Andini kembali menyimpan ponsel di nakas. Ia merasa puas setelah mengancam mantan suaminya itu. Wanita keras kepala itu berharap bisa membuat Erik takut dengan apa yang ia sampaikan.Wulan datang dengan segelas kopi. Ia menyodorkan satu untuk Andini yang masih sibuk dengan beberapa pekerjaannya.“Tadi kami bilang mau mengirimkan ancaman buat Erik?” tanya Wulan sembari mengambil kursi duduk di sebelahnya.“Iya. Sudah, kok. Aku pastikan dia ketakutan.” Andini menjawab dengan santai.“Kamu itu bodoh atau bagaimana, Ndin? Erik itu bukan pengangguran yang dulu kamu tinggal. Dia sekarang pemilik perusahaan, kamu ancam seperti ini, dia bisa melaporkan kamu dengan tuduhan ancaman. Kamu nggak takut di penjara?” Wulan mencoba mengingatkan Andini.Andini bergeming mendengar apa yang di katakan oleh Wulan. Ia memang tidak berpikir sampai sana karena di butakan oleh kecemburuan. Ia pun tidak bisa membayangkan jika dirinya masuk penjara.Lagi-lagi ia bergidik ngeri saat memikirkan jika Erik melapor
Andini begitu senang melihat sang anak datang ke rumahnya. Pukul 20.00 ia baru saja pulang lembur dari kantor. Ia melihat motor yang biasa Bian pakai terparkir di halaman rumahnya.“Nggak kabari mama kalau mau datang, kan mama bisa belanja dan masak untuk kamu,” ucap Andini.“Nggak usah repot-repot. Aku ke sini hanya sebentar.”“Lama juga nggak masalah, Sayang.”“Tolong jangan ganggu hubungan Papa, yang mama mau aku bahagia bukan?” Bian sengaja datang menemui Andini di rumahnya.Anak laki-laki itu tidak sengaja mendengar pembicaraan telepon sang nenek yang sedang berbicara dengan Erik. Tentang ancaman itu pun ia mendengarnya. Karena itu ia datang menemui Andini untuk memintanya tidak melakukan hal gegabah.“Apa Papamu yang meminta semua itu?” tanya Andini.“Bukan, aku sendiri yang mau. Selama ini Papa sudah banyak menderita, aku tahu semuanya. Perselingkuhan Mama, juga saat Mama meninggalkannya kala ia bangkrut.”Penuturan Bian membuat Andini syok. Ternyata, selama ini sang anak menge
Setelah sadar dari pingsan, kepala Ratna masih terasa sakit. Remang-remang ia melihat wajah Tama juga kedua orang tuanya. Tama memberikan segelas teh hangat dan membantu Ratna untuk meminumnya.“Kamu mau ke Dokter nggak, Na?” tanya sang ayah.“Nggak usah, Pa. Mungkin aku hanya kelelahan.” Ratna menjawab cepat, ia melirik ke arah Tama yang menatapnya tajam.Ratna tak mau ke mana-mana, ia hanya ingin di rumah saja. Perasannya masih kacau sama seperti saat sebelum pingsan tadi. Ia kembali berbicara pada sang ibu agar membuatkannya bubur karena ia lapar.Kepalanya masih pusing saat ia mencoba mengingat kalimat Tama yang membuatnya syok. Dirinya memang menang dan bisa menikah dengan Tama, tetapi hati pria itu masih utuh untuk Rinjani. Ia meremas dada yang tak kalah nyeri saat ia mengingatnya.Budi—ayah Ratna ke luar dari kamar menyusul istrinya ke dapur. Mereka kembali saling tatap mengingat keributan yang sempat mereka dengar. Kedua orang tua itu menarik napas bersamaan.“Mama nggak salah
“Mungkin mama salah tidak menceritakan dari awal. Tapi itu demi kebaikan kalian berdua, agar kalian tidak saling iri. Mama dan Papa hanya ingin kalian berpikir jika kalian berdua adalah saudara kandung.” Ibu Rinjani terduduk lesu menceritakan semuanya.“Aku selalu menganggap dia kakakku. Tapi dia saja yang selalu jahat, memang otaknya kotor, Ma.” Rinjani kembali menimpalinya.“Sudah, jangan seperti itu.”Rinjani bahkan tidak menyangka jika memang mereka bukan saudara kandung. Kedua orang tuanya selalu berlaku adil walau kadang terlihat jelas sang ibu lebih menyayangi Ratna. Mungkin karena itu Ratna berlaku seenaknya.“Aku akan cari kontrakan saja, Ma. Biar kalian pun tenang,” ujar Rinjani.“Tidak usah, kamu tetap di sini sampai kamu menikah. Setelah itu, kamu boleh pergi dengan suamimu.” Sang ibu menentang saat Rinjani akan keluar dari rumah.Rinjani menarik napas panjang, ia ingin mencurahkan semua isi hatinya. Ia lalu gegas pamit pada sang ibu untuk pergi. Erik belum menghubunginya,
Rinjani bergeming saat Pak Albert berada di depannya dengan mimik wajah kebingungan. Erik mengelus pundaknya dengan lembut seraya berbisik untuk tetap tenang menghadapi hal tak terduga.“Sayang, kamu sudah ada di sini ternyata.”Seorang wanita dengan dress merah menghampiri Pak Albert. Pria itu terlihat sangat kikuk saat wanita itu kini berada di sampingnya.“Bukannya kamu bilang nggak bisa datang ambil emasnya?” tanya Pak Albert.“Iya, aku sibuk. Tapi, ternyata bos aku cancel jadwal meeting, loh, Pak Erik ada di sini juga?” tanya Iren—wanita yang berada di samping Pak Albert.“Iya, Iren. Senang bertemu kamu di sini. Sedang apa?” Kini Erik yang aktif bertanya, sedangkan Rinjani sedang memutar otak berpikir wanita itu siapanya Pak Albert.“Oh, saya mau ambil pesanan. Cincin pernikahan kami, tadinya saya nggak bisa karena Pak Erik ada meeting, eh batal. Bersyukur saya bisa ke sini, iya, kan, Sayang?” Iren bertanya seraya menggandeng tangan Pak Albert.Rinjani tersenyum tipis mendengar p
Tama duduk terdiam di halaman. Ia kembali mengingat perkataan Ratna tentang pengakuan yang tak terduga. Sungguh semua di luar dugaan, ia pun bingung harus bagaimana dengan keadaan ini.Sepulang kerja Ratna mengajaknya berbicara hal yang penting. Ia menarik napas saat kembali mengingatnya.“Aku minta maaf telah menghancurkan hubungan kalian. Aku rela jika kamu kembali pada Rinjani,” ujar Ratna.Tiba-tiba saja hal yang mengejutkan itu terdengar. Ratna mengakui perbuatannya yang begitu rendah. Ia sudah mengakui semua, hidup tanpa cinta itu begitu menyakitkan apalagi sang suami masih memendam perasan pada kekasihnya.Lamunannya terhenti saat terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Rinjani terlihat ke luar dari mobil Erik, tapi pria itu tidak turun karena langsung pergi karena ada urusan penting. Tama menghampiri adik iparnya yang terlihat begitu lelah.“Kamu baru pulang?” tanya Tama.“Kelihatannya?” Rinjani enggan berbincang dengan Tama karena takut kembali menimbulkan permasalahan l
“Bu Rinjani, Pak kepala sekolah mau bicara dengan kamu dan Pak Albert untuk menyelesaikan masalah,” ucap Bu Ane.Rinjani sudah malas bertemu dengan Kepala sekolah. Ia cukup sakit hati ketika di tuding merayu Erik. Bahkan, ia merasa dirinya tak dihargai sebagai seorang bawahan. Ingin menolak, tetapi ia harus meluruskan semuanya.“Baik, saya ke sana.”Rinjani meninggalkan ruangannya menuju ruangan kepala sekolah. Wajahnya masam saat ia melihat sosok Albert pun berada di sana. Ia kembali harus menahan kekesalan melihat pria bermulut wanita. Seenaknya saja menyebarkan fitnah baginya.Pak Albert tak berani menatap Rinjani, ia hanya fokus pada pak kepala sekolah. Beberapa detik keheningan pun masih terasa sampai Pak kepala sekolah mulai membuka pembicaraan.“Hm, sebelumnya saya ingin meluruskan masalah yang sedang heboh di sekolah ini,” tutur pria plontos itu.“Meluruskan apa, Pak? Kalau meluruskan, sejak tadi bertanya baik-baik tidak dengan langsung menuduh saya,” cecar Rinjani.Pak kepala
“Kalian tidak bisa menjawab?” Bian kembali bertanya. “Papa jelaskan sama kamu, duduk dulu,” pinta Erik. Tidak lama, Erik menceritakan semuanya. Awal bertemu dengan Rinjani, sampai memulai sebuah hubungan baru karena memang merasa nyaman. Namun, Bian masih merasa aneh dengan keduanya. Seolah-olah masih ada yang di tutupi. “Jadi, kalian akan menikah tanpa cinta?” Lagi, Bian bertanya. “Awalnya, tapi semakin lama Papa mulai ada rasa. Jadi, Papa memutuskan memulai dari nol dengan Rinjani. “Saat tidak sengaja bertemu dengan mama kamu di sana. Reflek saat ada Rinjani, tanpa Papa mengaku pacarnya,” ujar Erik sembari tertawa mengingat kejadian saat itu. Rinjani pun sama, ia seakan teringat pertama kali mereka bertemu. Memang jodoh, mereka kembali dipertemukan.“Mama kamu datang bersama kekasih barunya. Papa tidak mau terlihat seperti belum move on atau jomblo ngenes seperti yang Andre selalu katakan. Eh, entah tangan ini malah menarik Rinjani dan memperkenalkan pada Mama kamu.”“Dan Mama