Home / Romansa / Drama Cinta Sang Duda / Penyitaan Ponsel

Share

Penyitaan Ponsel

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2022-06-12 00:14:42

Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.

Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.

Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.

“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau Omanya.” Rinjani kembali menggerutu sendiri.

Beberapa detik ia memperhatikan Bian, tetap saja anak itu tidak selesai mengotak-atik ponselnya. Dengan kekuatan bulan, Rinjani melempar sebuah penghapus papan tulis hingga tepat mengenai bahu Fabian.

“Masih sibuk sama ponselnya?” tanya Rinjani sembari menghampiri anak didiknya. 

Fabian mendongak lalu memamerkan deretan gigi putihnya. Lalu, ia menyimpan ponsel mahal miliknya ke tas. 

“Sudah, Bu. Untung saja penghapusnya nggak kena ponsel saya,” ujarnya santai.

“Kalau kena, bagaimana?” Rinjani kembali bertanya balik.

“Ya, kasihan sama Ibu, harus ganti. Kan, lumayan harganya, bisa dua atau tiga kali gaji Ibu.” Lagi, Fabian memamerkan deretan gigi putih plus lesung pipi yang membuat ia semakin tampan.

Rinjani merasa kesal mendengar penuturan Bian, ia langsung mengambil ponsel di tas anak itu. Sesekali ia akan memberikan pelajaran agar para siswa tidak bersikap sombong jika memang mereka terlahir dari keluarga berada.

“Tolong beri tahu ayah atau ibumu. Ponsel ini akan kembali jika salah satu dari kedua orang tuamu yang mengambil.” 

Bian melongok melihat ponselnya berpindah tangan. Beberapa siswa dan siswi pun menatap tidak percaya dengan tindakan yang Rinjani lakukan. Bian salah satu murid yang dikagumi banyak siswi di sekolah itu. Namun, akhir-akhir ini prestasi anak laki-laki itu sangat menurun. Begitu juga bidang yang lain, tetapi dalam bidang oleh raga tetap bertahan.

“Bi, serius ponsel lu disita sama Bu Jani?” tanya Edi—teman sebangku Bian.

“Lu liatnya bagaimana? Disita apa dipinjam?” Bian tak memedulikan Edi, ia kembali mengambil buku akuntansi dari tasnya. Kali ini ia mencoba fokus, tetapi tetap saja pikirannya kembali tidak bisa untuk tetap dalam pelajaran.

“Diambil, sih.” Edo terkikik.

Hal yang mengganggu pikirannya adalah sebuah foto yang dikirimkan sang ibu. Sosok pria di foto itu adalah Erik—ayahnya yang sedang berjalan bersama dengan wanita. Tetapi, sosok wajah sang wanita tidak terlihat. 

“Sial!” teriak Bian.

“Bian, kamu memaki saya?” tanya Rinjani.

“Bukan, Bu. Lagi PMS,” ujar Bian.

Seketika Jani mengerutkan kening. “Kamu PMS?”

“Iya, kepala saya lagi sakit jadi pikiran mumet sekali.”

Saat itu juga ruangan menjadi gaduh karena perkataan Bian. Rinjani menggebrak meja agar mereka semua kembali diam. Jujur saja, Rinjani saat itu ingin sekali tertawa mendengar murid laki-laki yang sangat dingin itu malah melawak di tengah-tengah jam pelajaran. Yang di maksud PMS itu bukan datang bulan, tetapi pikiran mumet sekali. 

“Sudah, buka buku kalian. Siapkan jurnal di buku masing-masing. Kita buat laporan kas yang saya ajarkan Minggu lalu.”

Terlihat wajah-wajah tidak siap dan juga beberapa yang menggerutu karena belum paham dengan jurnal pembukuan itu.

Rinjani mengambil sebuah ponsel di tas yang sejak tadi bergetar kencang. 

[Jan, nanti anter ke toko buku di mal ambas jam 16.00 GPL]

[Iya]

Rinjani kembali menaruh ponsel di tas, sekilas ia melihat ponsel mahal milik Bian. Biar saja pikirnya, nanti akan dikembalikan jika orang tuanya datang. Ia kembali mengajar dan melupakan sejenak masalah yang membuat kepalanya sakit.

***

 Fabian harus menelan kekecewaan karena yang dicarinya tidak ada. Ia kembali memantulkan bola basket ke ring, beberapa temannya sudah pulang tinggal dirinya yang mencari Rinjani di ruang guru ternyata sudah pulang.

Niat bernegosiasi untuk mengambil ponsel miliknya gagal. Ia terpaksa memutuskan untuk pulang ke rumah.

“Bian!” Serena berlari menghampirinya.

Anak laki-laki itu menatap teman perempuannya. Seperti biasa, pasti Serena akan meminta tumpangan ke rumahnya. Teman satu sekolah smp-nya itu memang sering seperti itu.

Bahkan, Serena sering menjadi sasaran cewek-cewek satu sekolah yang menyukai Bian.

“Aku telepon nggak di angkat, di W* apalagi, sibuk benar?” Sembari mengerucurkan bibir, Serena terus menyelidik ke arah Bian.

“Sibuk bagaimana? Ponselku disita Bu Rinjani tadi. Ini aja aku lagi nyari dia, tapi katanya sudah pulang.”

“Eh, kenapa? Kok di sita?”

Bian hanya mengangkat bahu, setelah itu ia kembali melangkah ke halaman parkir sekolah. Sementara, Serena terus mengikuti ke mana langkah Bian berjalan. Anak laki-laki itu menghentikan langkahnya setelah ia sadar Serena masih mengikutinya.

“Kamu nggak kapok?” tanya Bian.

“Kapok apa?”

“Setelah aku antar pulang, besok pagi kamu sudah di bully atau bisa jadi kamu terkunci lagi di toilet sekolah. Kalau sudah seperti itu, bikin susah aku.” Bian mengeluh jika mengingat saat Serena sering sekali dilabrak beberapa cewek di sekolah.

“Kamu lebih tega biarin aku jalan sendirian di jalan? Kalau aku di culik, bagaimana?” tanyanya.

“Mana ada yang mau menculik, mau menebus pakai apa? Pulang naik angkot aja nggak ada uang, kan?”

Serena bergeming, memang benar, untuk pulang saja ia tak memiliki uang. Apa yang dicari penculik darinya? Hanya dengan bekal percaya diri bisa akrab dengan Bian, ia langsung duduk di atas motor besar teman satu sekolahnya itu.

“Turun!” teriak Bian.

“Nggak!”

Bian mengusap wajah kasar, melihat tingkah Serena yang tidak bisa ia hentikan.

“Kalau kamu ada apa-apa, aku nggak bisa menolong. Aku nggak bisa 24 jam sama kamu!”

“Maksud kamu apa? Kau mencemaskan aku, Bian?”

Sekujur tubuh Bian keringat dingin saat manik mata Serena terus menatapnya. Sudah berulang kali ia menepis jika tidak ada rasa dengan gadis menyebalkan di depannya. Namun, tetap saja ia terus mengikutinya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Metty Andriana
katanya gratis tapi harus beli koin
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Drama Cinta Sang Duda   Akhir Yang Indah

    Sebulan sudah permasalahan itu berlalu. Rinjani pun sudah tidak begitu memikirkan tentang masalah itu lagi. Wanita cantik itu lebih memilih fokus untuk mengurus kehidupannya sendiri serta keluarga kecilnya. Dia juga sangat menjaga dirinya bahkan jarang dan hampir tidak pernah bertemu dengan Tama. Dia ingin menjaga hubungannya dengan Erik dan Ratna. Tidak ingin ada kesalahpahaman yang akan membuat kakaknya ataupun suaminya kembali marah dan berpikiran buruk tentangnya. Rinjani sama sekali tidak merasa marah dan keberatan jika pada kenyataannya kakaknya itu masih menyimpan rasa dendam atau apa pun itu pada dirinya. Yang terpenting bagi dirinya saat ini adalah kehidupannya dan juga dirinya yang sudah semaksimal mungkin menjauhi segala sesuatu yang bisa menimbulkan semua kesalahpahaman itu sendiri. Namun, hal tidak terduga terjadi. Ratna kini, sudah mulai berbicara lagi padanya. Dan Rinjani sangat bersyukur akan hal itu. Sepertinya kakaknya itu sudah memaafkan dirinya. D

  • Drama Cinta Sang Duda   Mengalah

    Ratna dan Rinjani masih berdebat sengit. Kedua wanita cantik itu sama sekali tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama ingin menang sendiri. Memenangkan pertengkaran itu dan tidak ada yang ingin disalahkan. Rinjani merasa dirinya yang paling benar. Begitu pun sebaliknya. Ratna merasa hal yang sama. Hingga ayah mereka masuk ke ruangan Ratna. Laki-laki paruh baya itu menghela napas sejenak sebelum mendekat ke arah anak-anaknya itu. Setelah itu, ayah Rinjani mendekat dan mencoba melerai pertengkaran kedua anaknya itu. Rinjani dan Ratna pun hanya terdiam membisu. Pertengkaran yang tadi memanas kini hilang sudah, terganti dengan keterdiaman. Ayah Rinjani yang melihat itu pun mengembuskan napas lega. Setelahnya, laki-laki paruh baya itu berjalan menuju sofa yang ada di ruang rawat Ratna dan mendudukkan diri di sana. Sementara itu Rinjani masih berada di samping sang kakak. Rinjani menatap ke arah ayahnya, setelah itu mendekat pada Ratna yang terbaring di ranjang dan b

  • Drama Cinta Sang Duda   Perdebatan Sengit

    Perdebatan SengitSuasana antara Rinjani dan Erik menjadi canggung. Erik masih saja diam, sedangkan Rinjani masih menyiapkan hatinya untuk kembali berbicara. Membicarakan masalah Tama. Seseorang yang menjadi sumber masalah di antara keduanya sekarang ini. Bukan apa, Rinjani hanya ingin agar masalah ini cepat selesai dan tidak berlarut-larut. Rinjani tidak mau jika kesalahpahaman yang kecil ini akan menjadi bumerang dalam rumah tangganya dan berakhir dengan adanya masalah yang lebih besar di rumah tangganya nanti. Hanya itu yanh Rinjani inginkan dan juga pikirkan.Apalagi tidak baik jika seorang istri dan suami saling memendam kemarahan. Itu yang selalu Rinjani ingat dari ibunya. Wanita tak bersayapnya, Rinjani banyak belajar tentang bagaimana menjadi seorang istri dan juga ibu yang baik pada ibunya.“Mas, aku minta maaf kalau memang ini semua bikin kamu marah. Tapi ini Cuma kesalahpahaman dan aku gak mau kalau kita bertengkar hanya karena masalah sepele ini,” ujar Rinjani.Namun, masi

  • Drama Cinta Sang Duda   Gantian Erik Cemburu

    Ratna langsung beringsut ke arah Tama, suaminya. Tama yang tidak mengerti dengan tingkah istrinya yang terlihat aneh hanya diam dan menurut saat istrinya itu menariknya menuju kamar mereka.Sesampainya di kamar, Ratna menghempaskan tangan Tama dengan sedikit kasar. Kekesalan memenuhi pikirannya. Melihat suaminya dan asiknya datang bersamaan dan berada di dalam mobil yang sama membuat Ratna tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.Baru saja kemarin dirinya berdamai dengan dirinya sendiri dan mulai meyakinkan jika Tama dan Rinjani tidak memiliki hubungan apa pun. Namun, hari ini semua usahanya gagal hanya karena melihat suaminya dan adiknya datang bersama. Tak hanya itu, tadi dirinya juga sempat melihat keduanya berbincang dan saling berbalas senyum. Itu semakin menambah kecemburuannya.“Kamu kenapa sih, Ratna?” tanya Tama yang sedang dilanda kebingungan karena sikap istrinya yang tiba-tiba berubah.Napas Ratna tidak teratur, kedua bahunya naik turun akibat kesal.“Kamu masih tanya aku k

  • Drama Cinta Sang Duda   Kecemburuan Ratna

    Pagi ini, Bian, anak Erik sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Namun, hal itu membuat Erik bertanya-tanya saat melihatnya. Karena hal tersebut adalah hal yang sangat jarang dilakukan oleh Bian. Biasanya anak itu akan lebih memilih tidur dan bersantai di rumah bukan pergi dan keluar bersama teman-temannya. Bian lebih suka berada di rumah daripada di luar.“Kamu mau ke mana, Bi?” tanya Erik yang duduk di kursi kayu dengan koran yang ada di tangannya. Kebiasaan Erik setiap pagi sebelum pergi ke kantor adalah membaca koran, tak lupa ditemani oleh secangkir teh lemon.Bian yang mendengar pertanyaan Erik, ikut mendudukkan diri di kursi tempat Erik duduk.“Mau ketemu Mama, Pa,” jawab Bian.Perkataan Bian membuat Erik terkejut. Untuk apa Bian bertemu Andini? Itu yang ada di pikiran Erik. Ya, Mama yang dimaksud Bian adalah Andini, ibu kandungnya.Erik meletakkan korannya dengan sedikit kasar, lalu menatap Bian penuh selidik.“Mau apa bertemu dia?” tanya Erik.“Entah, Mama Cuma bilang mau ketem

  • Drama Cinta Sang Duda   Emosi Yang Belum Reda

    Pukul lima sore, Erik keluar dari kantor. Dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Kekesalan masih menguasai dirinya. Erik sudah tidak sabar ingin segera sampai di rumah.Sesampainya di rumah, Erik mengetuk pintu. Rinjani yang mendengar pintu diketuk pun tergopoh-gopoh menghampiri dan membukanya. Di sana, Erik suaminya datang, wajahnya kusut. Dengan terheran-heran, Rinjani mengajak Erik untuk segera masuk ke dalam.“Duduk dulu, Mas,” ujar Rinjani. Erik menurut dan duduk di sofa. Dirinya pun melepas sepatu yang dipakainya dan meletakkannya di rak yang berada tepat di samping ruangan itu.Tak berapa lama, Rinjani kembali dengan nampan dan juga segelas minuman dingin. Rinjani meletakkannya di meja, setelahnya dirinya mendudukkan dirinya di sofa sebelah Erik duduk.“Minum dulu, Mas,” kata Rinjani. Erik pun segera mengambil gelas itu dan meneguk isinya hingga tandas. Tak bisa Erik mungkiri jika setelah minum, hatinya terasa jauh lebih tenang.Erik menyandarkan punggung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status