Share

Penyitaan Ponsel

Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.

Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.

Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.

“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau Omanya.” Rinjani kembali menggerutu sendiri.

Beberapa detik ia memperhatikan Bian, tetap saja anak itu tidak selesai mengotak-atik ponselnya. Dengan kekuatan bulan, Rinjani melempar sebuah penghapus papan tulis hingga tepat mengenai bahu Fabian.

“Masih sibuk sama ponselnya?” tanya Rinjani sembari menghampiri anak didiknya. 

Fabian mendongak lalu memamerkan deretan gigi putihnya. Lalu, ia menyimpan ponsel mahal miliknya ke tas. 

“Sudah, Bu. Untung saja penghapusnya nggak kena ponsel saya,” ujarnya santai.

“Kalau kena, bagaimana?” Rinjani kembali bertanya balik.

“Ya, kasihan sama Ibu, harus ganti. Kan, lumayan harganya, bisa dua atau tiga kali gaji Ibu.” Lagi, Fabian memamerkan deretan gigi putih plus lesung pipi yang membuat ia semakin tampan.

Rinjani merasa kesal mendengar penuturan Bian, ia langsung mengambil ponsel di tas anak itu. Sesekali ia akan memberikan pelajaran agar para siswa tidak bersikap sombong jika memang mereka terlahir dari keluarga berada.

“Tolong beri tahu ayah atau ibumu. Ponsel ini akan kembali jika salah satu dari kedua orang tuamu yang mengambil.” 

Bian melongok melihat ponselnya berpindah tangan. Beberapa siswa dan siswi pun menatap tidak percaya dengan tindakan yang Rinjani lakukan. Bian salah satu murid yang dikagumi banyak siswi di sekolah itu. Namun, akhir-akhir ini prestasi anak laki-laki itu sangat menurun. Begitu juga bidang yang lain, tetapi dalam bidang oleh raga tetap bertahan.

“Bi, serius ponsel lu disita sama Bu Jani?” tanya Edi—teman sebangku Bian.

“Lu liatnya bagaimana? Disita apa dipinjam?” Bian tak memedulikan Edi, ia kembali mengambil buku akuntansi dari tasnya. Kali ini ia mencoba fokus, tetapi tetap saja pikirannya kembali tidak bisa untuk tetap dalam pelajaran.

“Diambil, sih.” Edo terkikik.

Hal yang mengganggu pikirannya adalah sebuah foto yang dikirimkan sang ibu. Sosok pria di foto itu adalah Erik—ayahnya yang sedang berjalan bersama dengan wanita. Tetapi, sosok wajah sang wanita tidak terlihat. 

“Sial!” teriak Bian.

“Bian, kamu memaki saya?” tanya Rinjani.

“Bukan, Bu. Lagi PMS,” ujar Bian.

Seketika Jani mengerutkan kening. “Kamu PMS?”

“Iya, kepala saya lagi sakit jadi pikiran mumet sekali.”

Saat itu juga ruangan menjadi gaduh karena perkataan Bian. Rinjani menggebrak meja agar mereka semua kembali diam. Jujur saja, Rinjani saat itu ingin sekali tertawa mendengar murid laki-laki yang sangat dingin itu malah melawak di tengah-tengah jam pelajaran. Yang di maksud PMS itu bukan datang bulan, tetapi pikiran mumet sekali. 

“Sudah, buka buku kalian. Siapkan jurnal di buku masing-masing. Kita buat laporan kas yang saya ajarkan Minggu lalu.”

Terlihat wajah-wajah tidak siap dan juga beberapa yang menggerutu karena belum paham dengan jurnal pembukuan itu.

Rinjani mengambil sebuah ponsel di tas yang sejak tadi bergetar kencang. 

[Jan, nanti anter ke toko buku di mal ambas jam 16.00 GPL]

[Iya]

Rinjani kembali menaruh ponsel di tas, sekilas ia melihat ponsel mahal milik Bian. Biar saja pikirnya, nanti akan dikembalikan jika orang tuanya datang. Ia kembali mengajar dan melupakan sejenak masalah yang membuat kepalanya sakit.

***

 Fabian harus menelan kekecewaan karena yang dicarinya tidak ada. Ia kembali memantulkan bola basket ke ring, beberapa temannya sudah pulang tinggal dirinya yang mencari Rinjani di ruang guru ternyata sudah pulang.

Niat bernegosiasi untuk mengambil ponsel miliknya gagal. Ia terpaksa memutuskan untuk pulang ke rumah.

“Bian!” Serena berlari menghampirinya.

Anak laki-laki itu menatap teman perempuannya. Seperti biasa, pasti Serena akan meminta tumpangan ke rumahnya. Teman satu sekolah smp-nya itu memang sering seperti itu.

Bahkan, Serena sering menjadi sasaran cewek-cewek satu sekolah yang menyukai Bian.

“Aku telepon nggak di angkat, di W* apalagi, sibuk benar?” Sembari mengerucurkan bibir, Serena terus menyelidik ke arah Bian.

“Sibuk bagaimana? Ponselku disita Bu Rinjani tadi. Ini aja aku lagi nyari dia, tapi katanya sudah pulang.”

“Eh, kenapa? Kok di sita?”

Bian hanya mengangkat bahu, setelah itu ia kembali melangkah ke halaman parkir sekolah. Sementara, Serena terus mengikuti ke mana langkah Bian berjalan. Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya setelah ia sadar Serena masih mengikutinya.

“Kamu nggak kapok?” tanya Bian.

“Kapok apa?”

“Setelah aku antar pulang, besok pagi kamu sudah di bully atau bisa jadi kamu terkunci lagi di toilet sekolah. Kalau sudah seperti itu, bikin susah aku.” Bian mengeluh jika mengingat saat Serena sering sekali dilabrak beberapa cewek di sekolah.

“Kamu lebih tega biarin aku jalan sendirian di jalan? Kalau aku di culik, bagaimana?” tanyanya.

“Mana ada yang mau menculik, mau menebus pakai apa? Pulang naik angkot aja nggak ada uang, kan?”

Serena bergeming, memang benar, untuk pulang saja ia tak memiliki uang. Apa yang dicari penculik darinya? Hanya dengan bekal percaya diri bisa akrab dengan Bian, ia langsung duduk di atas motor besar teman satu sekolahnya itu.

“Turun!” teriak Bian.

“Nggak!”

Bian mengusap wajah kasar, melihat tingkah Serena yang tidak bisa ia hentikan.

“Kalau kamu ada apa-apa, aku nggak bisa menolong. Aku nggak bisa 24 jam sama kamu!”

“Maksud kamu apa? Kau mencemaskan aku, Bian?”

Sekujur tubuh Bian keringat dingin saat manik mata Serena terus menatapnya. Sudah berulang kali ia menepis jika tidak ada rasa dengan gadis menyebalkan di depannya. Namun, tetap saja ia terus mengikutinya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Metty Andriana
katanya gratis tapi harus beli koin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status