Pembicaraan Brian dengan istrinya malam itu sungguh membuat Brian tak konsen dalam kerjanya. Selama beberapa hari ini dia uring-uringan nggak jelas. Semua anak buahnya menjadi sasaran kemarahan dari CEO Pradipta Corporation itu. Termasuk Risa, sekertarisnya.
BRAK!
Terdengar suara bantingan. Rupanya Brian telah membanting map yang baru saja diberikan oleh Risa. Tak ada yang benar beberapa hari ini. Semua kacau.
"Kamu udah kerja sama aku berapa lama?! Kenapa bikin laporan kayak gini aja nggak bisa?!" Suara teriakan Brian menggema memenuhi kantornya. Risa begitu takut kali ini. Bosnya yang biasanya santai dan juga tenang, menjadi sangat temperamen. Sudah tiga hari ini, Risa menghitung saat Bosnya mulai berubah.
'Ada masalah apa, si Bos, kok jadi kayak singa ngamuk gini?' batin Risa. Sungguh tiga hari ini telah menjadi hari terburuk untuknya selama lima tahun bekerja bersama Brian. Bahkan untuk sekejap, Risa sangat ingin keluar dari pekerjaannya.
"Jawab! Jangan diam saja!" bentak Brian.
"Li-lima tahun, Pak." Meski lidahnya terasa kelu untuk menjawab, mau tak mau Risa harus menjawabnya. Jika tak ingin mendapat kemarahan lebih lagi.
Brian berkacak pinggang, tangan kanannya menyugar rambutnya ke belakang. Meski usianya sudah tak muda lagi, namun tak ada yang bisa menolak pesona seorang Brian Pradipta. Sayangnya tak pernah ada yang bisa mendekatinya karena dia tipe suami yang sangat setia.
"Dalam lima tahun ini kamu ngapain aja?"
Risa hanya bisa meneguk saliva-nya. 'Apa pak Brian nggak bisa lihat jika aku beneran kerja selama lima tahun ini?'
"Kerja, Pak," jawab Risa. Dia tak mau mendapat kemarahan karena tak segera menjawab pertanyaan dari Brian.
Brian melotot ke arah Risa, "Berani kamu ya, menjawab saya?"
Serba salah. Itulah yang Risa rasakan kali ini. Jika bisa, dia akan mengumpat Brian saat ini juga. Namun, pekerjaannya akan hilang jika dia melakukannya.
"Sudah! Kamu keluar saja!" Mendapat angin segar, tanpa pertimbangan lagi, Risa segera keluar dari ruangan itu.
Brian kembali duduk di kursinya, melihat layar laptopnya meski pikirannya sama sekali tidak berada di sana. Bayangan Azzura ketika memintanya menikah lagi, selalu melintas di pikirannya. Wajah Azzura saat itu benar-benar tenang, tidak seperti seorang wanita yang tengah terluka atau semacamnya.
Suasana rumah juga tak lagi hangat. Entah siapa yang memulai, tapi kini keduanya tak saling bicara. Sebenarnya Brian sangat tak tahan jika seperti ini, tetapi dia hanya ingin mengatakan jika dia sangat menentang permintaan Azzura.
Ini sudah seminggu lebih dan hubungan mereka tak ada perkembangan. Azzura benar-benar tak berbicara padanya. Dia hanya sekedar mengurus keperluan Brian sehari-hari. Brian sebenarnya bingung, kenapa Azzura sampai marah seperti itu?
"Zura?!' Tak tahan rasanya perang dingin seperti ini. Apalagi tak bisa menyentuh tubuhnya. Percayalah, meski usia keduanya tak lagi muda, namun rasa yang Brian rasakan untuk Azzura masih sama.
Azzura menoleh ke arah suaminya itu. Sumpah demi apa pun, dia sangat merindukan sentuhan dari Brian.
Brian menarik pinggang Zura dan merapatkan tubuh mereka. Brian bisa mendengar detak jantung Zura yang bertalu seperti gendang yang saling bersahutan. Begitu pun sebaliknya, degup jantung Brian tak bisa berbohong jika dirinya kini benar-benar menginginkan Azzura.
"Zura ... aku merindukanmu ...." Suara Brian terdengar begitu seksi di telinga Zura, hingga membuat darahnya berdesir. Terlebih saat Brian menggigit kecil cuping Zura, sungguh menjadikan sensasi tersendiri. Tak berhenti di situ, kecupan Brian semakin turun hingga membuat Zura menginginkan lebih.
Rasa marah dan juga kesal yang mereka rasakan sebelumnya, melebur bersama penyatuan keduanya. Jika Brian bisa mendapatkan segala bentuk kepuasan bersama Zura, kenapa dia mesti menikah lagi?
Brian mengurai pelukannya, dia melihat kabut gairah di mata istrinya. Dia sangat tahu jika Zura sedang menginginkan hal itu. Wanitanya itu tak pernah bisa menolak sentuhannya.
Zura menatap Brian seolah mendamba. Tak ada yang lebih dia inginkan selain sentuhan dari suaminya.
"Mas ... please," pinta Zura yang berharap lebih. Hanya dengan perlakuan seperti itu, benar-benar bisa membangkitkan sesuatu yang liar di dirinya.
"Do you want more, Baby?" tanya Brian dengan setengah menggoda.
"Yes. Do it now, Brian."
Brian tersenyum penuh kemenangan, dia tahu istrinya itu sangat menginginkannya malam ini. Saat Zura hanya memanggilnya tanpa embel-embel 'mas', gelora di dalam Zura benar-benar terbakar.
Brian kembali mengecupi istrinya. "Are you sure, Baby?" Hembusan hangat napas Brian mengenai kulit leher Zura, membuat wanita itu menggelinjang. Merasa geli dan juga nikmat secara bersamaan.
"Yes. I want you!"
Bagi Brian, Azzura adalah perpaduan antara kelembutan dan juga ganas secara bersamaan, Sikapnya sehari-hari memang sangatlah lembut. Selalu memperlakukan Brian dengan penuh kasih sayang. Tetapi saat seperti ini, dia akan berubah menjadi sangat liar, hingga Brian tak yakin jika itu adalah orang yang sama.
Namun, Brian sangat menikmati jika istrinya sedang berada di mode liar seperti ini. Karena Zura akan jadi sangat seksi.
Brian menarik napas panjang, dia melepas pelukannya lagi. Kali ini dia menatap Azzura dengan raut wajah kesal. Azzura semakin bingung.
"Kamu kenapa, Mas?"
"Aku akan menghukummu, Sayang. Jika kamu masih saja menyuruhku untuk menikah lagi, maka aku akan menyiksamu seperti ini.
Setelah mengucapkan hal itu, Brian meninggalkan Azzura yang kini hanya bisa bengong. Dia masih menginginkan sentuhan lagi. Oh, sungguh dia sangat ingin rasa rindunya akan terobati.
Dengan perasaan yang campur aduk, Azzura terduduk di tepi kasur, dia menangis.
"Aku juga tak ingin berbagi cinta, Mas. Tapi ...."
Setelah meninggalkan Azzura, Brian tak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya masuk ke dalam mobil lantas menghidupkan mesin, keluar dari rumah besarnya itu. Sedang tujuan, Brian tak tahu akan ke mana.Udara malam menemani perjalanan Brian malam ini. Sang Dewi Malam sedang menampakkan keindahannya. Langit yang cerah dengan ribuan bintang, menjadi saksi kegalauan hati lelaki itu. Jika bisa, dia akan mengumpat orang yang memintanya untuk menikah lagi. Tapi, sayangnya orang itu adalah Azzura, istrinya sendiri.Tak mungkin dia melontarkan berbagai macam makian untuk wanita yang sangat dia cintai, ibu dari buah hatinya."Argh ...! Brengsek! Brengsek!" Brian memukul klakson mobilnya. Hingga membuat jalanan yang aslinya senyap, menjadi berisik karena bunyi yang berasal dari klakson mobilnya itu.Jika sedang seperti ini, dia butuh sesuatu untuk menenangkannya. Segera Brian menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang ada di pinggir jalan untuk membeli rokok. Ya,
"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka."Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu."Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian."Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya."Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut."Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya."Bukan saya!" bantah Brian."Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.Brian melihat
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah."Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat."Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadi
Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil."Ke mana si brengsek itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang mesum seperti itu.Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV."Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.Gadis yang memakai celana jeans
"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu."Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga."Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini."Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana."Sama orang tadi. Baru kali ini
Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan. Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya. "Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver. Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil s
"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga." Setelah melakukan pembicaraan singkat dengan polisi yang ada di telepon, wanita itu kembali mendekap erat tasnya. Kali ini dia begitu takut karena melihat Vio yang masih terus menghajar preman itu.Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika polisi tak segera datang? Bagaimana ini? Hanya itu yang terus berputar di kepala sang wanita. Meski dia melihat jika Vio sangat pandai berkelahi, tetap saja dia kewalahan jika harus melawan pria yang tinggi besar itu.Vio terus melawan pria itu, meski dia wanita, namun tenaganya tak kalah dari preman itu. Tak sia-sia dia belajar taekwondo selama ini. Dia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga membantu orang lain."Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Vio terus memukul preman itu. Dia kini dalam posisi di atas perut sang preman. Wajah preman itu babak belur karena pukulan Vio."Ampun ... ampun ...." Pria itu mengiba, mengharap belas kasihan Vio. Namun, Vio yang masih kesal ter
"Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya. "Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain. "Loh, kenapa?" "Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal. "Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain. Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya. Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana. "Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya. "Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik