Semenjak menjadi orangtua tunggal, Zefanya memiliki kebiasaan baru yang tidak dia lakukan semenjak remaja yaitu mudah terbangun di jam tertentu yang dia inginkan. Termasuk pagi ini.
Sinar mentari bahkan belum muncul dari tempat peraduannya saat Zefanya bangun dari atas tempat tidurnya.
Dia menoleh ke arah samping kanan ranjang, tempat di mana putranya masih tertidur lelap.
Entah harus merasa bersyukur atau sedih. Ketika menatap wajah bayi Anze untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa Anze sangat mirip dengan wajah Zefanya. Hanya rambut dan postur tulang Anze yang mirip dengan Andrew.
"Ma..." panggil Anze menggeliat tubuhnya dengan mata terbuka lebar.
Karena melamun, Zefanya tidak menyadari bahwa anak lelakinya sudah bangun tidur.
"Selamat pagi, Anze-nya Mama Zeya. Tumben kamu bangun sendiri tanpa dibangunkan Mama atau Nanny," Zeya menunduk untuk mengecup pipi tembab Anze.
Anze tersipu malu mendengar sindiran Mama Zeya. Anak kecil itu tahu kalau Mama Zeya sering kesal karena Anze malas bangun pagi.
"Anze tidak bisa tidur semalaman, Mama. Anze kangen rumah," Rengek Anze mendusel di dada Zeya.
#Bukan hanya kamu yang tidak bisa terlelap, Nak. Mama juga#
Zefanya mengusap kepala anaknya dengan rasa sayang. Menyalurkan kasih sayangnya melalui usapan.
Anze mendekap pingang Mama Zeya dengan erat, menduselkan wajahnya di dada sang mama.
Zefanya baru saja kehilangan pekerjaan tetapnya di Jakarta jadi dia hanya bisa menyewa kamar hotel termurah di wilayah Dallas.
Mata Zefanya menatap ke sekeliling interior kamar hotel tempatnya menginap. Memang terlihat kusam dan kumuh. Cat dinding yang terlihat mengelupas. Pendingin ruangan yang tidak berfungsi baik, serta kasur yang kasar. Tapi setidaknya Anze tidak mengeluh dengan keadaan kamar ini. Zefanya sengaja memilih kamar ini untuk menginap selama tiga malam karena masih bisa terjangkau oleh uang Zefanya.
"Mama mandi duluan ya. Kamu bisa berbaring lagi. Nanti kalau mama sudah selesai, mama akan membangunkan Anze," Zeya membaringkan tubuh anak lelakinya kembali ke atas ranjang.Anze mengangguk dan memejamkan matanya kembali.
&√&√&
Zefanya bersama Anze tiba tepat waktu bersamaan dengan kehadiran keluarga besar papa Anna yang ternyata baru tiba juga di lokasi krematorium. Sebuah gedung luas yang terletak dekat dengan laut, dipergunakan untuk membakar tubuh jenazah yang sudah meninggal.
Makna dari kremasi itu sendiri adalah untuk menjadikan tubuh manusia menjadi abu dan abu tersebut dilarung ke laut lepas.
*Manusia terbuat dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu*
Mereka semua memang menganut agama katolik dan agama mereka pun tak melarang umat katolik untuk mengkremasikan tubuh orang yang telah berpulang.
Zefanya memilih untuk berdiri di sudut ruangan. Tertutup oleh tiang putih besar yang diperuntukkan untuk menyangga bangunan.
Baik Zefanya dan Anze kompak memakai kemeja putih dipadukan dengan celana hitam. Kedua ibu dan anak itu juga memakai kacamata hitam.
"Ma, kenapa kita tidak menghampiri Grandpa?" Tanya Anze mengamati orang-orang di sekitar aula.
Sebut saja Zefanya sebagai sosok pengecut. Zefanya tidak disukai oleh keluarga besar sang papa. Bahkan papa kandung Zefanya pun tidak begitu peduli pada Zefanya. Zefanya hanya takut merasakan kembali perasaan tertolak.
"Mereka tidak mengharapkan kehadiran kita, Anze," Mata Zefanya masih mengamati prosesi acara pelepasan jenazah.
Di dekat peti mati, nampak terlihat mama tiri Zeya bersama adik-adik papanya. Zeya masih belum melihat sosok Anna di area aula ini.
"Lalu untuk apa kita datang kemari jika kita tidak diinginkan, Mama."
Pertanyaan Anze memang terdengar masuk akal bahkan Zefanya bangga bahwa anak lelakinya paham dengan makna ucapannya.
Saat Zefanya hendak menjawab pernyataan Anze, sepasang manusia melewati tempat mereka berdiri.
Kedua orang itu tidak menyadari keberadaan Zeya dan Anze di sisi lain tiang.
Dua orang tersebut saling berangkulan. Tangan si pria berada di pinggang si wanita sementara tangan si wanita menggenggam tangan si pria yang melingkari pinggangnya.
Dua sosok yang Zeya tunggu akhirnya muncul di tempat ini.
"Bukankah itu aunty Anna. Apakah itu suami baru aunty Anna. Kita hampiri aunty Anna yuk," Anze meraih jemari tangan Zeya. Berusaha menarik Zeya agar bergerak dari posisi mereka saat ini.
Namun Zeya bergeming. Dia memaku tubuhnya agar tetap diam di tempat.
#Mama tidak mau Nak# Ingin rasanya Zeya memekik kencang saat menghadapi dilema seperti ini.
"Mama tidak mau Nak. Kita tetap di sini saja," Ucap Zeya terdengar tegas.Anze pun tetap tidak mengerti mengapa Mama Zeya menghindari Aunty Anna. Anze selama hidupnya mengenal Aunty Anna-nya sebagai sosok bibi yang baik hati.
"Ayo Ma." Anze menarik-narik tangan Zeya.
"Don't do this Anze," Zeya menyentak jemari tangannya hingga terlepas dari genggaman Anze.
"What's happen with you, Mama?" Airmata Anze mulai mengalir turun di pipi tembabnya.
Zeya yang berhati lemah pun tidak tega melihat Anze menangis karena dibentak olehnya.
Zeya pun turut ikut menangis.
"Maafin Mama karena kali ini mama belum bisa memenuhi permintaanmu," Zeya merangkul pundak putranya.
Seharusnya Zeya mengikuti prosesi pembakaran jenazah sang papa hingga usai namun melihat kondisi Anze yang dilanda kesedihan, Zeya memutuskan untuk meninggalkan tempat krematorium saat ini.
Tidak ingin semakin sakit hati melihat kedekatan Anna dengan Andrew, Zeya tidak menoleh kembali ke arah balik punggungnya.
Sementara itu, Andrew mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mencari sosok Zefanya. Wanita yang pernah dia sakiti di masa kuliahnya. Kakak dari Anna. Anak perempuan pertama dari almarhum. Namun Andrew tidak menemukan sosok Zefanya di antara para pelayat.
Ketika dia menoleh ke arah pintu, dia menatap terpaku punggung seorang wanita sedang bergandengan tangan dengan anak lelaki kecil berjalan keluar dari aula krematorium.
Andrew merasa mengenal akrab punggung wanita itu, tapi dia tidak memiliki keberanian untuk mengejar wanita itu. Dia takut kecewa lagi bila mendapati bahwa wanita itu ternyata bukan sosok Zefanya yang dia cari.
#Lagipula Zefanya belum menikah. Tidak mungkin wanita itu Zeya-ku# Pikir Andrew.
"Kamu kenapa Drew?" Bisik Anna yang berdiri di samping Andrew.
"Aku tidak menemukan Zeya di antara para pelayat," Andrew ikut medekatkan tubuhnya agar dapat berbisik dengan Anna.
"Kak Zeya pasti datang. Dia sudah berada di Dallas sejak kemarin."
Ucapan Anna membuat Andrew menyadari bahwa kemungkinan itu ada.
Kemungkinan bahwa wanita yang dia lihat tadi itu adalah Zeya-nya.
Andrew berlari keluar bagai kesetanan. Anna hanya menatap bingung melihat tingkah aneh Andrew. Anna tidak ingin mengejar Andrew. Anna memilih tetap berdiri di posisinya untuk melihat prosesi kremasi.
Setelah berada di luar gedung sampai memutari lahan parkir, Andrew tidak menemukan sosok wanita bersama anak kecil.
Andrew kembali berlari, kali ini dia menuju ke arah depan gerbang gedung. Sayangnya Andrew terlambat lima menit karena Zeya bersama Anze sudah pergi menumpang taksi.
"Zeya...." Pekik Andrew berdiri di depan gedung terlihat frustrasi.
&√&√&
"Maaf Anna. Kakak sudah ada janji dengan Anze besok siang. Kami sudah berencana pergi ke kebun binatang," Dusta Zeya menyebut tempat rekreasi yang tidak disukai oleh Anna.Saat Anna menghubungi Zeya sore ini, suasana hati Zeya belum pulih akibat melihat kedekatan Anna dan Andrew saat tadi pagi."Oh. Sayang sekali, padahal hari ini aku memiliki waktu luang," Nada suara Anna terdengar sedih.Zeya menatap wajahnya melalui pantulan cermin di kamar hotel. Dari pantulan cermin, Zeya bisa melihat tubuh Anze yang tengah terbaring di atas ranjang. Anze terlihat tidur nyenyak setelah siang tadi puas bermain di pusat permainan anak di salah satu mall.Zeya menatap wajahnya yang masih tampak cantik walaupun tanpa riasan kosmetik. Namun sinar matanya tidak terlihat bersinar saat ini."Mungkin besok kita bisa bertemu di salah satu restoran," Ucap Zeya sambil mengepalkan tangan."Aku tidak bisa Kak. Ada janji sama Andrew."#See, bahkan
Bab 4 realistisPenerbangan pulang dari Dallas, Texas, US menuju ibukota negara Indonesia, Jakarta, mengalami delay.Zeya yang sudah berada di dalam kursi penumpang pesawat kelas ekonomi, hanya bisa mengerucutkan bibirnya sembari menggerutu sebal karena pesawat mengalami keterlambatan penerbangan di saat Zeya sudah berharap akan tiba di rumah sebelum tengah malam menurut waktu Indonesia bagian barat.Dipandanginya wajah putra kesayangannya yang tengah tertidur lelap di kursi sebelah Zeya.Terdengar suara dari lorong di sisi kiri Zeya."Miss... We're so sorry about this delay. This meal for you and your son," Ucap pramugari menyodorkan dua kotak makan siang untuk mereka.Zeya mengangkat wajahnya dan memberikan sedikit cengiran di sudut bibirnya menganggapi ucapan pramugari. Enggan mengobrol basa-basi dengan pramugari yang berdiri di samping kursi Zeya.Zeya mengulurkan jemari tangan kanannya untuk meraih sekaligus dua
Bab 5Sudah dua minggu Zeya menjadi pengangguran. Untung saja mendiang neneknya mewariskan rumah untuk Zeya hingga Zeya tidak perlu mengkhawatirkan mengenai atap rumah. Zeya memang bukan berasal dari kalangan menengah ke bawah namun hidupnya yang sederhana, seringkali membuat orang menyangka kalau Zeya bukan anak orang kaya.Seperti saat ini...."Zeya ... Zeya ... untuk apa kamu masih sibuk mengumpulkan kaleng bekas," Decak Lenna saat bertandang ke rumah Zeya.Kehilangan pekerjaan membuat Zeya pun memilih meninggalkan apartemen tipe studio yang dia sewa selama ini.Zeya juga terpaksa merumahkan nanny (pengasuh) Anze sedari kecil karena Zeya sudah tidak sanggup membayar gaji sang pengasuh.Tengah berjongkok di dekat pintu belakang rumah, sembari sibuk memilah kaleng bekas makanan bertepatan sekali dengan kehadiran Lenna di kediaman Zeya.Lenna, Zeya, dan Kiki adalah teman baik semasa putih abu-abu. M
"Hei..." Sapa Arleen Park menepuk punggung Zeya dari arah belakang.Respons spontan tubuh Zeya adalah mundur ke belakang dengan suara pekikan."Hehehe... Sorry Kak Zeya. Alin pasti sudah membuat Kakak terkejut," Canda Arleen Park.Arleen Park, adik perempuan dari Andrew Park."Ish...kamu kagetin Kakak." Zeya memutar tubuhnya dengan tangan mengusap dadanya.Arleen yang usil namun ramah terhadap siapa saja. Berbanding terbalik dengan Andrew."Kakak mau kerja di Maxima ya?" Tanya Arleen dengan mimik wajah serius.Melihat raut wajah serius Arleen tentu saja membuat Zeya menjadi waspada."Kamu pasti menguping kan?" Tuduh Zeya langsung dengan pertanyaan Arleen.Arleen tertawa terpingkal mendengar tuduhan Zeya."Siapa juga yang mencuri dengar. Sedari tadi Arleen berdiri di belakang punggung Kak Zeya. Kak Zeya sih caper sama Mami," Ejek Arleen.Kesal dan malas menjawab ucapan usil Arleen, Ze
[21/6 22amu yakinma bekerja di sini tanpa koneksi?" Tanya Sekar, salah satu staf HRD yang saat ini menginterview Zefanya di kantor Maxima.Entah alasan apa hingga Sekar, wanita muda yang tengah duduk di balik meja menanyakan pertanyaan ini pada Zeya."Saya juga kaget saat menerima panggilan telepon dari Ibu Sekar," Ucap Zeya dengan tersenyum ramah.Sekar bertanya seperti ini pada Zeya bukan tanpa maksud.Salah satu pemimpin di Maxima meminta Sekar untuk menghubungi Zefanya guna interview (wawancara) pekerjaan.Melihat wajah cantik dan tubuh molek Zefanya, membuat Sekar yakin kalau Zefanya adalah simpanan salah satu pemimpin di Maxima."Kamu tidak kenal sama sekali dengan para pemilik Maxima?" Tanya Sekar lagi."Para pemilik perusahaan ini? Tidak sama sekali. Saya mendaftar di tempat ini karena melihat lowongan dari media koran," Ungkap Zeya dengan kenyataan.Sekar masih tidak percaya dengan ucapan
Bab 7 Berjumpa kembaliSenin pagi, di mana merupakan hari pertama Zeya mulai bekerja di perusahaan Maxima sebagai manager pemasaran.Setiap pagi, sudah menjadi tugas Zeya mengantar Anze ke sekolah. Namun pagi ini nampak berbeda, Zeya ditemani Lenna mengantar Anze ke sekolah."Len, aku titip Anze ya. Tolong bantu diawasi," Ucap Zeya saat ini berada di balik kemudi mobil.Anze yang tengah berdiri di halaman sekolah, melambaikan tangan ke arah Zeya. Lenna, yang berdiri di sisi pintu mobil, menganggukkan kepalanya.Setelah menyelesaikan tugas rutinnya sebagai orangtua, mata Zeya melirik ke arah jam kecil yang di taruh di atas dashboard mobil. Jam digital itu menampilkan angka delapan lewat sepuluh menit. Sudah waktunya Zeya berangkat ke gedung Maxima.Dengan tangan sigap, Zeya memundurkan kemudi mobil hingga mobil meluncur kembali ke jalan raya untuk bergabung dengan mobil-mobil lain yang sedang melintasi jalan yang sama.
Dua anak manusia tengah dilanda hasrat membara membuat mereka tidak sadar akan keadaan sekeliling mereka.Mereka saling mereguk kenikmatan dari ciuman kasar mereka. Sesekali mereka berhenti untuk sekadar mengambil napas panjang sebelum melanjutkan aktivitas mereka.Andrew memang pandai dalam mencium perempuan. Berkat pengalaman masa lalunya bersama Anna. Bahkan Zeya yang tidak memiliki pengalaman bersama pria saja sampai terbuai.Perlahan, Andrew merebahkan tubuh Zeya di atas karpet ruang kerja.Masih saling memanggut, baik Zeya maupun Andrew tidak menyadari ada sosok yang mengawasi kegiatan mesum mereka di tempat kerja. Sosok Anna sedang berdiri di depan pintu masuk ruangan.Anna memandang geli melihat gerakan tak sabar tangan Andrew saat melucuti kancing kemeja Zeya.Mata Anna pun semakin membelalak lebar saat melihat Zeya menarik turun bra miliknya. Memberikan akses untuk Andrew menjamah tubuh Zeya.
Saat Zeya pulang ke rumah setelah mengalami pengalaman memalukan di ruangan Andrew, Zeya mendapati sosok Anna tengah duduk santai di ruang tamu rumahnya."Anna..." Sapa Zeya dengan mata membelalak lebar.Zeya tidak menyangka akan melihat Anna di rumah ini.Anna yang memakai gaun santai sedang duduk di samping Andrew.Sementara itu, mata Zeya menatap sekelilingnya saat tidak menemukan sosok keberadaan anak lelakinya di ruang tamu rumah."Hai, Kak Zeya. Kejutan..." Ucap Anna dengan nada suara manja.Lenna yang tahu bahwa Zeya sedang berada di posisi terjepit, tidak punya kuasa untuk membantu Zeya menghindari pertemuan antara Zeya, Anna, dan Andrew.Lenna menyangka bahwa Andrew adalah calon suami Anna.Sehingga Lenna menyembunyikan keberadaan Anze di dalam kamar.Lagi-lagi Zeya melirik ke arah samping Anna, tempat di mana Andrew sedang duduk tapi matanya tampak mengawasi gerak gerik Zeya.