Share

Bab 4 Ketahuan

"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka. 

"Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu.

"Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian. 

"Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya. 

"Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut. 

"Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya.

"Bukan saya!" bantah Brian. 

"Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.

 Brian melihat ke arah Gibran, "Begini saja, Pak. Bapak Gibran ini pemilik Minimarket ini, bukan?" tanya Brian.

"Iya. Saya pemiliknya," jawab Gibran sambil membusungkan dadanya, seolah merasa bangga ada orang yang langsung tahu kedudukannya di sana dalam sekali lihat.

"Begini, Pak Gibran. Minimarket ini apakah memiliki CCTV?" Brian merutuki dirinya sendiri, kenapa baru kepikiran sekarang? Kenapa nggak sedari tadi?

"Tentu saja ada," jawab Pak Gibran segera.

"Boleh tidak Pak, kami mengeceknya untuk membuktikan siapa yang bersalah di sini? Saya nggak mau, ya, nama baik saya buruk gara-gara urusan dengan gadis ini." Brian menunjuk ke arah gadis yang masih menatapnya dengan tatapan bencinya. Benci terhadap orang yang telah melecehkannya. Seumur-umur, tak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Lha ini, orang asing dengan tidak sopannya melakukan itu.

Pak Gibran berpikir sejenak, dia melihat kedua orang itu bergantian. Lantas melihat ke arah pegawainya yang hanya masih menunduk.

"Wildan! Antar mereka ke ruang CCTV!" Pak Gibran memberi perintah pada karyawannya yang ternyata bernama Wildan itu. 

"Baik, Pak!" Wildan mengangguk patuh. "Mari ikut saya!"

"Terima kasih banyak, Pak Gibran," ucap Brian.

Brian dan gadis itu mengikuti Wildan ke bagian dalam Minimarket itu. 

"Ehm ... ehm ...!" Pak Gibran berdehem melihat ke arah pengunjung yang menonton drama gratis barusan, dan membuat mereka salah tingkah. Dia lalu kembali masuk ke ruangannya. Tak mau ikutan pusing dengan urusan mereka berdua.

Kini mereka bertiga telah berada di sebuah ruangan yang ada televisi yang menampilkan beberapa blok potongan gambar. Wildan duduk di kursi sedang kedua orang yang saling menatap sebal itu berdiri di belakangnya. 

"Di mana tadi kejadiannya, Mbak?" tanya Widan pada si gadis.

"Di sini, Mas." Tunjuk si gadis pada salah satu rekaman yang menunjukkan TKP. Wildan langsung melihat rekaman tempat itu beberapa waktu yang lalu. Dari saat si gadis masuk ke Minimarket.

Kedua orang itu menyaksikan dengan seksama untuk membuktikan siapa yang bersalah dalam hal ini. Brian tak ingin namanya muncul di berita, 'Seorang pengusaha kaya terlibat skandal dengan bokong seorang gadis'. Mau ditaruh di mana mukanya jika menghadapi para investor?

"Nah! Dari sini, Mas. Si om-om mesum ini baru saja masuk. Pasti kali ini bakalan kebukti siapa yang salah di sini." 

"Jangan panggil saya om-om mesum, dong. Belum juga terbukti kok udah yakin banget?" sewot Brian. 

"Udah! Pokoknya saya yakin 200 persen jika Om yang telah melakukan tindakan tidak senonoh pada saya," ucap sang gadis dengan penuh percaya diri. Perasaannya sebagai seorang wanita tak usah diragukan lagi. Bahkan saat kucingnya di rumah hamil, dia bisa menebak dengan benar berapa jumlah anak yang dilahirkannya.  

"Ck! Ya kali 200 persen," cibir Brian. 

"Biarin! Mulut-mulut saya kenapa Om yang repot?"

"Ehm .. ehm ...! Bisa nggak, sih, kalian ini diam dulu? Nanti gambarnya kelewat, saya nggak mau, ya, disuruh muterin lagi." Widan merasa geram karena mereka berdua tak berhenti bertengkar, sudah seperti kucing dan tikus saja.

"Lihat, tuh!" seru Brian sambil melotot ke arah si gadis. Tak mau kalah, si gadis mencebik, balas melotot ke arah Brian.

"Tuh! Dari sini mulai pake matanya, Om. Siapa yang salah di sini!" tegas si gadis. Brian yang merasa tak bersalah bersikap biasa saja. Dia benar-benar membuka matanya lebar-lebar untuk membuktikan jika bukan dia yang melakukan itu.

"Ulangi, Mas! Itu sudah sampai saya ditampar. Putar adegan sebelumnya! Coba lihat siapa yang melakukan itu!"

Wildan menghela napas panjang. Dia harus sabar menghadapi kedua manusia absurd ini. Bagaimana bisa dia seapes ini, berurusan dengan dua orang yang sama-sama nggak mau ngalah.

Dengan amat sangat terpaksa, Wildan menuruti perintah Brian. Dia hanya ingin segera menyelesaikan ini semua dan kembali bekerja, melihat para pelanggan wanita yang cantik-cantik.

'Ah! Sudahlah, Wildan. Selesaikan ini dulu,' ucap Wildan dalam hati.

"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status