Share

Tanpa Hubungan Darah

Pagar besi semula menjulang tinggi dari kejauhan, bahkan menutupi megah dan indahnya rumah berhasil Arion lewati. Rumah dengan tipe model klasik bergaya Perancis, kembali berada di depan mata Arion. Tak ingat berapa lama waktu pastinya kaki Arion menapaki rumah masa kecil almarhumah istri. Masih sama tanpa perubahan spesial selain pergantian cat saja.

Arion menekan bel yang tak jauh keberadaan dari posisi tempat berpijak. Salah satu pekerja di rumah sang mertua membukakan pintu. Lama tak bertemu dengan pria di hadapannya, membuat netra sang pekerja hampir saja terlepas dari posisi. Mengamati dari atas hingga bawah penampilan Arion, karena merasa tak berubah walau berpuluh-puluh tahun tak berkunjung.

Sebuah karakter di film dan buku-buku mitologi kuno membuatnya seketika teringat. Vampir-- Karakter mitologi legenda yang tak asing di ingatan karena kebiasaan menghisap darah. Tampaknya mulai saat ini pekerja itu akan percaya, dengan film-film fantasi yang melibatkan karakter vampir. Dia akan genggam erat-erat pendapat, apabila vampir itu benar ada karena kembali bertemu dengan menantu keluarga ini. "Tu--Tuan Ari?"

Reaksi yang diberikan wanita pekerja sepasang mertua membuat Arion tergelak. Dia mengerutkan kening, namun seketika berganti dengan mengangkat sebelah alias bak ulat bulu miliknya. Mengapa dia merasa bak buah apel tengah dikupas kulitnya? Mengapa dia merasa bak narapida kabur dari sel secara diam-diam? Apakah ini hanya prasangka kosong, pengaruh berpuluh-puluh tahun tak menginjakkan kaki di rumah ini?

"Ya Bi, ini saya. Apakah Mami dan Papi di rumah?" Lidah Arion terasa kaku akibat sekian lama tak menyebut mertuanya. Rasanya sang indra perasa ini bak dicubiti hingga terasa kebas.

"Ah--"

"Bi, siapa yang datang?!" Walau dengan teriakkan dari dalam rumah yang jauh jaraknya, tetapi suara tersebut layaknya bangunan masih terasa hangat walau dimakan waktu. Suara tersebut masih mengalun hangat merambat ke tiap sisi gendang telinga. Ntahlah akankah beda bela bertemu langsung?

Berbeda orang tetapi memberikan reaksi yang sama. Wanita berusia 80 tahun tersebut bergeming, kala netranya menatap pria pujaan salah satu buah hatinya mematung di depan pintu. Jarum jam tidak menetap, layaknya peribahasa dimana waktu adalah fana. Tetapi anehnya netra, hati, dan otak kompak mencetak argumen sama, apabila salah satu menantunya tak dimakan waktu karena tidak mengalami perubahan paras dan badan.

"Ka--Kau?" Mama mertua Arion terbata-bata walau hanya mengucapkan satu kata saja. Lidahnya kelu karena tak percaya bahwa orang yang dinanti berpuluh-puluh tahun, akhirnya kembali bertemu di depan mata.

Arion tersenyum canggung, membungkuk sopan, lalu mencium tangan sang mertua. "Mami apa kabar?"

"Ada tamu kok bicara di luar. Masuklah kalian!" perintah pria berusia 88 tahun yang sebenarnya menyimak sedari tadi, lebih tepatnya sejak sang istri terkejut dengan sang tamu.

Tampaknya pertemuan tak pernah dilakukan selama puluhan tahun, membuahkan hasil hubungan canggung dan asing. Tak kesal apalagi kecewa, Arion telah dewasa dengan kesalahan yang fatal sehingga berakhir disebut tamu bukan menantu. Papa mertua Arion berjalan terlebih dahulu di depan, menuntun ke ruangan baginya cocok untuk berbincang. Melewati ruang tamu bertemakan etnik jawa, dengan langit-langit yang berukiran batik.

Bibi asisten rumah tangga yang tadi menyambut Arion telah kembali bekerja. Sehingga tak mengikuti langkah kaki mertua dengan menantu laki-laki, yang lagi-lagi telah melewati satu ruangan. Ruangan bertemakan modern tropis, dengan kedua sisi memadukan keindahan taman dan ketenangan air kolam renang. Dan di belakang taman memiliki lorong bergaya klasik Italia, sebelum duduk di ruang makan dan dapur berkonsep skandinavia.

Lelah berputar-putar menentukan ruang yang nyaman. Akhirnya Papa mertua Arion menemukan ruang yang menurutnya cukup. Ruang bertemakan klasik kolonial, dengan sisi kiri terdapat tangga penghubung lantai kedua menjadi pilihan. Arion tertegun dibuat salah paham. Ruangan ini adalah ruang keluarga, dimana ruang ini pernah terasa mencekam pada awal pernikahan.

"Apakah kau hanya akan terus berdiri?"

Sebatas sebaris kalimat yang tak genap sepuluh kata. Kalimat tersebut bak mantra menghipnotis keberanian. Arion duduk langsung berhadapan dengan Papa mertua. Sedangkan sang Mama mertua duduk di kursi tengah secara terpisah.

"Papi dan Mami apa kabar?" Arion bertanya guna berbasa-basi.

Papa dan Mama mertua Arion saling pandang melemparkan kode. Mama mertua Arion menepuk sisi sampingnya, mengode agar sang menantu berpindah ke sampingnya. "Kemarilah."

"Mari kita langsung saja, Ari. Apa alasan kau kemari? Ada hal apa yang hendak kau katakan?"

Menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali, Arion membasahi bibir tebalnya secara bergantian atas bawah. "Pa, apakah kalian memiliki anak bungsu? Kalian mengadopsi anak mirip dengan Azalea? Ada saudara yang sangat mirip dengan Azalea? Atau Mami mengandung setelah kematian Azalea?"

Bak potongan dialog dalam sinetron, dan mereka bertiga tengah dikelilingi kamera. Mama Papa mertua Arion kompak mengerutkan kening. Mama Azalea yang lebih dekat melampiaskan kegemarannya. Dia memukul kecil lengan berotot sang menantu.

"Kau ini... Tampaknya berita disebar orang-orang benar, Arion. Mami rasa kerja otakmu terganggu."

"Mam," tegur sang suami.

Papa Azalea menegakkan posisi punggungnya, menekuk kaki, lalu menatap Arion lekat-lekat. "Ada pertanyaan maka ada faktor penyebab bukan, Nak?"

"Saya mendapatkan mahasiswi semester baru, yang paras dan postur tubuhnya sangat duplikat mendiang Azalea."

Memang ruangan ini aman dan sunyi berbaur abstrak. Tetapi rasanya terdengar suara ledakan bom, atau pecahan kaca terbentur kerasnya ubin. Rahang sepasang manula (manusia lanjut usia)itu mengetat. Ntah mengapa otak ketiga penghuni ruang keluarga, secara kompak merasa ramai mengalahkan hiruk-pikuk ibu kota.

"Ka--Kau bercanda bukan?" Masih tak menyangka dan merasa konyol, Papa Azalea bertanya hingga terputus-putus.

"Maaf Pi, sayangnya saya bersungguh-sungguh."

Rahang mengetat itu berubah menjadi spontan meneguk ludah kasar. Kebetulan macam apa ini? Apakah Azalea berniat memberikan pengganti, sehingga merengek pada Sang Pencipta. Agar Sang Pencipta merakit Azalea dalam versi lebih muda, dan tanpa terikat keluarga walau seujung pun.

"Kau punya foto orang yang kau maksud itu?" tanya Mama Azalea.

Arion bergeming, menatap kosong langit-langit rumah, mengingat-ingat apakah galeri handphone-nya tersisih foto sang mahasiswi. "Pi, Mi, saya izin mengecek boleh?" Pertanyaan tersebut dibalas anggukan kepala kompak.

Tak ada musik, pasangan, dan bukan pula tubuh yang menari-nari, melainkan jemari Arion menari di layar mencari potret Azelina. Di W******p kosong karena gadis itu tak menggunakan profil. Di galeri pun galeri Arion hanya berisikan tumpukan foto pemandangan, dan lukisan museum kala dirinya merasa pening. I*******m menjadi opsi terakhir, kala tiba-tiba teringat bahwa Azelina adalah mahasiswi baru.

"V-i-e-r-a A-z-e-l-i-n-a C-l-a-r-i-s-s-a." Papa Azalea mengeja nama mahasiswi baru sang menantu, secara perlahan bahkan hingga per-huruf. Memang hanya selisih satu kata dengan abjad berbeda, tetapi dari segi nama pun menyerupai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status