Senin pagi yang cerah, hawa sejuk terasa sangat nyaman di seluruh kulit dan tubuh Rose. Baginya ini adalah pagi yang indah seperti biasanya, tidak ada kesukaran, tidak ada kebimbangan, semua hal menjadi indah di mata cantiknya. "Selamat pagi, kamu" ucap Rose pelan sambil menatap foto seorang lelaki tampan di meja belajarnya. Ucapan selamat pagi yang selalu ia sampaikan pada seseorang yang jauh disana tanpa disadari oleh sang pujaan hati, melihat wajah dan senyumnya saja sudah cukup bagi Rose. "Uuugh.." erang Vic yang tidur di bednya, hari sudah pagi tapi Vic masih setia memejamkan matanya. Biasanya, Rose yang bangun paling pagi lalu pergi ke kamar mandi lebih dulu lalu dia akan bersiap-siap memakai seragam sekolah dan membangunkan sahabat sekaligus rekan sekamarnya. "Vic, ayo bangun. Nanti kamu terlambat loh" ucap Rose sambil membetulkan dasi pita di kerah bajunya.
Namaku adalah White Rose, aku putri tunggal dari pasangan Kelvin White dan Johanna Taylor. Ayahku bekerja sebagai Kepala Manager di sebuah perusahaan pertambangan emas besar milik keluarga Phantom. Ibuku seorang ibu rumah tangga dan bertugas merawatku. Meskipun ayah sangat sibuk, beliau akan mengabaikan pekerjaan saat sedang berkumpul dengan keluarga kecil kami. Orang bilang wajahku benar-benar mirip dengan ibu yang berdarah Asia,&
Rose POV bagian 1 “Hmm, apa sudah sempurna ya?” Kata seorang gadis cantik berambut pirang di depan cermin kamarnya, beberapa kali gadis itu masih merapikan tatanan rambutnya dan baju yang ia kenakan. Ia memutar-mutar tubuhnya di depan cermin berkali-kali sampai ia tidak menyadari kalau jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh pagi. Tiin.. tiin..
Rose POV Bagian 2 “Jaga diri baik-baik, sayang” pesan ibuku saat mobil kesayangan milik ayah sudah sampai di depan gedung sekolah. “Pasti, Rose sayang ayah dan ibu” “Ayah bakal kangen banget sama princessnya ayah” ucap ayah dengan mimik wajah sengaja mengerut sedih. “Hahaha, Rose akan hubungi kalian setiap hari” ucapku lalu mengecup pipi kedua orangtuaku. Aku melambaikan tangan pada mobil kedua orangtuaku yang melaju semakin jauh dari pandanganku, mereka tidak langsung pulang tapi seperti yang kalian tahu mereka mengantar barang-barangku ke asrama. Rumahku memang masih satu kota dengan sekolah tapi perjalanan dari rumah ke sekolah membutuhkan waktu satu jam. Akhirnya ayah menerima keputusanku untuk tinggal di asrama sekolah, bukan karena aku ingin membangkang tapi aku tidak tega meminta ayahku yang super sibuk mengantarkan aku ke sekolah setiap hari. Di asrama aku bisa mendapatkan banyak teman dan juga belajar hidup mandiri. “ROSE!” teriak seorang gadis dari arah belaka
“Nico” panggilku pelan. “Ya?” “Apa tidak sebaiknya kita langsung masuk kelas saja?” saranku pelan saat kami hampir sampai di parkiran motor. “Kamu mau ke kelas aja? Ayo deh balik!” Nicolas berbalik arah menuju kelas kami. “Nico!” sapaan dari suara lembut ini menghentikan langkah Nicolas. Seseorang berjalan dari arah parkiran sekolah mendekati kami, senyumnya mengembang sempurna saat melihatku. Jujur saja aku tidak bisa memutuskan harus tersenyum atau tetap memasang wajah tegang seperti ini. Senyumnya sungguh melelehan hatiku. “Pagi Rose” sapanya hangat. “Selamat pagi, Daniel” jawabku tersipu malu. Namanya Daniel Carter, dia adalah anak tunggal dari pemilik Carter’s Hospital. Ayahnya pemimpin tertinggi di rumah sakit, tentu saja Daniel sudah di gadang menjadi pewaris sejati usaha keluarganya. Daniel memiliki penampilan yang sangat menawan, mata biru tua lembut dengan rambut putih keabu-abuan penampilan yang sangat mirip dengan ayahnya. Daniel memiliki sifat ya
“Selamat pagi” sapanya ramah. “Pagi Robbin” jawabku pelan. “Robbin, aduuh aku kangen berat sama kamu” Shella memeluk tubuh Robbin erat. “Bagaimana kabar kalian?” tanya Robbin menahan sakit akibat pelukan maut Shella. “Aku dan lainnya baik-baik saja, kamu bagaimana?” tanyaku ganti. Sebenarnya aku duduk sebangku dengan Vic lalu Robbin dan Shella duduk di belakang kami. Jika dilihat-lihat tempatku sangat dekat dengan Daniel, sedari awal masuk SMP letak duduk kami tidak pernah berubah karena inilah posisi ternyaman bagi kami. Ku lirik sebelahku terdapat Daniel sedang asyik ngobrol dan bercanda dengan Sam dan Leo. Sedangkan Nicky, dia masih tersiksa dengan ulah manja Vic. “Seperti yang sudah aku infokan pada kalian, aku berhasil meraih juara pertama dari lomba Sains dengan murid dari Amsterdam” jawabnya santai. “Waah hebat, jadi selama liburan lalu kamu..” Shella tidak melanjutkan ucapannya. “Aku tidak sendiri. Mrs Caroline memasangkan aku dengan Frans” “Setiap
“Huh, ..!! Mareka lagi, wajah-wajah paling menjijikkan yang pernah ku temui!”Brakk,.. salah seorang dari mereka menendang meja tempat Daniel duduk.Kyaaa… kyaaaa… teriakan ketakutan para gadis di kelas makin membuat suasana makin mencekam.“Hei, hei Ben, bisa sopan sedikit nggak sih? Baru datang sudah bikin ribut!” kata Nicky kesal.“Diam kau, pecundang! Urus saja penyihir di depanmu itu!” kata salah seorang yang memiliki badan paling besar dari mereka sambil memandang jijik pada kelakuan Vic yang masih duduk di pangkuan Nicky.“Vic, kamu sini” Shella akhirnya menarik tangan Vic pelan agar menjauh dari Nicky, kami sangat paham karena mereka akan berkelahi lagi.“Kalian yang seharusnya lebih sopan, apa kalian tidak sadar ini masih hari pertama masuk sekolah?” ujar Franklin kesal. Seseorang yang memiliki badan lebih besar tadi menarik kerah baju Franklin dan memberinya tatapan marah.“Aku gak butuh nasehat kamu, kutu busuk!” ujarnya. “Mavin, cepat lepaskan dia” sergah Leo menarik ta
Pagi ini sangat cerah, beberapa awan nampak bergumul indah menghiasi birunya langit. Suasana sekolah yang harusnya tenang mendadak ramai karena hari ini masa orientasi siswa baru. Beberapa anak dengan seragam sekolah lama masih berkeliaran melihat-lihat isi sekolah baru mereka. Frans selaku ketua OSIS terlihat sangat sibuk memberikan arahan pada anggota OSIS lainnya. Ia berjalan kesana kemari sebelum upacara sambutan Ketua Umum sekolah ini berlangsung. “Frans, acara akan segera dimulai” kata seorang anggotanya. “Rose, arahkan para murid baru untuk segera berkumpul” pinta Frans. “Baiklah” Rose kebagian menjadi petugas kesehata bersama Vic berada di garda terdepan. Rose segera naik ke atas panggung di tengah lapangan untuk memberikan perintah sedangkan rekan OSIS lainnya terlihat kerepotan untuk menyiapkan acara berikutnya. Hampir semua murid baru sudah berkumpul di lapangan, beberapa lagi masih sibuk dengan urusan masing-masing. “Cih, merepotkan” ujar seorang murid bar