Share

Ternyata Memiliki Kekasih

Berapapun jumlah angka yang menjadi status jawaban kala pertanyaan 'berapakah umurmu?', orang-orang merasa bahagia mengerubungi kala kepadatan sehari tersisihkan. Contohnya saat ini dimana seluruh gedung fakultas merasakan pesta dadakan. Bukan dikarenakan suatu perayaan di masing-masing jurusan, ulang tahun dosen, ataupun teman sekelas. Melainkan kampus mengadakan rapat merata yang wajib dihadiri seluruh dosen.

Mahasiswa-mahasiswi rasanya dibuat menangis bahagia, karena akhirnya masa dirindukan kala sekolah kembali terjadi di universitas. Kemerdekaan mahasiswa-mahasiswi dan murid adalah waktu pulang awal yang tentunya selain jam kosong. Jam memang baru menunjukkan saat makan siang. Sedangkan rapat akan berlangsung dari jam 12 hingga jam 3 sore. Lama? Ya itulah alasan kelas yang dimulai pukul 12 siang hingga 3 sore diganti jadwal.

Beberapa kursi aula yang dijadikan ruang rapat telah diisi beberapa dosen. Tak seperti dosen lain yang menunggu dengan tenang, sembari bermain handphone menarikan jari ke sana kemari, terlelap mencari bab mimpi, atau melamun. Arion memilih menatap gedung seberang, dimana seberang aula adalah gedung parkiran para mahasiswa-mahasiswi. Tangan lebarnya memang bertumpu pada kaca. Orang-orang mungkin mengira dia si perfeksionis kebersihan, tetapi kotornya luar kaca aula tak Arion pedulikan nyatanya.

Gadis berkuncir kuda dengan warna dark blue, yang tampak baru diwarnai itu tampak mencuri seluruh atensi Arion. Selagi gadis semalam lusa lalu dirinya hubungi, itu masih bersandar malas pada dinding parkiran. Maka Arion rela lebih lama menunggu rapat yang tak kunjung dimulai ini. Tak peduli dirinya kini telah dikerumuni karena tak duduk, melainkan berdiri dengan menatap kosong jendela yang mereka terka mengamati parkiran.

"Hai, bukankah gedung seberang biasa saja selain hanya parkiran seluruh mahasiswa-mahasiswi saja?"

"Menurutku pun demikian, hanya... Tampaknya ada hal luar biasa yang diamati Pak Ari."

"Benar begitu bukan, Mas Arion?"

"Ya benar."

Arion mengernyitkan dahi sekilas. Jawabannya tak ada yang salah, tetapi otaknya merasa berbanding terbalik. Arion membalikkan badan, lalu terbelalak kala tiba-tiba saja pandangannya ditutup kedua dosen lelaki dan dua dosen perempuan. Walau telah menghadap keempat teman dosen yang lebih muda, tetapi tak membuat ujung mata Arion tidak menatap area parkiran. Ntah apa yang dinanti gadis mirip mendiang sang istri, hingga wajah gadis tersebut tampak kesal bak singa betina.

"Pak, apakah penjaga parkiran gedung sebelah mengeniti anda? Jangan tergoda Pak, pilih saja salah satu mahasiswi yang menyukai Bapak!"

Tak seperti dosen perempuan yang seringan kertas mengatakan hal seperti tadi. Salah satu dosen lelaki terlebih dahulu, menimang-nimang perkiraan penerkaannya. "Pak, mahasiswi itu menarik ya?"

"Eh, kau benar. Ntah mengapa aku pernah melihat wajah itu di handphone Bang Ari. Jangan-jangan itu putri Bang Ari yang dirahasiakan? Atau keponakan istri anda, Pak?"

Tolong siapa, dimana, dan bagaimanapun caranya, sampaikan pada Arion jawaban yang tepat dan jujur. Sedangkan dia saja ragu dengan ketidaksengajaan atau kesengajaan ini. Bak benda sulit tenggelam tetapi kekeh ingin di tenggelamkan. Jungkat-jungkit bukan? Ya, begitu pula penerkaan penuh misteri, mengalahkan mengisi teka-teki silang bagi Arion.

Tertawa miris kala putara kalimat diutarakan dokter, beberapa tahun silam kala kembali terbesit di benak. "Allah tak menakdirkan saya memiliki malaikat kecil. Bahkan... Saya saja heran mengapa mahasiswi itu duplikat mendiang istri saya. Apakah istri saya merengek pada Sang Pencipta, agar mempertemukan saya pada gadis yang mirip?"

Tatapan gelap, sunyi, dan penuh kesepian itu terlihat jelas serta jujur tanpa disembunyikan sedikitpun. Mereka berempat mampu melihat jelas, bahkan ujung mata Arion sangat terhipnotis mengamati keindahan Zelin. Asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor telah memasuki aula secara bersusul-susulan. Rapat dimulai tepat kala lektor mewakilkan memberi salam.

Perdebatan di gedung seberang aula untungnya tak terusik, dikarenakan gedung aula yang benar-benar tertutup dengan perendam suara. Walau jarak gedung parkiran hanya beberapa jengkal. Azelina tak henti-henti mengumpati sang sahabat sedari sekolah dasar, yang katanya berjanji mengantarkan karena banyak hal dikatakan. Tetapi nyatanya sang sahabat tak kunjung menampakkan batang hidung, hingga kakinya kesemutan dan punggung lelah bersandar.

"Vierra?"

Zelin menoleh ke sana kemari mencari sumber suara. Tatapan bahagia pulang awal, lelah menanti, menjadi tatapan datar yang tertutup kekesalan. Zelin menunggu mahasiswa beda jurusan tersebut menghampiri dirinya.

"Maafkan aku. Tadi aku hendak menemuimu tetapi kekasihku meminta ditemani ke ruang organisasi."

Zelin menganggukkan kepala mengerti. Kata orang bersahabat antara cowok dan cewek, itu pasti selalu terselip rasa. Ntah salah satu dari mereka, keduanya sama-sama suka lalu sempat menjalin asmara, atau sama-sama suka tanpa hubungan lebih dari sahabat. Sedangkan bagi Jaladri dan Azelina hal tersebut hanyalah angin lalu. Nyatanya mereka tak pernah memiliki rasa walau seujung kuku pun. Keduanya kompak menepati perjanjian persahabatan.

"Lantas bagaimana dengan kekasihmu? Apakah tak apa-apa kau benar mengantarku? Apabila kekasihmu tak mengizinkan, kita bicara di cafe belakang kampus saja bertiga.*

Jaladri Béntang atau akrab dipanggil Jala ataupun Adri, lelaki itu menggelengkan kepala. Kekasihnya terlalu sibuk, tetapi dia jadi berjuta-juta persen apabila sang kekasih paham. Tak sebatas paham dengan hubungan dengan Zelin, melainkan juga percaya bila hanya sebatas sahabat sejak kecil.

"Vier, aku telah mengenalmu karena kita bersama sedari SD, SMP, SMA, hingga kini. Kita tak melewati waktu secara terpisah karena satu almamater, tetapi kau tak lupa Kak Xavier bukan? Ingat. Kabarnya beberapa bulan atau secepat-cepatnya beberapa bulan lagi kakak tingkat itu kembali. Kuyakin tak mungkin dia tak geram bila tahu kau hanya dijadikan bak gadis pemuas si dosen baru yang tua itu."

Zelin mengernyitkan dahi tak suka dan terima. Baiklah dia paham. Perkataan itu bermaksud untuk menasihatinya, tetapi mengapa kalimat yang terucap cenderung ke arah penghinaan? Apakah persahabatan mereka telah tiba di titik jenuh? Atau ini hanya efek sebagai mahasiswa semester awal dengan tugas setumpuk?

Api harus dipadamkan dengan air, bukan justru disiram dengan minyak membuat api kian menyebar. Zelin menghela nafas, mengontrol emosi tak mendominasi diri.

"Topik apa yang kita bahas, Dri? Kak Xavier atau Pak Rion?"

"Lihat! Bahkan kau memiliki nama sebutan khusus."

Zelin mengigit bibir tak tahan hendak melemparkan Jala ke aula. "Mari mempersingkat waktu saja karena tugas telah menanti di rumah. Perkiraan kalian semua hanyalah kesalahan belaka. Aku tak tahu alasan Pak Arion menghubungi lusa lalu."

Merasa percakapan telah berakhir dengan penjelasan sebaik mungkin. Tanpa mendengarkan kemungkinan penawaran pulang bersama, kilahan jawaban atau pertanyaan Jala, Zelin menuruni area parkiran. Arion kini mengikuti arah pergerakan Zelin, yang menuruni jalan melingkar menuju ke luar kampus. Raganya memang sepenuhnya di aula, netra fokus sedari awal mengamati parkiran walau semu-semu tapi pasti, telinganya mendengarkan tetapi pembahasan rapat.

Otak dan hati Arion saat ini berperang. Interaksi beberapa menit lalu sangatlah terlihat akrab. Paras dan postur tubuh sejoli itu juga cocok bagi Arion. Ntah apa yang dibahas tetapi ekspresi kesal Zelin menarik rasa penasaran Arion.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status