"Enyah kamu bedebah!" teriak Vio disertai tamparan pada pipi lelaki di depannya. Vio benar-benar menggunakan seluruh tenaga yang dia punya saat menampar Mark hingga kepala lelaki itu sedikit tertoleh ke arah kanan.Rasa panas dam perih Mark rasakan saat ini. Akan tetapi, ada yang lebih menyakitkan yaitu hatinya. Baru sekali ini ada perempuan yang dengan berani melayangkan tamparan di pipinya. Harga diri lelaki itu seperti dijatuhkan hingga dasar terendah."Jangan berharap kamu bisa menyentuhku, bajingan!" Dada Vio naik turun saat mengatakannya. Wajahnya mengeras dengan gigi yang bergemerutuk. Dia sangat muak jika harus berdekatan dengan lelaki biadab di depannya. "Aku besumpah akan mencabikmu jika kamu berani menyentuhku!" Mendengar ancaman Vio, Mark menaikkan sebelah bibirnya ke atas. Dia lantas menolehkan kembali kepalanya hingga saat ini kedua matanya menatap tajam mata Vio. Dengan gerakan cepat, lengan Mark maju dan menekan leher Vio hingga membuat wanita itu merasa tercekik. Ked
"Mas. Nanti aku mau ke yayasan. Aku harus meyakinkan Sarah untuk mau menjadi saksi. Semua orang harus tahu kebejatan lelaki itu." Vio berjalan lebih cepat, berusaha mengimbangi langkah cepat Brian. Brian memang sudah memiliki cukup bukti untuk menjatuhkan Mark, tetapi jika Sarah mau speak up, pasti akan lebih memberatkan hukuman bagi lelaki itu. "Iya, Sayang. Aku akan terus mencari bukti agar Mark mendapat hukuman mati, minimal seumur hidup. Sudah terlalu banyak kejahatan yang dia perbuat. Selama ini tidak ada yang berani menyenggolnya, tapi saat ini aku bersumpah tidak akan ada orang yang bisa membantunya," tekad Brian.Brian mengenal Mark sebagai orang yang licik. Dia selalu menggunakan kelemahan orang-orang penting agar mendapatkan dukungan. Namun kali ini, Brian tidak akan membiarkan hal itu. Dia telah mengamankan semua bukti yang Mark punya dan kini telah berada di tangannya. "Brian. Papa pengen ngomong sama kamu." Baik Brian maupun Vio sama-sama kaget saat tiba-tiba saja Wija
"Mas Brian! Lihat! Anak kita sudah bisa naik sepeda!" Azzura menyeret Adrian menuju ke arah halaman. Matanya terlihat berbinar dan raut wajahnya pun memperlihatkan kebahagiaan.Adrian tersenyum miris sembari menatap Azzura dari samping. Ada sesak yang dia rasakan melihat wanita yang dia cintai seperti ini. Skizofrenia yang dialami Azzura telah berada di fase yang bisa melukai diri sendiri ataupun orang lain."Kyra! Hati-hati, nak! Nanti kamu jatuh!" Azzura masih melihat ke arah halaman kosong. Halaman yang dilihat Azzura hanyalah halaman kosong. Namun, dalam pikiran wanita itu, ada Kyra yang sedang mengendarai sepeda roda dua. Ingatan saat Kyra berusia lima tahun dan pertama kali bisa mengendarai sepeda roda dua hadiah ulang tahunnya yang kelima.Mungkin sekitar lima belas menit senyum Azzura mengembang, sebelum akhirnya raut wajah wanita itu berubah drastis. Matanya yang tadinya penuh binar kebahagiaan, menjadi tajam penuh kilat kebencian."Jangan ambil anakku!" Azzura berteriak semb
"Pa! Mama ke mana sih? Kenapa Kyra tidak boleh bertemu dengan Mama?" protes Kyra sesaat setelah mendudukkan bokong pada kursi. Keluarga Pradipta saat ini tengah sarapan. Brian duduk di kursi paling ujung, sedang Vio dan Kyra di sisi kanan dan kirinya. Vio melirik Brian untuk mengetahui bagaimana reaksi suaminya saat sang anak kembali bertanya tentang ibunya. Wanita itu merasa sedih sekaligus kasihan saat melihat Brian yang tidak pernah bisa menjawab pertanyaan Kyra tentang Azzura. "Ehm ... kita makan dulu saja, Sayang. Makanannya keburu dingin." Vio berusaha mengalihkan perhatian Kyra. Namun yang dia dapatkan sekarang adalah tatapan mata Kyra yang menyiratkan kebencian yang mendalam. "Kamu nggak usah sok perhatian deh! Kamu itu bukan mama aku! Jadi kamu nggak perlu manggil 'sayang' segala. Jijik tahu nggak sih!" "Kyra!" bentak Brian yang membuat Kyra langsung menoleh ke arah sang ayah. "Papa berani bentak aku?" tanyanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Sudah, Mas. Aku nggak papa
Brian langsung membanting tas saat masuk ke dalam ruangan kerjanya. Akhir-akhir ini semua hal semakin tidak terkendali. Wijaya sudah mulai menghentikan dukungan bisnis pada perusahaannya secara perlahan, dan juga sikap Kyra yang semakin kurang ajar padanya dan juga Vio.Dengan sedikit kasar, Brian mendudukkan bokong pada kursi, tak lupa dia juga memijit kening yang menjadi sebuah refleks jika dirinya sedang banyak pikiran. Belum lagi Azzura yang masih belum diketahui keberadaannya.Mungkin sekitar lima belas menit lelaki itu dalam posisi seperti itu, dan berhenti saat dering nada ponsel mengagetkannya. Matanya memicing saat melihat siapa yang tengah menelepon."Halo! Ada apa?" tanyanya dengan nada sedikit ketus. Brian begitu kesal dengan orang ini karena sudah berbulan-bulan, tetapi pekerjaannya tidak mendapatkan hasil."Jangan galak seperti itu, Bos." "Buat apa lemah lembut terhadap kamu? Mencari satu orang saja tidak becus," maki Brian. Orang yang meneleponnya adalah Vincet, anak b
"Vincent! Apakah kamu sudah memastikan untuk apa mertuaku datang ke Swiss?" tanya Brian saat Vincent menyetir mobil untuknya menuju bandara. Siang ini dia langsung membatalkan semua janji dan meminta Risa memesankan tiket ke Swiss. Dia yakin jika kepergian Wijaya kali ini ada hubungannya dengan Azzura."Seperti biasanya, Bos. Anak buah saya tidak bisa menembus pertahanan Pak Wijaya. Mereka hanya mengetahui tujuan Pak Wijaya, tetapi tidak bisa mengetahui dengan pasti apa yang terjadi di dalam sana."Brian mengangguk paham. Memang sangat sulit mematai-matai mertuanya tersebut. Entah bagaimana Wijaya selalu bisa mengecoh anak buah Brian.Tidak ada pertanyaan lagi yang keluar dari bibir Brian setelahnya. Hatinya sibuk memikirkan apa yang akan dia lakukan jika bertemu dengan Azzura nanti? Bagaimana keadaan istrinya itu sekarang? Apa dia baik-baik saja?Saat tiba di bandara, Vincent dengan sigap membawakan koper Brian. Lelaki itu sedikit kesulitan saat mengikuti langkah Brian yang lebih cep
Seperti disambar petir, itulah yang dirasakan Brian saat ini. Lutut lelaki itu tiba-tiba melemas seperti jeli dan membuat tubuhnya tiba-tiba luruh ke lantai. Bokongnya menyentuh lantai dengan siku yang menumpu pada kursi panjang di sebelahnya. Kepalanya tertunduk dalam dan tak lama terlihatlah bahunya yang bergetar. Lelaki itu kembali menangis setelah mengetahui jika anak dalam kandungan Vio tidak bisa diselamatkan.Vio telah terlebih dahulu keguguran dan saat ini dokter melakukan tindakan kuretasi atas persetujuan Vio. Dia mengira jika Brian tidak akan datang karena tahu jika lelaki itu akan berangkat ke Swiss.Wanita di depannya salah tingkah karena tidak tahu bagaimana harus bersikap. Tidak mungkin dia memeluk maupun menepuk punggung Brian karena dia hanya seorang karyawan. Namun, untungnya kondisi seperti itu tidak berlangsung lama. Brian lantas mengangkat wajahnya dan menghapus air mata yang terlanjur menetes. Brian bangkit dan langsung menuju ke ruang operasi. Walau bagaimanapu
Hidup Brian Pradipta sangatlah sempurna. Bisa dipastikan jika banyak pria yang iri dengan kehidupannya. Di usia 35 tahun dia sudah menjadi seorang CEO yang sangat sukses.Memiliki keluarga yang bahagia bersama dengan wanita yang sangat dia cintai, Azzura Wijaya. Azzura Wijaya adalah anak dari Antony Wijaya, investor terbesar di perusahaannya. Tapi, bukan dengan alasan itu mereka menikah, tetapi karena mereka saling mencintai.Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang putri cantik yang mereka beri nama Kyra Wijaya Pradipta. Menyandang nama besar dua keluarga membuat kehidupan Kyra menjadi mimpi banyak anak gadis seusianya. Bahkan saat perayaan ulang tahunnya yang ke-sebelas, Brian menghadiahi putrinya itu dengan sebuah helikopter untuk anaknya. Kyra menjelma sebagai seorang sosialita di usia yang masih belia.Brian sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sudah sempurna, hingga sebuah permintaan dari Azzura menggoyahkan harga dirinya."Mas ... menikahlah lagi