Vivi berdiri sambil merapikan tasnya. “La, aku duluan ya. Taksi udah nunggu di depan.”Lala langsung menoleh cepat. “Hah? Kok bisa? Kapan kamu pesen taksinya? Tadi di truk kamu tidur pules, baru melek juga sekarang. Mana sempet pesen taksi?”Vivi sempat terdiam sepersekian detik, matanya bergerak gelisah sebelum cepat-cepat menjawab, “Oh, aku pesennya pas kita masih di gunung tadi.”Senyumnya muncul, tapi agak kikuk, lebih mirip orang habis bohong.Lala menatapnya dari atas sampai bawah dengan ekspresi nggak percaya. “Hilah, kamu tuh aneh banget. Masa pesen taksi dari gunung? Udah sana pulang. Hati-hati di jalan, istirahat yang bener ya, Vi.”“Iya, La.” Vivi mengangguk kecil. “Aku jalan dulu. Ketemu lagi Senin ya.”Lala hanya mengangkat tangan sambil mengangguk, masih heran, tapi malas memperpanjang.Vivi kemudian melangkah cepat menuju gerbang kampus. Matahari siang menyengat, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal
Vivi malas menanggapi celotehan Lala. Ia menunduk, menghabiskan suapan terakhir sarapannya tanpa komentar. Begitu kotaknya kosong, ia langsung bangkit dan berjalan cepat menuju tenda. Jaketnya yang tebal ia lepas satu, lalu disampirkan di ujung tas.“La, aku mandi duluan, ya,” ucapnya sambil membongkar perlengkapan mandi.“Heh, Vi, tunggu dulu!” Lala menyusul. “Kamu pasti ngambek gara-gara Pak Giorgio, kan?”Vivi mendengkus pendek tanpa menoleh. “Nggak, La. Lihat ini udah jam berapa? Udah setengah sembilan. Jam sembilan kita harus kumpul lagi.”Lala spontan melirik jam tangannya. “Eh, iya juga!” Ia buru-buru menyuap sisa sarapannya. “Tunggu aku habisin dulu sarapanku, Vi!”“Cepetan,” sahut Vivi sambil mengganti pakaian.Lala masuk ke dalam tenda menyambar baju ganti. Tak lama kemudian mereka berjalan menuju kamar mandi. Untungnya, antrean sudah tidak sepanjang pagi tadi.“Nah, lumayan kosong,” gumam Lala, senang.
Vivi merapatkan jaket pink berbahan lembut yang membungkus tubuhnya. Sentuhannya hangat dan nyaman, seakan dibuat khusus untuk menghalau dingin semacam ini. Semakin ia tarik resleting hingga leher, semakin yakin, ini pasti pemberian Giorgio. Ia tak tahu kapan pria itu memasukkannya ke dalam tas. Satu-satunya kemungkinan adalah saat ia tertidur di apartemen.Di dalam tenda, hanya ada suara napas dan bunyi gesekan sleeping bag. Lala baru saja duduk sambil mengucek mata, rambutnya masih acak-acakan.“La,” bisik Vivi sambil menatap pintu tenda yang tertutup rapat, “acara mulai jam enam kan? Di luar dingin banget. Kita di sini aja dulu ya?”Lala masih mengantuk, tapi mengangguk pelan. “Iya, Vi.”Tatapannya lalu jatuh ke jaket Vivi. Keningnya langsung berkerut. “Eh, Vi,itu jaket kamu? Aku baru lihat. Beli di mana?”Vivi refleks terdiam sepersekian detik, jantungnya berdebar. Ia buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk membetulkan tudung jaket.“Oh, ini.” Vivi berdeham sambil tersenyum
Tanpa banyak bicara, ia mendekat dan memeriksa keadaan. Tatapannya singkat ke arah panitia, lalu ke kaki Vivi.“Mana yang sakit?” tanyanya dengan tenang. Panitia menunjuk Vivi. “Kakinya terkilir sepertinya. Bawa ke tenda panitia aja biar dicek.”Giorgio berjongkok di depan Vivi. “Berdiri atau harus kupapah?”Vivi berniat menyangkal, tapi saat ia coba bangkit, kakinya kembali goyah. Giorgio langsung mengambil alih tanpa menunggu persetujuan.Dengan gerakan mantap, ia membelakangi Vivi sedikit. “Pegang bahu aku. Naik.”Vivi melotot refleks. “Hah? Nggak usah, aku bisa ja—”“Jangan banyak ngomong,” potong Giorgio dingin, nada suaranya tidak bisa dibantah.Akhirnya Vivi menaruh tangan di bahunya, perlahan menaiki punggungnya. Giorgio mengangkatnya dengan stabil seolah itu hal biasa.Lala terbengong. Beberapa peserta yang belum terlalu jauh ikut melirik, sebagian syok, sebagian mendadak bisik-bisik.
Langkah kaki itu terdengar jelas dan cepat, tapi berirama, seolah sesuatu atau seseorang sengaja mengikuti dari belakang.Cowok berkacamata langsung merapat ke Vivi, hampir menabrak punggungnya. “Vi, Vi, kamu denger, kan?”“Diem dulu,” bisik Vivi tanpa menoleh. Ia memusatkan pendengaran, menunggu bunyi itu datang lagi.Sunyi.Hanya suara daun bergesek karena angin.Cowok itu menahan napas, jari-jarinya mencengkram udara. “Tadi jelas ada yang jalan, sumpah.”“Kalau kamu makin berisik, yang jalan bisa lari ke arah kita,” balas Vivi lirih tapi ketus.Ia akhirnya melangkah maju dan meraih bendera kecil yang menggantung di tali jemuran seadanya. Talinya agak tinggi, jadi ia harus sedikit berjinjit. Cowok itu ikut sigap menahan tali supaya tak melambai.Begitu bendera diambil, suara terdengar lagi kali ini lebih dekat, seperti diinjak seseorang.Cowok itu langsung mendesis, “Ya Allah, Vi itu apaan?!”Vivi menarik napas, menoleh setengah dan berucap tenang tapi tajam, “Lari balik sekarang. J
“Kelompok tiga ke sini! Yang nama timnya Elang Hitam maju! Bersiap ke pos satu!” teriak salah satu panitia.Vivi dan Lala saling pandang. Mereka berada di kelompok yang sama. Lampu senter dinyalakan.Udara malam makin dingin, rumput mulai lembap, dan suara hutan terasa mendekat.Petualangan pos malam pun resmi dimulai.Kelompok Vivi dan Lala berdiri membentuk lingkaran kecil bersama anggota lainnya. Senter-senter dinyalakan, ada yang memakai headlamp, ada yang hanya mengandalkan flashlight HP.Seorang panitia mendekat sambil membawa clipboard. “Oke, kelompok Elang Hitam ya? Kalian mulai dari Pos 2 dulu, rutenya lewat jalur timur. Jangan pisah rombongan, jalan pelan, dan dengarkan instruksi di setiap pos, paham?”“Paaham!” jawab beberapa anggota dengan suara tidak serempak.Lala merapat ke Vivi sambil berbisik, “Aku deg-degan banget sumpah. Entar ada yang loncat-loncat nggak ya?”“Jangan lebay,” sahut Vivi p