Setelah meninggalkan Azzura, Brian tak tahu harus pergi ke mana. Dia hanya masuk ke dalam mobil lantas menghidupkan mesin, keluar dari rumah besarnya itu. Sedang tujuan, Brian tak tahu akan ke mana.
Udara malam menemani perjalanan Brian malam ini. Sang Dewi Malam sedang menampakkan keindahannya. Langit yang cerah dengan ribuan bintang, menjadi saksi kegalauan hati lelaki itu. Jika bisa, dia akan mengumpat orang yang memintanya untuk menikah lagi. Tapi, sayangnya orang itu adalah Azzura, istrinya sendiri.
Tak mungkin dia melontarkan berbagai macam makian untuk wanita yang sangat dia cintai, ibu dari buah hatinya.
"Argh ...! Brengsek! Brengsek!" Brian memukul klakson mobilnya. Hingga membuat jalanan yang aslinya senyap, menjadi berisik karena bunyi yang berasal dari klakson mobilnya itu.
Jika sedang seperti ini, dia butuh sesuatu untuk menenangkannya. Segera Brian menepikan mobilnya di salah satu minimarket yang ada di pinggir jalan untuk membeli rokok. Ya, lelaki itu telah berhenti merokok sudah lama saat jatuh cinta 12 tahun yang lalu, tetapi entah dapat bisikan dari mana, dia ingin menikmatinya lagi malam ini.
"Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?" Itulah sapaan khas yang Brian dengar saat memasuki minimarket ber-AC itu. Pelayan tersenyum ramah sembari kedua tangan ditelangkupkan di depan dada. Brian hanya ganti tersenyum tanpa menjawab.
Antrian di meja kasir lumayan penuh. Dengan wajah datar, lelaki itu ikut mengantri di sana, karena apa yang dia cari ada di belakang meja itu.
"Ck!" Brian menghindar ketika ada seorang yang seakan akan menabraknya. Dia bergerak ke samping kanan, namun ternyata kini dia malah terjebak di antara banyak orang.
'Kenapa tumben empet-empetan gini, sih?' tanya Brian dalam hati. Suasana hati Brian yang buruk bertambah buruk kini. Pria itu sampai bingung mesti menyingkir ke mana.
PLAK!!!
Netra Brian langsung melotot ketika dia merasakan sebuah tamparan mengenai pipinya. Segera saja dia mengangkat wajahnya untuk tahu siapa yang telah berani melakukan itu padanya. Brian merasa tak ada salah dengan siapa pun yang ada di sana.
Di hadapan Brian, berdiri seorang gadis cantik, berusia sekitar dua puluh tahun yang memiliki manik mata abu-abu. Yang bisa dibilang bukan warna mata asli orang Indonesia. Hidung mancung dengan bibir yang sedikit berisi semakin meyakinkan Brian jika wanita ini mungkin seorang turis. Tetapi, dengan alasan apa turis ini menamparnya?
Mata gadis itu melotot tajam ke arahnya. Oh ... sungguh, Brian sama sekali tak tahu di mana letak kesalahannya?
"Excuse me. What's my fault? So you slapped me?" Tak ingin langsung memaki, Brian ingin tahu alasan apa yang mendasari gadis itu menamparnya?
"Excuse me, Excuse me. Aku nggak ngerti apa yang Om omongin. Tapi, yang aku tahu Om itu telah ngelecehin saya, tahu nggak?" Mata Brian membelalak. Membulat sempurna mendengar omongan gadis itu.
'Ini, aku capek-capek pake bahasa Inggris, tahunya tuh anak nggak tahu. Dan dia bilang apa tadi?'
"Melecehkan?" Brian ingin tertawa mendengar tuduhan itu, "siapa yang melecehkan siapa di sini? Bahkan saya sama sekali tak menyentuh Anda!" bentak lelaki 35 tahun itu. Dia malu, karena sadar jika mereka kini telah menjadi tontonan pengunjung minimerket.
"Anda yang telah melecehkan saya. Saya tahu, saya memang cantik. Tapi, bukan berarti orang setampan Anda bisa seenaknya meremas bokong saya." Gadis itu tak kalah galak dari Brian. Tak peduli dengan pandangan aneh orang-orang, dia hanya tak ingin harga dirinya diinjak seperti ini.
"Jadi intinya Anda mengakui jika saya tampan?" Jujur, perasaan Brian saat ini antara ingin marah tetapi juga ingin ketawa.
"Eh!" Gadis itu menutup mulutnya menggunakan tangan. Dia tak menyangka jika dia keceplosan telah mengakui jika pria itu memang tampan, meski dia tahu usianya tak muda. "Intinya bukan itu. Intinya Om telah meremas bokong saya tanpa ijin!"
"Jadi kalau ijin, boleh nih?" Brian tidak tahu kenapa timbul perasaan ingin menggoda gadis itu. Dia sangat lucu dan juga cantik.
'Berhenti, Brian! Sejak kapan kamu peduli dengan wanita lain selain Azzura?' Brian segera saja mengenyahkan pikiran buruknya saat itu juga. Baru saja dia marah pada istrinya karena memaksa dia untuk menikah lagi, kenapa saat ini dia malah kagum pada wanita lain? Hal yang belum pernah terjadi sepanjang pernikahannya dengan Azzura.
"Ya, nggak gitu konsepnya, Bambang!" Sang gadis merasa geram karena orang tua yang ada di depannya ini malah ingin bermain-main dengannya. Ingin sekali gadis itu mencakar dan juga menendang Brian saat ini juga. Kenapa ada model lelaki model mesum dan juga gila seperti dia?
"Nama saya bukan Bambang--"
"Pak ... Bu .... Mohon maaf sekali, jangan membuat keributan di sini." Salah seorang pelayan menghampiri keduanya. Brian baru menyadari jika dirinya telah mempermalukan dirinya sendiri. Untuk apa juga dia meladeni bocah itu?
"Ini, Mas. Ada om-om mesum yang seenaknya saja meremas bokong saya." Dengan wajah kesal, sang gadis menunjuk ke arah Brian, membuat Brian langsung melotot.
"Maaf, Mas. Saya tidak melakukan itu," bantah Brian. Sungguh hari ini terasa begitu sial untuknya.
"Bohong! Mana ada maling ngaku!" Sang gadis tetap pada pendiriannya. Dia sangat yakin jika Brianlah yang telah meremas bokong nya tadi.
"Saya bukan maling dan saya tidak melakukan hal yang Anda tuduh!"
"Tapi---"
"Cukup!"
"Cukup!" Baik Brian maupun gadis itu melihat ke arah orang yang tengah berteriak itu. Seorang pria botak berusia sekitar 50 tahun dengan perut buncit menghampiri mereka."Malam, Pak," sapa pelayan yang menghampiri mereka tadi. Sepertinya pria itu manager atau mungkin malah pemilik Minimarket itu."Hm ... ada apa ini?" tanya pria botak itu dengan wajah garang. Dia melihat ke arah kedua orang pembuat onar bergantian."Ini, Pak Gibran, tadi mereka bertengkar karena Mbak ini telah menuduh Bapak ini melakukan pelecehan terhadap Mbak-nya," jelas pelayan itu sedikit takut. Sang pegawai menunggu reaksi yang akan ditunjukkan bos-nya."Pelecehan? Pelecehan seperti apa?" tanya Pak Gibran, dia ingin tahu lebih lanjut."Dia meremas bokong saya, Pak!" ujar si gadis. Dia harus mempertahankan harga dirinya."Bukan saya!" bantah Brian."Masih nggak mau ngaku, Om?" Si gadis melotot ke arah Brian.Brian melihat
"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah."Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat."Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadi
Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil."Ke mana si brengsek itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang mesum seperti itu.Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV."Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.Gadis yang memakai celana jeans
"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu."Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga."Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini."Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana."Sama orang tadi. Baru kali ini
Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan. Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya. "Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver. Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil s
"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga." Setelah melakukan pembicaraan singkat dengan polisi yang ada di telepon, wanita itu kembali mendekap erat tasnya. Kali ini dia begitu takut karena melihat Vio yang masih terus menghajar preman itu.Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika polisi tak segera datang? Bagaimana ini? Hanya itu yang terus berputar di kepala sang wanita. Meski dia melihat jika Vio sangat pandai berkelahi, tetap saja dia kewalahan jika harus melawan pria yang tinggi besar itu.Vio terus melawan pria itu, meski dia wanita, namun tenaganya tak kalah dari preman itu. Tak sia-sia dia belajar taekwondo selama ini. Dia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga membantu orang lain."Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Vio terus memukul preman itu. Dia kini dalam posisi di atas perut sang preman. Wajah preman itu babak belur karena pukulan Vio."Ampun ... ampun ...." Pria itu mengiba, mengharap belas kasihan Vio. Namun, Vio yang masih kesal ter
"Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya. "Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain. "Loh, kenapa?" "Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal. "Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain. Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya. Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana. "Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya. "Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik
"Ah, enggak! Hanya saja ...." Vio menggantung ucapannya. Dia kembali ragu, haruskah menanyakan hal ini atau tidak?Azzura menaikkan alisnya, masih menanti apa kira-kira yang bakal dikatakan oleh Vio."Apa Mbak Zura sudah menikah?" Vio memejam. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.'Bodoh kamu Vio,' rutuknya dalam hati."Hahaha ...!" Vio bingung, kenapa Azzura malah tertawa. Bukankah Vio sudah tidak sopan dengan bertanya seperti itu?Azzura mengangkat tangan kirinya, seolah dia ingin memperlihatkan sesuatu pada Vio. "Ini sebuah cincin pernikahan. Artinya aku sudah menikah.""Iya." Vio nyengir. Dia merasa pertanyaannya itu sangat tidak penting. Andai dia bisa memutar waktu."Aku sudah menikah dan aku sangat cinta sama dia." Vio melihat ke arah Zura. Dia mengatakan kejujuran. Ada pendar kebahagiaan di mata wanita itu saat bilang cinta. Vio yakin jika Azzura mengatakan sebuah kebenaran. Tetapi, kenapa ada ke