnya. Anya akan dirinya tawan layaknya seorang tawanan.“Pah ada apa lagi ini? Anak kamu bikin ulah lagi?” Tanpa sebuah basa-basi, Soraya muncul dengan pemikirannya. Dimantanya Anya memang selalu saja bertingkah hingga menyebabkan papanya uring-uringan. Padahal gadis itu hanya perlu menurut dan kehidupannya akan sej
Anya— Perempuan muda itu menatap nyalang Tanu ketika dengan lugasnya, sang papa menyampaikan syaratnya. Rahangnya mengeras. Jari-jari telapak tangannya terkepal hebat dengan napas yang memburu.Pria itu rupanya sudah kehilangan kewarasannya. Bagaimana bisa dia! Hilang ke mana rasa malu dan wajahnya.Menuruti kata hatinya, Anya mengambil satu langkah maju. Tayangnya melayang, mendaratkan satu tamparan.Plak!!Ya, papanya pantas mendapatkan. Bahkan lebih dari tamparan pun, dia pantas menerimanya.Ia mengetahui benar sedalam apa luka mamanya dan sebesar apa pria dihadapannya membenci sang mama. Tidak akan Anya biarkan mamanya menderita lagi.“Lelucon macem apa yang pengen Papa peranin? Lebih baik Anya nggak nikah seumur hidup, dibandingin ngeliat Mama jadi istri kedua Papa!” berang Anya. Sekali pun ia hamil nanti, ia sanggup merawat anaknya. Menikah memang tidak pernah ada di dalam kamusnya. Ia menyetujui semua itu karena Kamarudin mendesak, menyeret nama-nama tak bersalah yang dirinya b
“Bagaimana para saksi?”“Sah!” Koor para saksi, yang menyaksikan ijab qobul secara serempak.Anya menangis tersedu-sedu. Perempuan itu tak henti mengeluarkan air mata. Pernikahan mendadak ini begitu menyakiti hati kecilnya.Karena kesalahannya, sang mama harus kembali merasakan lara. Dirinya dinyatakan hamil dan untuk menutupi itu semua, mamanya terpaksa berkorban. Menerima tawaran papanya hanya agar ia tak dicemooh oleh banyak orang.“Hiks, ini semua gara-gara lo, Udin Penyok!”Kamarudin tak terpancing plesetan Anya. Pria itu mengulurkan tisu untuk kesekian kalinya ke tangan mahasiswinya. “Ya jangan salahin saya! Siapa yang ngira kalau bibit saya ternyata unggul” balasnya santai, mendapatkan cubitan maut dari kuku-kuku panjang Anya.Dosennya memang mengesalkan. Tidak salah Anya menjuluki pria itu manusia kampret. Seharusnya kan dirinya ditenangkan. Bukan malah menyombongkan dirinya sendiri berkat aib yang mereka terima.Dibelakang Anya, Flora dan Angel terkikik. Anya terkena karma. M
Plak!!“Mama!” Anya menjerit saat seseorang tiba-tiba saja menampar Sasmita. Mereka tengah memperhatikan sebuah kursi pijat hingga tak menyadari keberadaan Soraya yang mendekat.Suara lantang Anya menarik perhatian dua laki-laki yang juga berkeliling. Kamarudin dan Tanu langsung menghampiri keduanya. Setelah drama penarikan rambut Kamarudin, Tanu memboyong istri serta anaknya berkeliling pusat perbelanjaan. Kedua sahabat Anya pun memutuskan tak mengikuti agenda keluarga yang baru saja kembali utuh itu. Mereka memberikan waktu agar mereka dapat mengakrabkan diri.“Apa-Apaan lo?!” bentak Anya lalu membalas tamparan dipipi kanan Soraya.“Jalang! Beraninya kamu menggoda suami saya sampai menikahi kamu!”“Soraya!” geram Tanu, menarik lengan Soraya saat wanita itu terlihat ingin menyerang Sasmita lagi.Mendengar hinaan istri papanya, Anya meradang. Ia melemparkan sebutan yang sama, dengan apa yang wanita itu layangkan. Mengutuk mulut Soraya habis-habisan. Karena perilaku Soraya, semua orang
“Lon*te!”“What?” Desis Anya, mencengkram telapak tangannya. Ia mengenal dua diantara lima gadis yang sedang melakukan perundungan terhadapnya. Dua gadis itu merupakan teman satu angkatannya sedangkan yang lain, adalah adik juniornya yang tergabung ke dalam aliansi pemuja Dosen Kampret-nya.“Lemparin lagi aja! Biar parfum wanginya berubah busuk kayak kelakuan dia!” Kompor salah satu gadis membuat rahang Anya sekeras batu. Tidak hanya berada di tahun ajaran yang sama, gadis yang membuka mulut terkutuknya itu juga merupakan teman sekolahnya dulu. Dia memang tak menyukai Anya karena kedekatannya dengan Josephin.‘Si Anjing gagal move on ini,’ batin Anya, menggeram.Hidupnya semakin sial sejak berhubungan dengan Kamarudin. Dosennya itu membawa petaka masuk ke dalam kehidupannya yang sudah rusak.Disisi lain, Kamarudin yang melihat itu menuruni mobilnya. Ia tidak langsung membantu Anya, melainkan membuka pintu belakang mobilnya untuk mengambil sesuatu.“LEMPAR!”“Bang..”Buagh!Mata Anya m
Kamarudin mengenyahkan handuk yang tersangkut di wajahnya. Pria itu menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba mengendalikan diri ditengah perilaku Anya yang mempermalukannya di depan banyak pasang mata. “Apa?” Bukannya takut atas intimidasi mata Kamarudin, Anya menyalak galak. Ia terlanjur emosi berat. Merasa dipermainkan oleh dosennya. Tidak tahukah pria itu jika dirinya sudah bersusah payah. Hanya karena beberapa detik saja, dirinya tidak diizinkan masuk. Benar-Benar dosen kampret yang menyebalkan! Anya benci Udin yang satu itu.“Sayang!”“Nggak usah sayang-sayangan deh lo! Nggak guna!” Pagi harinya terlalu berat. Kalau saja harga dirinya memperbolehkan untuk menangis, Anya akan merendah seluruh penghuni kampusnya ke dalam air bah tangisnya. Sayang air matanya sangat mahal. Dia tidak mau keluar karena kekesalannya pada Kamarudin.“Maaf ya, aku nggak bisa kasih toleransi walau pun kamu calon istri.”‘Ngomong apa sih, ini babik!’ geram Anya, membatin. Akting apa lagi manusia satu ini.