Share

Bab 5: Bujang Karatan

Sepertinya aku harus tidur. Pikiran itu datang tepat ketika ia menyudahi lamunan dan ponselnya berkedip-kedip. Layar benda itu memperlihatkan notifikasi pesan dari Mei. 

“Maaf, Prof, nilai baru saya kirim sekarang.” 

Amran melihat jam di layar ponsel. Sepuluh menit sebelum jam sepuluh malam. 

“Oke, Mei. Makasih banyak. Kamu kerja keras sekali.” 

“Biasa saja, Prof. Sudah jadi tugas saya.” Emoticon senyum. 

“Revisi RAB proyek akan saya selesaikan dan kirim besok Prof. Tapi mungkin malam baru beres.” 

“It’s okay, Mei. Kamu punya waktu sampai jam 23.59.” 

Mei mengirim emoticon tertawa. “Saya usahakan sebelum jam cinderela sudah terkirim, Prof.” 

“Saya tunggu.” 

“Baik, Prof.”                              

Percakapan berakhir. Amran masih menatap layar ponsel. Kalimat sang ibu terngiang. Jodoh itu dijemput. Bukan ditunggu.

Amran menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia memang menunggu. Mungkin ia menunggu terlalu lama sampai lupa berusaha. Padahal tanpa usaha, Tuhan tidak pernah mengubah nasib hamba-Nya. 

Punggung Amran bersandar di bahu kursi. Tapi siapa yang harus kudekati?Siapa yang harus kujemput? Saat ini Amran seperti berada di tengah padang ilalang. Sepanjang mata memandang hanya ada rumput dan sebatang pohon trembesi di salah satu sudutnya. Tidak ada bunga yang tumbuh. Tidak ada bunga yang bisa dipetik. 

Kegagalan membangun hubungan serius membuat Amran menciptakan batas dengan perempuan, tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak menutup diri. Ia tetap ramah, tetapi tidak pernah menyediakan ruang untuk membicarakan urusan pribadi. 

Aku akan pikirkan lagi besok. Otak Amran buntu. Ia mematikan laptop dan beranjak tidur. Siapa tahu besok ia ketemu jodoh.

Hari-hari setelah pembicaraan panas malam itu, Amran sering melihat sang ibu duduk diam lalu menatapnya lama. Raut mukanya berkerut-kerut seperti tengah memikirkan sesuatu. Amran tidak bertanya karena ia yakin perempuan sepuh itu sedang mencari-cari anak gadis yang bisa dijodohkan dengannya. 

“Ibu baru ingat, Ran, ada sepupu kamu yang akan pulang dari Belanda dan belum nikah.” Ratih yang semula berada di ruang tengah tiba-tiba masuk kamar Amran. Ingatan tentang sepupu jauh Amran muncul mendadak dan ia tidak sabar untuk mengabarkan pada putra semata wayangnya. 

Amran menoleh, mendapati mata kelabu sang ibu berpendar cerah dan wajahnya tak lagi suram. Saat itu ia tengah berkemas karena besok akan berangkat ke Bandung selama tiga hari dua malam. 

“Kalau dia sudah sampai sini, Ibu kenalin.” 

“Iya, Bu. Ibu atur saja.” Amran pasrah. Mungkin lewat jalan ini jodohnya. Tidak ada salahnya mencoba. Kalau nanti gagal lagi, ia rela tidak menikah di dunia dan akan memohon pada Tuhan agar diberi bidadari paling cantik di akhirat. 

“Anaknya cantik dan pintar. Kamu pasti suka, Ran.” 

“Ibu sudah ketemu?” 

“Belum.” 

“Lah?” Amran melongo. 

“Ibu pernah ketemu waktu syukuran ulang tahun dia ke-17. Dia cantik banget waktu itu, Ran.” 

“Oh.” 

“Ibu yakin sekarang juga pasti masih cantik atau malah tambah cantik.” Ratih berdiri, menepuk bahu Amran lalu pergi. 

Amran hanya tersenyum samar dan membiarkan sang ibu kembali ke ruang tengah untuk menonton televisi. Jadi Ibu mendatangiku hanya untuk memamerkan seseorang yang ia sendiri tidak kenal dan tidak tahu. Arman menggeleng, menyadari hari-hari ke depan akan menghadapi ibunya yang semakin impulsif soal jodoh. 

Hari-hari berlalu dan Amran harus menebalkan kuping karena sang ibu terus bercerita tentang keponakan yang akan dikenalkannya pada Amran. 

Hingga suatu pagi ketika Arman membawa dua gelas jus jeruk ke ruang tengah. Ada Ratih di sana, duduk di kursi malas. Ruangan itu terasa hangat. Cahaya matahari masuk melalu jendela kayu yang sengaja dibuka dan tepat mengenai wajah Ratih. Tangan keriputnya memegang kertas merah maroon. Kepala perempuan itu tertunduk dengan kacamata baca bertengger di atas hidung. Melihat jenis kertas dan bentuk tulisan, Amran menduga sang ibu sedang membaca undangan nikah. 

"Siapa, Bu, yang nikah?" Arman yang berdiri di depan Ratih melongok. Tangannya menyodorkan nampan kayu dengan segelas jus di atasnya. 

"Gagal, Ran. Gagal." Ratih meletakkan kertas tebal warna maroon dengan pita emas itu di atas nampan dengan wajah semuram langit musim hujan 

"Diminum dulu jusnya, Bu. Pagi-pagi sudah cemberut, katanya pamali." Amran tersenyum. Tangannya mengambil gelas lalu memberikannya pada Ratih. 

Ratih melirik tajam pada Amran seraya menerima gelas. Diteguknya cairan berwarna kuning cerah itu cepat-cepat. Biasanya ia menyukai perpaduan manis asam jus jeruk, tetapi pagi ini tidak. Kegagalan rencana perjodohan menambah asam jus jeruknya.

"Apanya yang gagal, Bu? Ada pesanan batik yang nggak beres?" 

Ratih meneruskan toko batik warisan kedua orangtuanya di Bringharjo. Kini, ia punya dua toko dan semua dikelola salah satu sepupu Amran. Hanya sesekali ia datang. Selebihnya, Ratih lebih banyak di rumah. Sepupu Amran akan datang ke rumah untuk konsultasi setiap memilih produk baru. Mereka punya rekanan beberapa pengrajin batik. 

"Sepupu kamu yang Ibu bilang baru balik dari luar negeri itu ternyata pulang karena mau nikah sama bule." Ratih mengambil undangan dr nampan. "Nih, undangannya." Disodorkannya pada Amran dengan raut muka kesal. 

"Ya, berarti nggak jodoh, Bu. Nanti saya cari yang lain." Amran mencoba tetap santai. Beruntung dia belum sempat ketemu sehingga tidak perlu patah hati atau nyesek karena gagal untuk kelima kalinya. 

"Siapa, Ran? Kamu sudah punya calon?" 

"Ehm …." Amran gelagapan. Ia meneguk jusnya lalu meletakkan di atas meja. Sembari berjalan menuju kursi di bawah jendela, ia mencoba mencari jawaban paling enak didengar demi melegakan sang ibu. 

"Belum pasti, Bu. Tapi ada." 

Bola mata Amran menatap kucing peliharaan Ratih. Ia berjongkok, mengelus kucing itu. Rasanya ia ingin jadi kucing saja. Tidak perlu repot mikir jodoh. Sekarang, dengan jawaban yang baru saja terlontar, ia harus siap ditodong kapan saja. Padahal, tidak ada satu nama pun terlintas di kepala. 

"Kamu nggak pengen ngenalin ke Ibu dulu?" Ratih bertanya antusias. Kedua matanya seperti sinar matahari pagi. Ada pendar harap di sana. 

"Saya belum ngomong apa-apa ke orangnya, Bu. Baru juga sebentar berteman. Yang ada dia malah lari karena belum langsung diajak nikah." 

"Jangan pakai lama. Kamu harus sat set." 

"Sabar, Bu. Dikira gampang gaet hati anak orang." 

"Kalau gampang, kamu nggak bakalan jadi bujang karatan kayak gini." Ratih mencubit lengan Amran dengan gemas. 

"Astaga, anak sendiri dibilang bujang karatan." Amran pura-pura jengkel. 

"Memang sebutan apa yang pas buat kamu? Bulan ini kamu 45 tahun dan kamu masih jomlo sementara orang lain yang seumuran kamu anak-anaknya sudah besar, sudah mau mantu." Kedua mata Ratih sedikit melebar. Kerutan-kerutan di wajahnya seperti bertambah setiap kali membicarakan tentang jodoh Amran. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status