Bab 1
Di sekitar area ruang tunggu bandara, terlihat kesibukan hilir mudik orang berlalu-lalang, beberapa orang tampak sibuk mengurus bagasi, berbincang santai, adapula yang sibuk dengan gadget milik mereka.
Tempat ini memang identik sebagai tempat di mana para penumpang beristirahat sejenak.
Nampak terlihat dari antara lautan manusia yang berada di area tunggu ini, seorang wanita muda yang tengah duduk bersama anak lelakinya menikmati free time (waktu santai).Mereka sebenarnya sedang menunggu muatan bagasi namun karena ada kendala di porter (pengangkut barang) jadi mereka duduk sejenak di antara deretan kursi yang hampir sudah terisi penuh oleh penumpang lain. Lokasi kursi ini tidak jauh dari tempat mereka harus mengambil koper barang bawaan mereka.
"Aku lelah, Ma," Ucap Anze, anak lelaki yang tengah mengelap dahi dengan lengan telanjangnya.
Zefanya juga merasakan hal yang sama dengan yang Anze, putranya, rasakan saat ini.
Perjalanan dari Jakarta menuju Texas mengharuskan mereka berada hampir dua puluh tujuh jam di dalam pesawat. Walaupun ada transit dua kali selama perjalanan, namun hal tersebut tidak memberi pengaruh banyak.
"Maafkan Mama yang sudah memaksamu untuk ikut kemari. Mama tidak tenang bila harus meninggalkanmu di Jakarta hanya bersama Nanny," Zefanya menjulurkan tangan untuk mengambil tisue di dalam tas.
Mengulurkan tangan gesitnya untuk mengelap keringat di kening anak lelakinya.
Anze membiarkan saja saat tangan Mama Zeya, panggilan Zefanya, mengelap keringat di wajahnya di bawah tatapan heran orang-orang di sekeliling mereka.
"Sorry Miss, This boy is your brother?" Tanya seorang nenek yang sudah memiliki keriput di wajahnya, dia duduk di samping Zefanya.
Mata nenek tua itu memandangi interaksi Zeya dengan Anze.
Zeya menoleh ke sampingnya begitupula Anze yang ikut mengarahkan pandangan ke arah si nenek tua.Zeya tersenyum geli mendengar anggapan si nenek tua yang baru pertama kali dia temui hari ini. Zefanya menggeleng dan berujar, "Not, he isn't my brother".Sedari usia tiga tahun, Anze sudah memperlajari bahasa asing yaitu bahasa Inggris. Dia diminta oleh Mama Zeya untuk menguasai bahasa yang diakui dunia sebagai bahasa internasional.
Jadi Anze paham dengan makna pembicaraan yaitu ucapan kata antara si nenek tua dengan sang mama.
#Kenapa Mama Zeya suka disangka oleh orang-orang sebagai Kakak perempuanku# Anze menggerutu dalam hati.
Wajah si nenek tua terlihat terperangah saat mendengar penyangkalan yang keluar dari mulut Zeya.
"So, he is your children? Unbelievable. You're so young, Miss."
Zeya memaklumi ketidakpercayaan yang terlihat jelas dari wajah si nenek tua.
"I'm pregnant when i finished from campus. Almost ten years ago. I'm thirty years old. Not young again," Kekeh Zeya menganggap usia dan wajahnya yang tidak serasi sebagai kelakar belaka.
Usia Zeya memang hampir menginjak tiga puluh tahun namun wajahnya masih tampak seperti anak sekolah menengah atas alias SMA.
"So beautiful. Where is your husband?" Kening nenek tua ini mengerut dan mengedarkan kepala ke sekelilingnya.
Zeya mengerti bahwa nenek tua ini hanya bermaksud bertanya namun setiap ada orang yang menyinggung masalah suami, hati Zeya terkadang masih menyisahkan rasa perih.
"I'm single. Not yet married," Zeya memberi senyum manis yang memperlihatkan dua cekungan di pipi Zeya yang membuat Zeya terlihat lebih cantik.
Ucapan Zeya membuat si nenek tua tidak berani untuk bertanya lebih lanjut. Nenek tua memilih menghentikan percakapan mereka.
Nenek tua itu balas memberi senyuman tulus pada Zeya dan Anze.
Anak lelaki Zeya pun merasa sedih saat mendengar pengakuan mengenai status pernikahan Zeya yang belum pernah menikah.
"Kamu bukan anak yang tidak diinginkan. Mama sangat sayang sama Anze. Anze juga pasti merasakan kalau Mama sayang Anze, bukan?" Bisik Zeya yang menyadari bahwa Anze sedang dilanda kesedihan saat ini.
Anze menatap wajah Mama Zeya dan tatapan mereka saling bertemu. Anze mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Mama Zeya.
Zeya mengacak rambut hitam tebal milik putranya dan mendaratkan kecupan di kening putranya.
&√&√&
Dari balik kaca jendela taxi yang mereka tumpangi, Zefanya menatap takjub akan perubahan yang terjadi pada kota Dallas selama sepuluh tahun terakhir sejak dia pergi meninggalkan kota ini.
Dallas merupakan salah satu kota dari kota bagian Texas - Amerika Serikat, tempat di mana Zefanya mengenal pria jahat itu.
Andrew Park, lelaki pertama yang memperlakukan Zefanya dengan begitu perhatian ternyata tidak lebih dari seorang pria jahat.
Tega menyetubuhi Zefanya secara kasar di atas lantai ruangan kosong kampus lalu mencampakkan dirinya begitu saja.
Sekilas memori buruk tentang perlakuan Andrew hinggap di otak Zefanya saat taxi yang mereka tumpangi melintas di depan gedung universitas Dallas.
"Ma, masih jauhkah perjalanan kita menuju tempat menginap?" Tanya Anze yang juga ikut melihat pemandangan kota Texas dari balik kaca jendela mobil.
Suara Anze menyadarkan Zeya untuk kembali ke dimensi waktu saat ini membuat Zeya menutup jalan pikirannya atas masa lampau.
"Sebentar lagi kita akan segera tiba di hotel yang sudah Mama booking via online," Sahut Zeya menoleh ke penumpang yang duduk di sampingnya.
Putranya itu terlihat antusias saat memandangi jalanan kota Dallas.
"Kamu suka dengan kota ini?" Tanya Zeya.
Supir taksi yang membawa mereka sedari tadi mencuri dengar percakapan dua penumpang yang duduk di kursi belakang namun dia tidak mengerti dengan bahasa yang diucapkan gadis muda dan anak lelaki.
"Lumayan kalau untuk liburan. Anze lebih suka tinggal di Jakarta. Ya, walaupun jalanan kota Jakarta lebih sering dilewati sikomo," Kekeh Anze.
"Sikomo?" Mata Zeya membelalak terkejut.
#Kenapa putraku bisa mengenal bahasa umpatan sekasar itu# Keluh Zeya mendengar kosakata bahasa Anze.
Anze mengalihkan pandangan kembali dari kaca jendela mobil ke wajah Mama Zeya. Anze melepas tawa lebar saat sukses membuat Mama Zeya bingung.
"Sikomo itu macet, Mama."
Mendengar istilah kata macet yang dipelesetkan menjadi Sikomo, tentu membuat semua orangtua menjadi was-was. Apalagi Zeya yang sibuk bekerja selama ini. Zeya hanya takut Anze telah salah dalam memilih teman.
"Ya ampun Anze. Kamu hampir buat Mama meledak marah," Zeya mengurut dadanya seolah dapat menurunkan frekuensi kemarahan.
"Maaf ya Ma. Makanya Mama Zeya perlu belajar bahasa slang," Ujar Anze seolah memberi nasihat untuk Mama Zeya.
Zeya hanya bisa menggeleng melihat tingkah maupun ucapan putranya.
&√&√&
Ponsel Zefanya berdering saat Zefanya dan Anze masih berada di dalam taxi yang mereka tumpangi.
Zefanya merogoh saku tas bepergiannya untuk mengambil ponsel. Mata Zefanya melihat ID caller sebelum mengangkat panggilan masuk yang ternyata berasal dari Anna, adik tiri Zefanya.
"Dari Aunty Anna," Ucap Zeya memberitahu Anze yang tengah mengangkat dua alis mata. Seakan bertanya mengenai siapa si penelepon.
"Hi An, kami sudah hampir sampai di hotel. Ada apa?" Tanya Zeya tidak ingin berbasa-basi.
"Kak Zeya, besok pagi jam tujuh acara pemakaman Daddy. Jangan telat datang ya. Di Dallas Crematory lantai dasar. Perlu aku minta Andrew menjemput kalian?"
Deg...dada Zeya serasa dihantam palu raksasa saat mendengar nama Andrew dari mulut Anna.
#Apakah Andrew Park yang dimaksud Anna# Pikiran Zeya saat mendengar nama Andrew yaitu langsung berlari ke sosok ayah biologis Anze.
"Kak Zeya..." Tegur Anna dari sambungan telepon.
Mendengar keheningan tanpa sahutan balasan dari Zefanya, tentu saja membuat Anna yang sedang berada di ruang tamu apartemen bertanya heran.
"Oh tidak perlu. Kami akan hadir tepat waktu. Cuma kami akan berdiri agak jauh, mengingat keluarga Papa tidak menyukaiku selama ini," Ucap Zeya.
Anna memaklumi sikap yang diambil Zeya untuk menjaga jarak dari keluarga Daddy. Anna tidak ingin Zeya merasa tidak nyaman menghadiri upacara kremasi Daddy.
"It's okay. Aku bisa memaklumi. Kamu tahu kalau Andrew kembali ke Texas?" Ucap Anna terdengar antusias.
Zeya bisa memaklumi sikap Anna yang tampak antusias. Mengingat Anna saat ini seorang janda. Anna mungkin ingin kembali merajut kasih dengan Andrew. Jika Andrew yang Anna maksud sama dengan Andrew yang sering berkeliaran di otak Zeya.Zeya menggeleng.
"Kak Zeya."
Zeya merutuki kebodohannya yang menggeleng kepalanya. Tentu saja Anna tidak bisa melihat gelengan kepalanya. Mereka sedang melakukan panggilan telepon bukan video.
"Aku tidak tahu. Andrew itu..." Ucapan Zeya terpotong saat Anna mengambil alih percakapan mereka.
"Andrew mantan kekasihku. Pria yang pernah Kak Zeya taksir," Kekeh Anna terdengar tanpa beban.
Ingin rasanya Zeya meminta supir taksi untuk membawa mereka kembali ke bandara.
Seorang Zefanya masih belum siap untuk bertemu Andrew kembali. Kenapa takdir seolah begitu kejam pada seorang Zefanya karena Andrew yang Anna maksud adalah Andrew Park.
&√&√&
Malam pertama Zeya bukan merupakan malam pengantin namun sensasi perasaan dag dig dug masih dialami Zeya. Jantungnya tidak bisa berdetak normal hingga dia terus menerus menegak air putih dari gelas yang ada di atas nakas. Dia berpikir setelah meminum air putih, perasaannya menjadi tenang kembali.Dia telah duduk di pinggir ranjang kamar hotel menunggu suaminya kembali dari acara resepsi. Putranya, Anze dia titip untuk dijaga oleh Wilona.Tangan Zeya saling bertautan di pangkuannya. Matanya memperhatikan gerak jarum jam dari layar ponselnya.-Ke mana Andrew pergi. Kenapa belum kembali juga- batin Zeya duduk gelisah.Ceklek, daun pintu didorong terbentang lebar. Melihat keadaan Andrew di ambang pintu membuat Zeya bergegas menghampiri suaminya."Kamu mabuk?" tanya Zeya jelas masih tidak percaya melihat suaminya sempoyongan."Istriku," ujar Andrew berusaha bergelayut di bahu Zeya.Dengan tangan sigap, Zeya memapah
Perhelatan akbar pernikahan pengusaha Park berlangsung megah dan meriah. Dua sosok manusia berdiri di atas podium panggung acara menjadi sosok sorotan para tamu hadirin.Zeya tampil begitu memukau dengan gaun pengantin berwarna putih gading. Kepalanya juga dihiasi tiara bertabur berlian kecil yang memang sengaja dipesan oleh Wilona ke pengrajin perhiasan untuk dipakai Zeya malam ini. Lihatlah, betapa memukau penampilan Zeya menjadi ratu di hari bahagianya.Senyum tidak lepas dari bibirnya kendati rahangnya sudah mulai kaku. Dia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dia bahagia.Penampilan Andrew juga tampak tampan dengan tuxedo putih dan kemeja putih. Untuk celana, dia juga memakai warna putih. Rambutnya disisir begitu rapi dengan bantuan gel rambut. Senyum juga tidak lepas dari bibir Andrew sepanjang hari."Lihatlah Anna belum sempat makan. Tubuhnya sudah mulai limbung," omel Andrew mencondongkan tubuhnya berbisik di telinga Zeya.M
Anze menghabiskan akhir pekan bersama Andrew atas keinginan Zeya.Minggu depan mereka akan menikah jadi Zeya ingin Anze lebih akrab lagi bersama Andrew.Andrew membawa Anze pergi ke salah satu tempat wisata terbuka. Pantai Ancol di sabtu pagi ini.Bukan tanpa alasan Andrew membawa Anze kemari. Andrew ingin bersantai menghilangkan penat beban kerjanya sekaligus ingin mengenal dekat calon anaknya.Zeya memilih tidak ikut serta acara ayah dan anak. Zeya mempercayai Andrew mampu menjaga Anze tanpa kehadirannya."Om, ayo kita main di pasir. Anze mau buat istana dari pasir. Anze pengin coba kayak mereka," tunjuk Anze pada satu keluarga yang posisinya tidak jauh dari mereka.Andrew mengangguk setuju. Dia akan memenuhi apa pun keinginan Anze."Ayo, kita bikin seperti itu juga."Mereka berdua mengambil peralatan yang sengaja Andrew bawa didalam bagasi mobil. Satu sekop plastik dan dua ember plastik. Hanya itu yan
"Kalian mau menikah secepatnya?" Pekik Alin menatap tak percaya dua orang yang duduk di seberang meja.Mereka bertiga duduk di salah satu meja restoran favorit Alin untuk menyantap makan siang.Alin duduk berhadapan dengan Zeya dan Andrew.Mata Alin sedari tadi tak mengalihkan pandangan dari pasangan bucin di depannya. Tangan Andrew yang terus menggenggam tangan Zeya tentu tidak luput dari mata jeli Alin.Alin cukup heran melihat Zeya begitu mudah memaafkan Andrew. Alin malah menduga bakal ada drama sebelum hubungan kakak lelakinya dan Zeya kembali membaik. Ternyata yang terjadi malah diluar prasangkanya."Wajahmu terlihat bodoh, Alin. Tentu saja kakak mau menikah dengan Zeya secepatnya. Kamu setuju dengan usulku kan, Zeya?" Tanya Andrew memandang Zeya penuh sorot pemujaan.Alin saja sampai meleleh melihat sikap mesra Andrew yang baru kali ini dia lihat.-Dari tadi kamu tidak menanyakan pendapatku, Andrew- batin Zeya.
Sebulan telah berlalu. Zeya sudah kembali menjalani rutinitas harian bersama orang-orang terkasih. Sosok Andrew lenyap begitu saja sejak kejadian kecelakaan yang Zeya alami.Zeya mengira dia bisa berjumpa dengan Andrew di tempat kerja. Ternyata dia juga tidak menemukan sosok Andrew di Maxima.Menahan rindu itu berat. Zeya sama sekali tidak menaruh benci terhadap apa yang sudah dia alami. Awal mula dia memang merasakan kebencian namun perlahan rasa itu hilang. Rasa cinta kembali mendominasi di hati Zeya.Cinta memang terkadang tidak masuk logika. Hingga Zeya menurunkan harga dirinya mencari Andrew lewat panggilan telepon.'Nomor yang Anda panggil sedang berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi'Suara operator yang menyambut Zeya. Zeya langsung memutuskan panggilan telepon dan memilih menunggu jam istirahat makan siang. Dia berencana mengorek informasi keberadaan Andrew dari Alin."Kenapa lirik jam tangan
Perlahan mata Zeya terbuka. Silau cahaya lampu menusuk masuk matanya. Dia berusaha menyesuaikan matanya dengan pencahayaan di sekitar.Zeya mengamati sekelilingnya untuk mengetahui di mana dirinya berada. Satu pemahaman masuk saat melihat selang infus tertancap di punggung tangan kirinya.Zeya mengingat dirinya mengalami kecelakaan di depan rumah Andrew karena sikap gegabahnya.-Apa anakku selamat- batin Zeya.Pintu ruangan Zeya terdorong ke dalam dan tubuh Alin berjalan memasuki ruangan. Zeya menatap lurus ke arah Alin. Alin yang masih belum menyadari tengah diperhatikan, menutup pintu dan berjalan dengan fokus menatap layar ponselnya.Bahkan sampai duduk di sofa, tatapan Alin tak beralih dari layar ponselnya.Zeya menggerutu kesal melihat tingkah Alin yang mengabaikannya."Hei," panggil Zeya melambaikan tangan.Sayangnya Alin tak melihat lambaian Zeya. Tapi Alin mendengar suara Zeya yang memanggi
Brankar didorong oleh salah satu petugas menuju ruang ICU, Andrew dan Alin mengikuti dari arah belakang. Begitu tiba di depan pintu ruang ICU, langkah Andrew dan Alin terhenti."Mohon tunggu di sini. Kalian tidak bisa ikut masuk ke dalam. Para dokter dan suster akan menangani pasien," ucap si petugas pendorong brankar yang terbaring Zeya di atasnya.Pintu ruangan terbuka lalu tertutup didepan Andrew. Pria itu hanya menanggapi ucapan petugas dengan anggukan dan berdiri di depan pintu yang telah menutup."Ini semua salahmu Kak. Kenapa Kakak tidak bisa menerima kehadiran bayi yang Kak Zeya kandung padahal bayi itu anakmu juga."Terdengar suara isak tangis dari sisi samping Andrew. Namun Andrew tidak mau menghibur adiknya yang tengah bersedih.Dia sendiri merasa sedih. Merasa berdosa karena menyakiti Zeya. Merasa bodoh karena membentak Zeya hingga Zeya kabur dan berakhir ditabrak oleh mobil yang lewat didepan kompleks perumahan. Andrew membenci dirinya
"Zeya, kamu baik-baik saja?" Wilona bangkit dari tempat duduknya dan memeluk tubuh Zeya.Tangis Zeya pecah saat tubuhnya sudah dalam pelukan Wilona. Tangan Wilona mengusap punggung Zeya penuh kasih sayang. Wilona ikut merasakan kesedihan Zeya."Sssh. Kamu baik-baik saja kan?" Wilona mengulang pertanyaannya.William bertukar pesan dengan istrinya melalui tatapan mata. Pesan yang meminta istrinya menghibur Zeya.Butuh beberapa menit hingga tangis Zeya usai. Secara perlahan, Wilona melepas pelukannya. Zeya menarik tubuhnya menjauh. Tangannya sibuk membersit hidungnya yang tersumbat dengan sapu tangan.Tangan Wilona mengusap-usap kepala Zeya dan tersenyum lembut.Setelah merasa tenang, pipi Zeya merona malu. Dia sadar sudah mempermalukan dirinya di hadapan keluarga Andrew."Maafkan aku. Aku tak bermaksud mengganggu acara sarapan kalian," Zeya mengucapkan penyesalannya."Kamu tidak menganggu kami. Kami memang belum
Setelah Andrew meminta Zeya menunggu selama sebulan untuk menunggu kepulangan Anna, Zeya melakukan aksi 'ngambek' yang dimulai dari mengabaikan panggilan masuk serta pesan masuk yang dikirim oleh Andrew padanya.Bahkan saat bertemu Andrew di tempat kerja, Zeya bersikap profesional. Entah apa yang ada di otak Andrew hingga membiarkan aksi 'ngambek' Zeya terus berlanjut."Kak, apa hubungan Kakak dan Kak Zeya telah berakhir?" Alin sengaja bertanya karena melihat sikap acuh Zeya serta sikap cuek Andrew saat mereka bertemu.Tentu saja Alin merasa heran dan menduga hal buruk telah terjadi."Kami baik-baik saja. Biasalah mood wanita hamil yang kadang tak jelas," sahut Andrew membolak-balik kertas laporan yang diserahkan Alin padanya."Hah? Kak Zeya hamil? wow," Alin berlonjak gembira sambil bertepuk tangan. Tawa bahagia terdengar dari mulut Alin."Aku bakal jadi aunty sebentar lagi. Aku tidak sangka ternyata Kak Andrew tokcer juga. Aku kira K