"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka.
"Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu.
"Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian.
"Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya.
"Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut.
"Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya.
"Bukan saya!" bantah Brian.
"Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.
Brian melihat ke arah Gibran, "Begini saja, Pak. Bapak Gibran ini pemilik Minimarket ini, bukan?" tanya Brian.
"Iya. Saya pemiliknya," jawab Gibran sambil membusungkan dadanya, seolah merasa bangga ada orang yang langsung tahu kedudukannya di sana dalam sekali lihat.
"Begini, Pak Gibran. Minimarket ini apakah memiliki CCTV?" Brian merutuki dirinya sendiri, kenapa baru kepikiran sekarang? Kenapa nggak sedari tadi?
"Tentu saja ada," jawab Pak Gibran segera.
"Boleh tidak Pak, kami mengeceknya untuk membuktikan siapa yang bersalah di sini? Saya nggak mau, ya, nama baik saya buruk gara-gara urusan dengan gadis ini." Brian menunjuk ke arah gadis yang masih menatapnya dengan tatapan bencinya. Benci terhadap orang yang telah melecehkannya. Seumur-umur, tak ada yang pernah menyentuh tubuhnya. Lha ini, orang asing dengan tidak sopannya melakukan itu.
Pak Gibran berpikir sejenak, dia melihat kedua orang itu bergantian. Lantas melihat ke arah pegawainya yang hanya masih menunduk.
"Wildan! Antar mereka ke ruang CCTV!" Pak Gibran memberi perintah pada karyawannya yang ternyata bernama Wildan itu.
"Baik, Pak!" Wildan mengangguk patuh. "Mari ikut saya!"
"Terima kasih banyak, Pak Gibran," ucap Brian.
Brian dan gadis itu mengikuti Wildan ke bagian dalam Minimarket itu.
"Ehm ... ehm ...!" Pak Gibran berdehem melihat ke arah pengunjung yang menonton drama gratis barusan, dan membuat mereka salah tingkah. Dia lalu kembali masuk ke ruangannya. Tak mau ikutan pusing dengan urusan mereka berdua.
Kini mereka bertiga telah berada di sebuah ruangan yang ada televisi yang menampilkan beberapa blok potongan gambar. Wildan duduk di kursi sedang kedua orang yang saling menatap sebal itu berdiri di belakangnya.
"Di mana tadi kejadiannya, Mbak?" tanya Widan pada si gadis.
"Di sini, Mas." Tunjuk si gadis pada salah satu rekaman yang menunjukkan TKP. Wildan langsung melihat rekaman tempat itu beberapa waktu yang lalu. Dari saat si gadis masuk ke Minimarket.
Kedua orang itu menyaksikan dengan seksama untuk membuktikan siapa yang bersalah dalam hal ini. Brian tak ingin namanya muncul di berita, 'Seorang pengusaha kaya terlibat skandal dengan bokong seorang gadis'. Mau ditaruh di mana mukanya jika menghadapi para investor?
"Nah! Dari sini, Mas. Si om-om mesum ini baru saja masuk. Pasti kali ini bakalan kebukti siapa yang salah di sini."
"Jangan panggil saya om-om mesum, dong. Belum juga terbukti kok udah yakin banget?" sewot Brian.
"Udah! Pokoknya saya yakin 200 persen jika Om yang telah melakukan tindakan tidak senonoh pada saya," ucap sang gadis dengan penuh percaya diri. Perasaannya sebagai seorang wanita tak usah diragukan lagi. Bahkan saat kucingnya di rumah hamil, dia bisa menebak dengan benar berapa jumlah anak yang dilahirkannya.
"Ck! Ya kali 200 persen," cibir Brian.
"Biarin! Mulut-mulut saya kenapa Om yang repot?"
"Ehm .. ehm ...! Bisa nggak, sih, kalian ini diam dulu? Nanti gambarnya kelewat, saya nggak mau, ya, disuruh muterin lagi." Widan merasa geram karena mereka berdua tak berhenti bertengkar, sudah seperti kucing dan tikus saja.
"Lihat, tuh!" seru Brian sambil melotot ke arah si gadis. Tak mau kalah, si gadis mencebik, balas melotot ke arah Brian.
"Tuh! Dari sini mulai pake matanya, Om. Siapa yang salah di sini!" tegas si gadis. Brian yang merasa tak bersalah bersikap biasa saja. Dia benar-benar membuka matanya lebar-lebar untuk membuktikan jika bukan dia yang melakukan itu.
"Ulangi, Mas! Itu sudah sampai saya ditampar. Putar adegan sebelumnya! Coba lihat siapa yang melakukan itu!"
Wildan menghela napas panjang. Dia harus sabar menghadapi kedua manusia absurd ini. Bagaimana bisa dia seapes ini, berurusan dengan dua orang yang sama-sama nggak mau ngalah.
Dengan amat sangat terpaksa, Wildan menuruti perintah Brian. Dia hanya ingin segera menyelesaikan ini semua dan kembali bekerja, melihat para pelanggan wanita yang cantik-cantik.
'Ah! Sudahlah, Wildan. Selesaikan ini dulu,' ucap Wildan dalam hati.
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?"
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah."Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat."Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadi
Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil."Ke mana si brengsek itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang mesum seperti itu.Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV."Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.Gadis yang memakai celana jeans
"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu."Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga."Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini."Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana."Sama orang tadi. Baru kali ini
Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan. Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya. "Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver. Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil s
"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga." Setelah melakukan pembicaraan singkat dengan polisi yang ada di telepon, wanita itu kembali mendekap erat tasnya. Kali ini dia begitu takut karena melihat Vio yang masih terus menghajar preman itu.Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika polisi tak segera datang? Bagaimana ini? Hanya itu yang terus berputar di kepala sang wanita. Meski dia melihat jika Vio sangat pandai berkelahi, tetap saja dia kewalahan jika harus melawan pria yang tinggi besar itu.Vio terus melawan pria itu, meski dia wanita, namun tenaganya tak kalah dari preman itu. Tak sia-sia dia belajar taekwondo selama ini. Dia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga membantu orang lain."Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Vio terus memukul preman itu. Dia kini dalam posisi di atas perut sang preman. Wajah preman itu babak belur karena pukulan Vio."Ampun ... ampun ...." Pria itu mengiba, mengharap belas kasihan Vio. Namun, Vio yang masih kesal ter
"Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya. "Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain. "Loh, kenapa?" "Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal. "Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain. Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya. Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana. "Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya. "Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik
"Ah, enggak! Hanya saja ...." Vio menggantung ucapannya. Dia kembali ragu, haruskah menanyakan hal ini atau tidak?Azzura menaikkan alisnya, masih menanti apa kira-kira yang bakal dikatakan oleh Vio."Apa Mbak Zura sudah menikah?" Vio memejam. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.'Bodoh kamu Vio,' rutuknya dalam hati."Hahaha ...!" Vio bingung, kenapa Azzura malah tertawa. Bukankah Vio sudah tidak sopan dengan bertanya seperti itu?Azzura mengangkat tangan kirinya, seolah dia ingin memperlihatkan sesuatu pada Vio. "Ini sebuah cincin pernikahan. Artinya aku sudah menikah.""Iya." Vio nyengir. Dia merasa pertanyaannya itu sangat tidak penting. Andai dia bisa memutar waktu."Aku sudah menikah dan aku sangat cinta sama dia." Vio melihat ke arah Zura. Dia mengatakan kejujuran. Ada pendar kebahagiaan di mata wanita itu saat bilang cinta. Vio yakin jika Azzura mengatakan sebuah kebenaran. Tetapi, kenapa ada ke
"Pak! Siang ini ada rapat dengan Tuan Mark Sutopo." Risa saat ini tengah berada di depan meja Brian. Dia memegang tablet di tangannya. Semua jadwal Brian ada di tangan Risa."Jam berapa rapatnya?" tanya Brian masih dalam posisi matanya tak lepas dari tumpukan laporan di hadapannya."Jam dua siang," jawab Risa mantap. Brian menghentikan aktifitasnya, dia menarik napas panjang. Mark Sutopo adalah salah satu saingan bisnisnya yang begitu gencar menjatuhkan perusahaannya. Brian tahu jika Mark sering menempuh cara licik, tapi sebagai orang yang jujur, Brian belum bisa bergerak. Dia harus memikirkan semua konsekuensi yang harus dia ambil."Ingatkan nanti!" Brian memutuskan untuk kembali berkutat dengan laporan yang menurutnya tak pernah berhenti. Setiap hari, selalu ada segunung laporan yang harus dia periksa. Begitulah, jika perusahaan semakin besar maka pekerjaannya pun juga semakin banyak.Brian tiba-tiba teringat saat dulu perusahaannya belum sebesar