“Sidang perceraian kita sudah diurus pengacaraku.”
Andra berujar dingin ketika ia mengantar Mei pulang ke rumah orangtuanya. Enam tahun bersama, renjana di hati Andra telah padam. Pria itu memilih mengakhiri pernikahan. Meski Mei tahu, semua karena sekretaris Andra yang diam-diam menyelinap ke dalam kehidupan mereka lalu mencuri Andra.
“Beneran nggak ada jalan lain selain pisah, Mas?”
Hati Mei seperti balon meletus. Ia menyesal terlalu percaya pada sekretaris Andra sampai tidak sadar jika perempuan itu diam-diam menyimpan bom yang setiap saat bisa meledak. Bom itu meledak setahun lalu. Hanya ledakan kecil dan Mei masih berusaha bersabar dan mencari bukti.
Lantas, enam bulan lalu ledakan besar terjadi. Mei harus tercabik-cabik mendapati foto, video, juga bukti transfer uang dengan jumlah tidak sedikit ke rekening perempuan itu.
“Kukira hanya itu jalan satu-satunya. Tidak ada gunanya menjalani pernikahan tanpa cinta.”
Mei menatap ranting pohon mangga yang bergoyang dipeluk angin. Pada akhirnya ia harus berdamai dengan kenyataan kalau Andra memang sudah tidak menginginkannya.
“Oh, iya, aku minta maaf tidak bisa datang sidang. Aku lagi banyak kerjaan. Rumah mulai di-renov besok pagi. Aku bakal repot banget kalau harus bolak-balik sidang.”
Mendengar kata-kata Andra, Mei teringat ucapan perempuan itu tempo hari. “Aku akan menghapus semua jejakmu di rumah ini, Mbak. Aku harus pastikan semua tentangmu lenyap tak bersisa.”
Ingatan itu membuat dada Mei nyeri. Sangat nyeri sampai ia harus memegangnya sembari menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
“Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan buat semuanya jadi mudah. Kita tetap bisa bercerai secepatnya tanpa aku harus datang.”
“Setahuku ada jadwal mediasi, Mas. Kita harus datang..”
Mei menatap sisi wajah Andra yang menatap lurus ke depan. Sejak tadi pria itu sama sekali tidak menatapnya seolah dirinya adalah hama paling berbahaya yang harus dihindari dan diberantas sampai habis. Ia benar-benar sudah tidak berarti di mata Andra.
‘Kita tidak butuh mediasi,” tukas Andra cepat. “Tak ada lagi yang perlu dibicarakan lagi, Mei. Daripada bersama, tapi saling menyakiti, lebih baik kita pisah.”
Mei menghela napas. Ia pernah mendengar selebriti mengucapkan kalimat serupa saat berpisah dengan suaminya. Mei mengira lakon itu tidak akan terjadi padanya, ternyata ia pun harus merasakan.
Sesaat kepala Mei tertunduk. Diusapnya hidung beberapa kali. Sekuat tenaga Mei bertahan agar tidak menangis. Sudah cukup air matanya keluar. Ia tidak ingin lagi mengiba di depan Andra.
“Oke, kalau itu yang Mas Andra inginkan,” ucapnya setelah berhasil mengumpulkan kekuatan.
Bukan, bukan Mei tidak berusaha mempertahankan pernikahan, tetapi usahanya bertepuk sebelah tangan. Mei lelah, lalu memilih menyerah.
“Aku pamit. Setelah ini kita bisa bahagia dengan hidup masing-masing.” Andra berdiri. Ia hanya melihat sekilas pada Mei sebelum mengayunkan kaki menuruni beranda rumah menuju mobil.
Tak lagi ingin merespons ucapan Andra, Mei hanya tersenyum getir. Enteng sekali Andra bicara seolah enam tahun bersama tak berarti apa-apa bagi kehidupan mereka, seolah enam tahun bersama tak memberi bahagia.
Andra berjalan tanpa menoleh. Beberapa kali kakinya menginjak daun-daun kering yang berjatuhan di tanah hingga menimbulkan bunyi gemeresak. Bersama tiupan angin, mobil Andra menghilang.
“Yo, wis, Nduk. Jodoh kalian hanya sampai di sini. Tidak apa-apa. Diikhlaskan, Nduk.” Tangan tua Pak Ahmad, ayah Mei, menyimpan tubuh kurus sang putri dalam pelukan. Deraan masalah telah menyusutkan berat badan Mei. Dielusnya punggung Mei dan membiarkan putrinya menumpahkan luka hingga membasahi baju Pak Ahmad. “Yang penting kamu tetap husnuzon pada Allah. Semua takdir-Nya pasti baik.”
Tidak ada kata yang terucap sebab semua huruf telah tersedot oleh tangis. Mei tidak pernah menggugat Allah. Me hanya merasa menjadi perempuan paling buruk di dunia karena tidak bisa mempertahankan Andra. Apalagi saat satu dua omongan tetangga mampir di telinga Mei. Beberapa kali ia mendengar mereka mengatakan kalau kepergian Andra karena ia tidak becus mengurus suami.
Mei hanya merasa dunia tidak adil. Ia korban, tetapi justru jadi pesakitan. Mei marah, sakit, sekaligus juga malu. Ribuan putaran jarum jam dibutuhkan Mei untuk menyembuhkan luka dan kembali mengurus bisnis makanan sehat dan sayur organik yang sempat dialihkan pada kakak iparnya. Atas sarannya pula Mei melanjutkan kuliah dan mengambil program magister agribisnis.
Hari ini, setelah enam tahun berlalu, Mei bersiap ke Yogyakarta. Minggu depan mulai kuliah perdana dan ia memilih datang lebih awal karena masih harus beradaptasi dengan teman serumah juga lingkungan sekitar kampus dan kontrakan.
Tergesa, Mei menyeret koper. Rangga, adiknya, sedikit terlambat mengantar ke stasiun. Kalau melihat jadwal, ia masih punya waktu sepuluh menit. Meski demikian, Mei tetap merasa agak panik.
Mei mengayunkan kaki secepat mungkin menuju pemberhentian KRL tujuan Yogyakarta. Penumpang dan pengunjung Stasiun Jebres silih berganti melewati sisi kiri dan kanan Mei. Hari masih pagi, tetapi cuaca sangat panas. Beberapa kali Mei harus mengusap dahi yang berpeluh.
“Aduh, Maaf, Pak,” seru Mei gugup ketika tak sengaja menubruk seorang pria. “Saya nggak sengaja.” Mei mengambil buku milik pria itu yang jatuh di dekat kakinya.
“Nggak apa-apa.” Pria berkacamata itu mengambil buku miliknya. “Lain kali hati-hati. Kalau jalan jangan sambil baca wa,” lanjutnya. Ia membetulkan topi kemudian meninggalkan Mei yang masih berdiri gugup.
Dorongan salah satu calon penumpang KRL menyadarkan Mei. Ia meneruskan langkah, bergabung dengan pengunjung stasiun yang menyemut di depan pintu gerbong. Mei menarik napas lega ketika akhirnya ia bisa masuk dan duduk dengan nyaman. Kebetulan ia mendapat tempat duduk di samping jendela, tempat yang sangat disukainya jika bepergian dengan kereta.
Hari Senin, Mei sudah tiba di kampus jam tujuh pagi meski jadwal kuliahnya masih nanti jam sembilan. Ia harus bertemu dosen pembimbing akademik untuk menerima penjelasan roadmap perkuliahan selama dua tahun ke depan dan apa saja yang harus dilakukan agar studinya efektif.
Mei berhenti di depan ruang rapat Departemen Agribisnis. Dilihatnya arloji, masih ada waktu lima menit sebelum jam tujuh. Mei mengetuk pintu kemudian mendorongnya ke dalam ruangan.
“Selamat pagi, Pak.” Mei berdiri di ambang pintu, memasang senyum sehangat mentari pagi. Namun, lengkung bibir Mei seketika hilang tatkala melihat lelaki yang duduk di balik meja tepat di tengah ruangan. Meski pria itu tengah menunduk, tetapi Mei masih bisa mengenalinya.
“Selamat pagi.” Lelaki berkacamata itu mendongak. “Anda datang tepat waktu. Silakan duduk.” Ia melihat jam dinding sekilas lalu tersenyum pada Mei.
“I-iya, Pak. Terima kasih.” Dengan dada berdebar, Mei memilih kursi terjauh. Detik itu, ia berharap menjadi debu paling halus yang tidak bisa dilihat mata.
“Sepertinya kita pernah ketemu, ya?” Wajah lelaki itu sedikit berkerut. Lalu, selarik senyum terbit di wajahnya. “Anda yang menabrak saya di Stasiun Jebres, kan?”
Mati aku!
Mei menghapus ingus. Ia sampai lupa kalau tadi pagi Nana menawarkan Umroh. "Iya, Mas. Nana sudah cerita. Tadi dia nelepon. Katanya kalau bisa berangkat berlima, ada diskon." "Jadi gimana? Kamu setuju?" Amran mengusap pipi Mei. "Siapa tahu sepulang dari tanah suci, hati kita lebih tenang dan senyum kamu kembali.” "Kalau Mas setuju, aku ikut saja. Sekalian Ibu kita ajak, Mas." "Oke, Meine Schatzi. Besok aku kabari Dr. Rezvan. Ia ingin berbulan madu di tanah suci dan Turki." "Kita juga akan ke Turki?""Kalau kamu mau, nanti aku bilang ke Dr. Rezvan kita ambil paket yang sama.""Aku ingin ke Maroko." "As you wish. Kita akan ke sana setelah umroh." Amran mengecup bibir Mei. “Sekarang senyum, terus tidur. Oke?” Lantas, di sinilah Mei, bersimpuh di Roudhoh dan berlanjut ke Ka’bah, melengitkan doa di tempat paling mustajab. Mei tidak tahu kenapa selama di Mekah dan Madinah, ari matanya begitu mudah tumpah. Bukan air mata kesedihan karena ia justru sangat bahagia sejak kakinya menginjak
Bilah-bilah waktu yang berputar cepat menyisakan setitik rindu akan hadirnya anak di hati Mei. Titik-titik rindu itu seperti butir-butir salju yang jatuh ke bumi lalu mengeras dan menjadi bongkahan es. Dingin. Menggigit. Awalnya, Mei menjalani hidup dengan nyaman. Ia bisa menyelesaikan kuliah S2 dan lulus dengan nilai memuaskan. Tak ingin berdiam diri di rumah, Mei dan Kayla membuka toko sayur online yang menjual sayur organik dan non organik. Sedikit-sedikit, Mei membantu pemasaran produk-produk binaan Amran di Bantul. Lalu, komentar-komentar berkedok saran mulai muncul dari orang-orang di sekeliling Mei. Ada pula yang seolah menanyakan usaha apa saja yang sudah dilakukan Mei dan Amran kemudian memberi saran sembari menatap kasihan. Padahal Mei tidak ingin dikasihani. Dari sekian komentar, Mei paling sakit hati jika mereka menyinggung usianya dan Amran. Mereka memang telat menikah, tapi bukan berarti tidak bisa punya anak. Mati-matian berusaha menyingkirkan komentar-komentar buruk,
Mei berdiri kaku sambil tersenyum canggung ketika melihat Amran turun dari mobil. Awas kamu, Bas, sudah ngeprank aku. Mei mengomel dalam hati. Maksud hati ingin menghindari Amran dengan meminta tolong pada Bastian. Bukannya datang sesuai janji, Bastian malah bertukar posisi dengan Amran.. Mei yakin, setelah pembicaraan mereka, pasti Bastian melapor pada Amran. Pengkhianatan partner in crime, nih, ceritanya. Ingat, Bas, pembalasan selalu lebih kejam. “Kenapa motornya, Meine Schatzi?” Amran berujar tenang. Susah payah ia menahan diri agar tidak tertawa melihat raut muka Mei. “Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba mogok. Sudah minta tolong pak parkir tetep nggak bisa nyala.” Mei sok cuek, seolah tidak sedang perang dingin. Rencana untuk menunda gencatan senjata sampai besok gagal total. Masa iya, sudah mau ditolong tetep perang dingin dan pasang muka judes. Di balik sikapnya yang seolah tanpa dosa, Mei merasa telah kehilangan muka. . “Kok, bisa kompakan sama yang punya, ya.” Amran tersenyum jahi
Rumah terasa sunyi setelah Amran berangkat ke kampus karena Ibu belum pulang. Mei tidak tahu apakah sejak dulu Ibu juga betah menginap di rumah Kayla. Satu hal yang Mei rasakan, entah sengaja atau tidak, setiap kali Mei butuh sendiri atau sedang sedikit cekcok dengan Amran, Ibu akan menginap di rumah Kayla. Ada saja alasan Ibu. Mulai dari pengajian, masak bareng Kayla, atau diajak jalan. Bisa jadi juga karena di rumah Kayla ada kedua orangtuanya sebagai teman ngobrol Ibu. Entahlah, Mei tidak berani banyak bertanya. Kepergian Ibu justru melegakan hati Mei karena ia jadi punya ruang dan waktu untuk mengembalikan suasana hatinya ke setelan awal. Tidak mudah berpura-pura baik padahal hati sedang dilanda angin ribut. Mei bersyukur punya mertua sepengertian itu. “Meii, yuk triple date.” Pesan dari Aina masuk ke ponsel Mei ketika ia baru saja membersihkan dapur. “Calonnya Najma dan Pak Suami lagi di Jogja, nih. Buruan kasih tahu Prof. Amran biar dia kosongin jadwal, gih.” Kebiasaan Aina k
“Aku berangkat dulu, Meine Schatzi.” Tangan kanan Amran meraih tubuh Mei lalu memberi kecupan hangat yang hanya ditanggapi sambil lalu oleh Mei. “Weekend ini aku bisa kosongkan jadwal kalau kamu pengen liburan,” ujar Amran sambil masih menyimpan tubuh Mei dalam pelukan. “Iya, Prof, nanti aku pikirkan.” Mei menjawab malas lalu berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Amran. “Nanti terlambat,” ucapnya sambil membetulkan dasi yang sebenarnya sudah terpasang rapi. Amran tersenyum. Setelah mengucapkan salam, ia pergi. Ia tidak terlalu ambil pusing ketika negosiasinya tadi malam berakhir deadlock. Segala bentuk rayuan sudah ia lakukan, tetapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Mei terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Kombinasi keras kepala dan marah memang cukup mematikan. Ketika semua usahanya gagal, menjelang tengah malam, Amran hanya bisa tidur sambil memeluk Mei, itu juga dari belakang. Sangat tidak menyenangkan, tetapi sedikit lebih baik ketimbang diusir keluar dan harus tidur di ruang
Assalamualaikum, Sahabat. Mohon maaf baru melanjutkan cerita ini sekarang. Sejak akhir 2023 kondisi kesehatan saya kurang baik, harus sering bedrest sehingga tidak bisa nulis. Semoga tahun ini saya sehat dan bisa menyelesaikan cerita ini. Terima kasih masih bersedia mengikuti kisah Amran dan Mei :-) ***“Jangan lupa pakai seat belt-nya, Meine Schatzi.” Amran tersenyum lalu bergerak ingin memasangkan sabuk pengaman ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Amran tahu becandanya garing, tapi ia tidak tahan melihat wajah cemberut Mei. Ia selalu ingin menggoda Mei saat sedang marah atau cemberut. Ketika melihat Mei, Amran semakin sadar kalau Ibu dan Mei tak ubahnya seperti satu orang yang dibelah dua. Mereka memiliki banyak kesamaan. Karenanya, Amran tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri dengan kehadiran Mei dalam hidupnya. Mungkin karena itu jugalah Ibu langsung naksir Mei sejak bertemu pertama k