Share

Bak Remaja Pubertas

Tubuh Arion rasanya bak kayu yang digerogoti rayap. Seluruh tubuhnya lelah tanpa terlewat walau seujung kuku bayi baru lahir. Lisan dan otaknya tak berhenti bekerja sejak kerakusan menyandang Arion. Sudah menjadi CEO tetapi dengan gila masih menyetujui penawaran sang sahabat. Dimana penawaran tersebut Ari setujui, berujung pada hari pertama perasaannya dibuat kaku. Paras, postur tubuh, dan nama yang duplikat membuat Arion seketika teringat mendiang belahan hatinya.

Otaknya gatal menuntut perihal kejanggalan. Tetapi waktu tak lelah-lelah menjadi konflik kehidupan. Arion menatap cahaya rembulan yang menyerupai netra sang mahasiswi. Tak begitu bersinar tetapi membius Arion.

Konon kata orang bila merindukan seseorang, maka tataplah langit malam. Bisa jadi seseorang tersebut menjelma menjadi bintang. Sedangkan kala siang katanya seseorang tersebut bersembunyi di balik gumpalan awan. Arion memutar kenangan dalam benak.

Badan yang dipasangi oleh aneka kabel rumah sakit, dada yang disisipkan alat detak jantung, surai lebat kini ditutupi penutup kepala, hidung diselipkan oksigen, dan bibir pucat Azalea tak membuat Arion jenuh menapaki depan ruang ICU. Netra dan raga Arion masih menanti harap cemas, berharap wanitanya pulih total dari tumor jantung dan kanker paru-paru menyerang Marissa.

"Mas, ayo kita adopsi anak saja."

"Mas, maafkan Rissa tak bisa memberikan keturunan."

"Mas, Rissa rela bila Mas menikah lagi karena Rissa tak bertahan lama."

"Mas, nggak capek temani Rissa ke rumah sakit terus?"

"Mas, tak perlu antar kemoterapi. Mas, tampak sangat lelah."

"Mas, kira-kira perkiraan dokter kanker dan jantung hanya perkiraan atau beneran ya?"

"Mas maduku! Anakmu dengan istrimu kelak juga akan kuanggap anakku sendiri, bila istrimu tak keberatan."

"Mas, pasti andai tubuhku tak penyakitan... Di janin ini ada benihmu."

Arion pada saat itu hanya mampu menatap langit melalui jendela saja. Hatinya terlalu terasa bak digergaji tak kuasa menatap sang pujaan hati, yang tubuhnya kian menyisakan tulang serta kulit secerah sinar mentari itu justru sangat pucat. Lipstick yang menutupi kepucatan bibir mungil Azalea bahkan tak lagi berguna. Hanya kebaikan Tuhan untuk memberikan keajaiban.

Kini kata keajaiban menghilang seutuhnya. Hati Arion tak lagi mampu mengucap harapan bodoh, tepat kala bunyi alat EKG (Elektrokardiogram). Alarm siaga dokter jaga di ICU pun menyusul berdenting. Perawat dan dokter kompak mencari kamar menjadi sumber suara.

Tampaknya tapak kaki terpaku Arion kala bertemu Azelina, lebih terpaku kala realita menampar kuat-kuat. Dokter dan perawat masuk ke ruang Azalea. Tirai ditutup agar Arion tak lagi mampu memandang sang istri. Mengalahkan ramainya irama di diskotik, degup jantung Arion terasa berkejaran. Detak tersebut terhenti tepat kala sang dokter keluar.

"Maafkan kami, Pak. Kami--"

"Katakan yang benar, Dok!"

"Kami gagal menyelamatkan Ibu Azalea. Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Pak. Semoga anda beserta keluarga diberikan kekuatan."

Tanpa peduli tirai masih belum tersibak. Tak peduli para perawat yang masih melepaskan alat medis. Arion menyibakkan kasar selimut menutup paras sang istri. Bukan dekapan hangat tersalurkan, sebagai rumah satu-satunya. Tubuh kaku nan dingin sang istri yang tak lagi merespon dekapan, tetap saja Arion dekap membuat beberapa perawat memilih undur diri. Pemandangan yang telah tak asing lagi di netra mereka.

Sensasi menggelitik, bak ditusuk-tusuk kulitnya, Arion seketika tersadar dari tidur bersandar pada pembatas balkon. Arion mengusap dada merasa masih beruntung tak terjatuh. Lelaki tersebut menatap langit dari balkon sebelum terlelap di kamar semasa bujang, setelah cukup lama tak mengunjungi rumah mendiang kedua orangtuanya.

"Mom, Dad, mengapa kalian membawa Lea sekalian bukan membantu Arion agar Lea bertahan?" protes Arion yang hanya disahuti suara mesin AC.

Jam telah menunjukkan pukul tiga pagi, tetapi netra Arion belum terlelap mengarungi alam mimpi. Pria tersebut menatap kosong sisi kasurnya. Kepingan beberapa potongan kenangan bersama sang orang tua, tak ingin kalah dengan ikut muncul tiba-tiba. Merasa jenuh dengan acara berusaha terlelap, Arion meraih handphone mengulir asal apapun berharap rasa kantuk menetap.

[Halo, Pak?]

Arion menyebutkan semua penghuni kebun binatang, kala jemari panjang nan besar miliknya terpeleset menghubungi salah satu nomer mahasiswinya. Seharusnya tak jahil memantau percakapan para mahasiswa-mahasiswi, yang bak murid-murid tukang mengerjakan tugas dadakan di kelas. Seharusnya dia tak jahil mengawasi user tiap kontak mahasiswa di kelasnya.

[Pak?]

Suara menyejukkan ini. Suara memabukkan, membuat Arion melambung-lambung di angkasa rasanya. Degup ini adalah degup yang pernah Arion rasakan, tepat kala bertemu sang istri pertama kali. Degup yang irama sekilas mirip kala menanti jawaban lamaran. Arion berdeham keras, beruntung rumah hanya dihuni dirinya karena bibi telah pulang.

"Ya? Ah-- Maksud saya anda sedang apa, Zelin? Eh, tidak-tidak. Maafkan saya mengganggu tidur anda. Terima kasih telah menerima panggilan saya."

Azelina di seberang sana tampak menjelma jadi patung. Pertanyaan sekian lama dirinya rindukan dari sang kekasih. Bukan mendengar kalimat sederhana melalui lisan sang kekasih, tetapi Azelina harus mendengar melalui lisan sang dosen. Dosen yang sempat membuatnya takut dan curiga, karena tatapan penuh pengamatan.

Azelina mengamati ponselnya sebelum berpindah tempat dari duduk di meja belajar. Netranya ntah berapa kali mengamati nomer tertera, dengan nama kontak sengaj dirinya tulis 'Dosen Aneh'. Ntah mengapa tangannya gatal untuk kembali membuka pesan dari nomer dirinya arsipkan teratas. Rasa rindu menyelinap meminta keegoisan diri dimenangkan, kala gadis berbulu mata lentik itu menatap chat 6 bulan lalu dari sang kekasih.

"Xav, salahku aku mencurigaimu bermain belakang dengan gadis London di sana?"

"Bolehkah imajinasi liarku terbesit kau bermain belakang secara terang-terangan?"

"Apakah gadis lain hanyalah kebodohan terkaanku saja? Sedangkan nyatanya kau bermain belakang dengan gadis tanah air?"

"Akankah waktu indah atau buruk saat kita bertemu?"

"Xav, permen karet bisa hambar, apakah begitupula hubungan kita?"

Bak seorang gadis dengan pemilik gangguan jiwa. Azelina tidaklah berdialog dengan sang otak ataupun hati. Gadis itu berdialog dengan dinding berwarna krem di hadapannya. Azelina menggerakkan bibirnya tanpa sang pelaku mengetahui seinchi pun.

Layaknya malam-malam sebelumnya. Lagi-lagi Azelina meluapkan kreativitas, dengan membuat aliran air terjun tanpa bebatuan. Azelina membuat air terjun yang mengalir dari kedua pipinya. Air mata yang akan mengenai bantal dengan sarung berwarna cokelat. Azelina bukanlah gadis hobi membuat pulau dari bibirnya, tetapi gadis tersebut lebih hobi membuat air terjun. Lalu akan merutuki kebodohan membuat mata sembab di pagi hari.

"Hai, handphone siapakah ini?"

"Orang bodoh mana yang tak mengunci layar handphonenya."

"Tak hanya itu saja bahkan tak menghapus bekas panggillan."

"Dosen aneh? Bukankah ini dosen baru yang langsung jadi primadona itu?"

"Apakah ini handphone adik Kak Xavier ya? Tapi bukankah Kak Xavier anak tunggal? Tak mungkin bukan Kak Xavi tengah di London memiliki gadis mahasiswi baru?"

Kalimat tanya demi kalimat tanya terus terlontar, karena pemilik handphone yang teledor tak menyadari handphone-nya terjatuh di kantin.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status