"Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah.
"Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat.
"Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya.
Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain.
'Bego, lo, Vio. Om mesum itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadis yang bernama Vio itu langsung saja mendelik ke arah Brian yang terlihat begitu senang kali ini. Sungguh saat ini, Vio benar-benar ingin mencekeknya agar dia berhenti terkekeh.
"Ck! Itu 'kan gambarnya nggak jelas. Mas, bisa ulang sekali lagi, nggak?" tanya Vio pada Wildan sambil mendekatkan wajahnya agar sejajar dengan Wildan.
"Eh, i-iya," jawab Wildan dengan gugup. Didekati gadis cantik dan seksi seperti Vio, tentu saja membuat tubuhnya gemetar kali ini.
'Gila! Gue bisa gila jika gadis ini mepet gue terus. Bisa-bisa beneran gue pepetin ke tembok lalu gue cipok, deh!' ucap Wildan dalam hati. Meski sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya menepis pikiran kotornya barusan. Baru seperti itu saja sel-sel mesum di diri Wildan bisa bangkit dengan sendirinya. Bagaimana jika sampai hal lain?
Wildan kembali memutar rekaman CCTV itu pada menit di mana Vio mendapat pelecehan seksual. Vio tersenyum, merasa senang karena Wildan mau menuruti ucapannya.
Tapi, Brian juga terlihat tenang karena rekaman CCTV itu nggak mungkin berubah sendiri dalam hitungan detik. Dan bukan dia yang telah meremas bokong Vio.
"STOP!"
"STOP!" ucap Brian dan Vio bersamaan. Mereka baru saja melihat saat-saat penting itu. Vio mengamati dengan seksama apa yang ada di depannya. Brian ada di belakangnya persis dan kedua tangannya berada di belakang sesaat sebelum Vio menampar Brian. Jadi di waktu itu, bukan lelaki yang ada di sampingnya itu yang bersalah. Tetapi, bapak-bapak yang mengenakan topi di sebelah kanannya.
"Brengsek!"BRAK
Vio menggebrak meja yang ada di depan Wildan, membuat pemuda itu merasa ngeri saat ini. Begitu pula dengan Brian, wanita jika sedang marah, banteng ngamuk pun bakalan kalah.
"Sudah jelas 'kan sekarang? Siapa yang asal tuduh di sini?" cibir Brian. Vio memejam, dia tak sanggup menatap mata Brian. Dia sangat malu. Tapi, ada hal lain yang lebih penting kali ini.
"Saya minta maafnya besok saja. Saat ini saya harus mencari bapak-bapak yan sudah membuat bokong saya menjadi tidak perawan lagi." Setelah mengucapkan itu, Vio segera berlari ke luar ruangan itu. Dia celingukan mencari sosok yang muncul di CCTV.
Setelah kepergian Vio, Brian dan Wildan saling berpandangan, melongo, seakan baru saja melihat salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
"Apa kamu mengerti wanita?" tanya Brian pada Wildan.
Pemuda itu menggeleng, "Tidak, Pak. Itu yang membuat saya jomblo hingga saat ini."
Brian mengangguk lantas menepuk bahu Wildan pelan, "Makasih, ya."
Brian keluar dari ruangan itu dengan rasa bangga. Dia bukanlah om-om cabul pecinta bokong gadis. Tapi, dia adalah tipe pria setia pada satu wanita, Azzura.
Rasa ingin membeli rokok pun hilang begitu saja. Dia sudah kehilangan selera untuk menghisap benda silinder panjang itu. Yang khas aroma tembakau.
'Mungkin Tuhan nggak ngijinin aku untuk merokok lagi. Baru aja niat, udah dapet malu,' batin Brian. Dia kini tengah memasukkan kunci mobilnya ke dalam lubangnya. Dan memutar kunci itu ke kanan lantas mengemudikannya.
Dia merasa kesal dengan gadis yang baru saja dia temui. Kenapa ada modelan gadis seperti itu? Bisa-bisanya nuduh dan menyalahkannya atas kesalahan yang tidak dia perbuat.
Setelah sebelumnya pikiran Brian teralihkan, kini dia kembali teringat dengan Azzura. Dia sebenarnya kasihan, melihat istrinya itu sedang mode pengen ketika dia tinggalkan tadi. Namun, dia harus memberikan pelajaran untuk orang yang menyuruhnya menikah lagi. Meski itu istrinya sendiri. Meski jenis hukuman yang dia berikan, lain dari pada yang lain.
"Azzura ... apa sebenarnya yang ada di kepalamu?" gumam Brian seorang diri. Dia masih kesal. Ada dua kejadian yang membuatnya menjadi benar-benar kesal.
Mata Brian memicing, dia sepertinya melihat seseorang yang dia kenal sedang dalam keadaan tidak baik. Dia segera memperlambat laju mobilnya dan menepikan di pinggir jalan raya.
Dia dengan penuh marah berjalan ke arah orang itu.
"Hey! Apa-apaan kalian?!"
Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil."Ke mana si brengsek itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang mesum seperti itu.Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV."Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.Gadis yang memakai celana jeans
"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu."Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga."Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini."Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana."Sama orang tadi. Baru kali ini
Hawa Jakarta memanglah selalu panas. Tak ada yang bisa mengingkarinya. Kecuali orang-orang yang berada di dalam ruangan yang ber-AC. Berbeda dengan orang-orang yang memang bekerja di lapangan. Kehidupan yang keras dan berat, sangat kontras dengan wajah ayu dan parasnya yang rupawan. Adalah Vio, dengan nama panjang Violet Handoko yang memiliki nasib itu. Ternyata wajahnya yang cantik tak bisa menjamin kehidupannya akan berjalan seirama dengan fisiknya. "Dasar bule miskin!" Itu adalah salah satu kalimat ejekan yang dia terima sedari kecil. Perawakannya memang bukan khas orang Indonesia yang memiliki kulit kecoklatan. Terlebih warna mata dan juga rambutnya yang terlihat mencolok ketimbang yang lain. Warna mata Vio abu, begitu pula rambutnya berwarna silver. Kulit putihnya yang memerah kala terkena sinar matahari langsung, membuatnya lebih terlihat seperti bule. Tak ada yang percaya jika dia memang benar-benar anak dari Handoko, pria yang kini dia panggil s
"Halo, polisi. Ada perampokan di Jalan Mangga." Setelah melakukan pembicaraan singkat dengan polisi yang ada di telepon, wanita itu kembali mendekap erat tasnya. Kali ini dia begitu takut karena melihat Vio yang masih terus menghajar preman itu.Bagaimana jika dia terluka? Bagaimana jika polisi tak segera datang? Bagaimana ini? Hanya itu yang terus berputar di kepala sang wanita. Meski dia melihat jika Vio sangat pandai berkelahi, tetap saja dia kewalahan jika harus melawan pria yang tinggi besar itu.Vio terus melawan pria itu, meski dia wanita, namun tenaganya tak kalah dari preman itu. Tak sia-sia dia belajar taekwondo selama ini. Dia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga membantu orang lain."Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Vio terus memukul preman itu. Dia kini dalam posisi di atas perut sang preman. Wajah preman itu babak belur karena pukulan Vio."Ampun ... ampun ...." Pria itu mengiba, mengharap belas kasihan Vio. Namun, Vio yang masih kesal ter
"Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya. "Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain. "Loh, kenapa?" "Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal. "Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain. Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya. Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana. "Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya. "Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik
"Ah, enggak! Hanya saja ...." Vio menggantung ucapannya. Dia kembali ragu, haruskah menanyakan hal ini atau tidak?Azzura menaikkan alisnya, masih menanti apa kira-kira yang bakal dikatakan oleh Vio."Apa Mbak Zura sudah menikah?" Vio memejam. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.'Bodoh kamu Vio,' rutuknya dalam hati."Hahaha ...!" Vio bingung, kenapa Azzura malah tertawa. Bukankah Vio sudah tidak sopan dengan bertanya seperti itu?Azzura mengangkat tangan kirinya, seolah dia ingin memperlihatkan sesuatu pada Vio. "Ini sebuah cincin pernikahan. Artinya aku sudah menikah.""Iya." Vio nyengir. Dia merasa pertanyaannya itu sangat tidak penting. Andai dia bisa memutar waktu."Aku sudah menikah dan aku sangat cinta sama dia." Vio melihat ke arah Zura. Dia mengatakan kejujuran. Ada pendar kebahagiaan di mata wanita itu saat bilang cinta. Vio yakin jika Azzura mengatakan sebuah kebenaran. Tetapi, kenapa ada ke
"Pak! Siang ini ada rapat dengan Tuan Mark Sutopo." Risa saat ini tengah berada di depan meja Brian. Dia memegang tablet di tangannya. Semua jadwal Brian ada di tangan Risa."Jam berapa rapatnya?" tanya Brian masih dalam posisi matanya tak lepas dari tumpukan laporan di hadapannya."Jam dua siang," jawab Risa mantap. Brian menghentikan aktifitasnya, dia menarik napas panjang. Mark Sutopo adalah salah satu saingan bisnisnya yang begitu gencar menjatuhkan perusahaannya. Brian tahu jika Mark sering menempuh cara licik, tapi sebagai orang yang jujur, Brian belum bisa bergerak. Dia harus memikirkan semua konsekuensi yang harus dia ambil."Ingatkan nanti!" Brian memutuskan untuk kembali berkutat dengan laporan yang menurutnya tak pernah berhenti. Setiap hari, selalu ada segunung laporan yang harus dia periksa. Begitulah, jika perusahaan semakin besar maka pekerjaannya pun juga semakin banyak.Brian tiba-tiba teringat saat dulu perusahaannya belum sebesar
"Vio! Kamu kenapa? Kenapa wajah kamu babak belur gitu?" Handoko terlihat panik ketika melihat putri semata wayangnya itu babak belur. Wajah cantik yang biasa dia tampilkan sekejap lenyap berganti dengan luka lebam yang begitu mengerikan."Eh, Bapak. Ini Vio tadi jatuh, Pak," jawab Vio. Dia tak mungkin jujur pada ayahnya karena tahu jika ayahnya itu akan sangat khawatir jika dia mengatakan yang sebenarnya."Jatuh? Di mana? Nggak mungkin kamu cuma jatuh, Nak?" Handoko mendekati Vio. Dia ingin menyimpulkan sendiri luka itu benar karena jatuh atau dipukuli.Vio agak menjauhkan wajahnya saat ayahnya menelisik pada area wajahnya itu. "Iya, Pak. Vio tadi cuma jatuh. Nyungsep di aspal. Jadinya babak belur gini." Vio nyengir. Seolah tak ada masalah apa pun yang dia hadapi kini."Jangan bohong, Vio. Bapak tahu kamu lagi bohong. Bapak kenal kamu dari bayi." Dengan suara lemahnya, Handoko tetap pada penilainnya. Dia sudah makan asam garam kehidupan selama ini, tak mu