"Diar. Apa Gama belum pulang?"
Diar sedikit terkejut mendengar pertanyaan Hera. Namun senyum kecil tertahan di bibir pelayan itu. Rupanya, Gama lah yang sedang Hera pikirkan.
Ini memang sudah pukul dua belas malam. Seharusnya di jam seperti ini, semua orang di paviliun sudah tidur. Tapi Hera malah menyibukan diri memikirkan suaminya.
Diar menggeleng pelan. "Belum, Nyonya Hera. Tuan Gama belum pulang." jawaban itu membuat Hera mendesah kecewa.
Diar tersenyum lagi saat melihat raut khawatir tampak di wajah Hera. Gurat kecemasan itulah yang membuat Hera sulit untuk tidur.
'Di mana Gama? Ini sudah mau tengah malam tapi dia belum pulang juga. Bahkan sekarang hujan deras. Sial! Kenapa aku jadi mencemaskannya seperti ini.' Hera mengutuk dirinya sendiri dalam hati.
Jika mengingat sikap Gama yang tidak ada manis-manisnya, seharusnya Hera tak perlu mengacuhkan lelaki itu meskipun ia diterkam serigala, atau ditelan ikan paus sekalipun. Mengapa ia harus peduli sementara lelaki itupun tak pernah peduli padanya.
Sebab selama ini Gama selalu tak menganggap keberadaannya. Alih-alih menganggap Hera sebagai istri, lelaki itu selalu saja menatapnya dengan tatapan sedingin es. Membekukan Hera hingga ke sekujur tubuhnya. Setahun menjadi istri Gama, membuat Hera tahu bagaimana dingin dan acuhnya lelaki itu padanya.
Dan sialnya, Hera malah jatuh cinta.
Ya! Cinta itu hadir tanpa permisi. Cinta itu datang tanpa diminta. Dimulai dari niat Hera melayani Gama hanya untuk mengabdi, tapi akhirnya Hera malah terjerat karisma seorang Gama.
"Maaf jika saya lancang, Nyonya. Apa tidak sebaiknya Anda istirahat saja. Saya yakin sebentar lagi Tuan Gama pasti akan pulang. Saya tahu Anda sangat mencemaskannya. Tapi Anda juga perlu memperhatikan kesehatan Anda. Jangan sampai Anda sakit karena berdiri terus di depan jendela yang terbuka ini. Sedangkan angin dan hujannya semakin kencang." masih dengan sikapnya yang sopan, Diar memberi usul pada Hera. Ia tidak ingin majikan wanitanya itu sakit. Hera perlu istirahat.
Hera diam sebentar. Memikirkan usulan dari Diar.
Lagi, Hera menatap lurus ke pelataran rumah Gama yang terbentang luas di depan sana. Bahkan saat Hera menggeser matanya beralih pada gerbang besar yang dekat pos satpam. Gerbang yang kokoh dan tinggi itu masih tertutup rapat. Belum ada tanda-tanda terlihat di sana. Membuat Hera membuang napasnya pelan.
Akhirnya Hera menyerah. Memikirkan Gama membuat kepalanya pusing dan apa yang Diar bilang memang benar. Ia butuh istirahat.
"Diar. Boleh aku minta sesuatu?" tanya Hera mengalihkan tatapannya pada Diar yang masih setia berdiri di sampingnya.
"Tentu saja. Apa yang Nyonya Hera inginkan?"
"Aku ingin minum teh hangat. Itu pun jika kau belum mengantuk," kata Hera. Terlalu lama berdiri di depan jendela dengan angin dan hujan yang terus menemaninya, membuat tubuh Hera sedikit menggigil.
Diar menatap Hera khawatir. Ia langsung menganggukan kepala.
"Baik, Nyonya Hera. Dengan senang hati akan segera saya buatkan," ucap Diar.
Diar sedikit membungkukkan badannya di depan Hera, sebelum kemudian menarik dirinya dari sana. Seperginya Diar, Hera menutup rapat jendela kamarnya. Sekali lagi ia mendesah melihat ke depan sana. Lalu kakinya melangkah menuju ranjang, membaringkan tubuhnya seraya memijit batang hidung yang mulai memerah.
Tak lama Diar datang dengan membawa nampan. Di atasnya ada teh hangat pesanan Hera.
"Ini tehnya, Nyonya," ucap Diar sambil meletakkan cangkir teh di atas nakas.
Hera mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih, Diar. Sekarang kau juga harus istirahat." Hera bangkit duduk dan bersandar pada bantal, lalu meminum perlahan teh yang dibuatkan oleh Diar.
"Maaf, Nyonya. Saya baru akan pergi jika Anda berjanji akan segera tidur setelah ini." Diar tak yakin Hera akan langsung tidur. Karena raut cemas itu masih tergambar jelas di wajahnya.
Hera menjauhkan cangkirnya dari bibir. Tersenyum mendengar pernyataan Diar. Hera akui, Diar memang sangat peka terhadap dirinya. Tapi Hera merasa senang bisa dekat dengan Diar yang bukan hanya seorang pelayan, tapi juga bisa menjadi sahabatnya.
"Baiklah. Kau bisa memegang kata-kataku. Aku janji akan tidur setelah menghabiskan tehnya," janji Hera. Diar tersenyum lega. Sekarang ia tidak perlu mencemaskan Hera lagi.
"Kalau begitu saya pamit pergi ke kamar saya, Nyonya. Jika Anda membutuhkan apapun, Anda bisa memanggil saya." Diar tetap mengatakan itu meskipun ia tahu kalau Hera tak akan mau memanggilnya. Sebab wanita itu tidak pernah mau mengganggu tidur orang lain.
Hera mengangguk. "Sekali lagi terimakasih untuk tehnya," ucapnya tulus.
Diar balas menganggukkan kepala. Membalas senyum Hera dengan sama tulusnya. "Sama-sama, Nyonya Hera." lantas pelayan wanita itu pun berbalik dan beranjak keluar kamar. Meninggalkan Hera sendirian yang hanya bisa menghembuskan napasnya lemah.
Hera menaruh cangkir tehnya kembali dan ia merebahkan badannya lagi. Hera tidur telentang dengan kedua tangan yang terlipat di atas perut. Matanya lurus menatap plafon. Benaknya masih memikirkan mengapa Gama belum pulang?
Sampai pelan-pelan kegelapan mulai menelannya. Membuatnya jatuh tertidur.
***
BRAK!
Dengan sangat kasar, Gama membanting pintu mobil. Jam dua dinihari ia baru pulang ke rumahnya. Rupanya tadi ia menghabiskan waktu di sebuah Club mewah. Meneguk banyak minuman hingga membuatnya mabuk.
Mengingat betapa bodohnya ia percaya pada Karin yang berselingkuh di belakangnya, membuat hati Gama diliputi amarah.
"Tuan Gama. Apa saya perlu memapah Anda ke dalam rumah?" melihat Gama yang nyaris tersuruk jatuh karena tak berhati-hati saat melangkah, satpam yang tadi membukakan gerbang langsung membantunya berdiri, dan bertanya pada Gama karena khawatir melihat keadaannya yang seperti sudah mabuk berat.
Gama mengangkat sebelah tangan. "Tidak perlu. Kau masukkan saja mobilku ke dalam garasi!" tolak Gama, lalu memberi perintah.
"Baik Tuan Gama." meski khawatir melihat keadaan Gama yang sudah kusut dan berantakan. Kemeja yang telah keluar dari celananya, dan rambut yang tampak acak-acakan meski tak sedikitpun mengurangi ketampanannya, membuat satpam itu tahu jika Gama sedang tak baik-baik saja.
Namun apa yang bisa dilakukan seorang satpam selain hanya menuruti perintah. Jadi ia lebih memilih mengikuti apa yang Gama perintahkan padanya. Memasukan mobil itu ke dalam garasi.
TAK! TAK! TAK!
Sampai di teras dupan rumahnya yang megah, Gama tiba-tiba saja menghentikan langkah kakinya. Entah mengapa pandangannya kini justru beralih menoleh ke belakang, dimana paviliun berada.
"Heraaa..."
Hanya satu kata. Hera! Tapi kata itu berhasil menuntut langkahnya berbalik dan menuju ke paviliun. Satpam yang tadi sempat heran melihat apa yang Gama lakukan. Mengapa ia malah melangkah menuju paviliun? Di sana hanya ada para pelayan yang mungkin sudah terlelap saat ini.
Tapi alih-alih mencegah Gama, satpam itu memilih membiarkan karena tak ingin memancing kemarahan tuannya.
Steve menyentuh lengan Hera, mengusap punggungnya menenangkan.“Maaf. Aku tidak tahu kalau Mentari akan jadi murung dan tidak mau makan seperti ini karena bersikeras menunggu Gama.” anak itu memang tidak mau makan. Padahal Steve sudah menjelaskan padanya bahwa sebenarnya Gama tidak akan datang ke Singapore.Tetapi anak itu tetap bersikukuh menunggu Gama sambil menatap ke luar jendela yang terbuka, membiarkan angin menerpa kulit wajahnya yang putih, terkadang menggoyangkan rambutnya perlahan.Suara bell yang berbunyi membuyarkan lamunan mereka. Hera mengerjap, menoleh ke arah pintu.“Mungkin itu tukang laundry. Aku akan bukakan pintu dulu,” katanya yang dijawab anggukan oleh Steve.Kaki jenjang Hera berjalan menuju pintu, tangan itu menarik kenop dan membukanya.Selanjutnya mata Hera membeliak lebar. Mulutnya terbuka saking tidak percayanya dengan apa yang ia lihat saat ini.“Ga-Gama!” pe
“Ma? Kita akan kembali ke Singapore ya? Kita akan naik pesawat lagi seperti waktu itu?” berjalan di bandara, Mentari yang dituntun oleh Steve dan Hera di kedua sisi, kini mendongkakan kepala menatap Hera.Hera menunduk, lalu tersenyum mengangguk.“Benar, sayang. Kita akan kembali ke Singapore.”“Tapi kenapa kita harus kembali ke sana, Ma? Padahal aku sudah betah di rumah Kakek Bimo dan Nenek Fatma.” pertanyaan kedua kembali meluncur dari mulut mungilnya, mendesak Hera untuk segera memutar otak, mencari jawaban yang paling tepat.“Mama sangat merindukan Singapore. Dan kau pun merasakan hal yang sama, bukan?” Hera mencubit pelan hidung mungil Mentari. Di sampingnya, Steve mengulum senyum tipis.“Ma. Apa Papa tidak ikut dengan kita?”Hera tertegun menghentikan langkahnya. Nama lelaki yang tidak ingin ia dengar, kini justru keluar dari mulut anaknya sendiri.Hera dan Steve
Mobil Gama dan mobil Steve keluar beriringan melewati gerbang rumah Iren.Di balik kemudi, Gama memukul setir, sembari mengeletukan giginya saat matanya terus menatap tajam ke arah mobil Steve yang melaju di depan sana.“Aku penasaran. Apa benar dia sedekat itu dengan Hera?” gumamnya diliputi rasa cemburu.Mendadak Steve menghentikan mobilnya ketika tiba-tiba mobil Gama menghadang di depan sana. Sepertinya Gama sengaja menghalangi laju mobil Steve.Membuat Steve mengerutkan keningnya heran. “Apa yang dia lakukan? Apa maksudnya menghentikan mobil di depan mobilku?”Sedikit kesal Steve membuka seatbeltnya. Tangannya membuka pintu, kakinya turun menapaki aspal. Lantas dengan menyingsingkan lengan kemejanya, Steve berjalan menghampiri Gama yang kini sudah berdiri di depannya sambil berpangku tangan.“Ada masalah apa kau denganku, Brother? Apa kau tidak tahu bagaimana caranya menghentikan mobil di jalanan?” tan
“Kalian berbeda karena—““Iren!” Bimo yang datang langsung menegur Iren agar tidak melanjutkan ucapannya. Membuat Hera dan Gama yang sempat terkejut, kini bisa menarik napas lega.Bimo mendekat, menghampiri Mentari dan mengusap puncak kepala anak itu. “Tidak, sayang. Jangan pikirkan apa yang Tante Iren katakan. Kau kembali belajar ya.”“Iya, Kek.” Mentari mengangguk, kembali fokus menunduk pada buku tiga dimensi di pangkuannya, lalu mengenali setiap gambar yang ada di sana.Sedangkan Bimo melayangkan tatapan tajamnya pada Iren. Membuat Iren kebingungan. Karena ia merasa tak melakukan salah apapun.“Lain kali jaga bicaramu. Jangan sampai kau mengatakan sesuatu yang akan mengganggu pikiran dan perasaan Mentari!” bisik Bimo di telinga Iren.Setelahnya, Gama mengajak Mentari bermain di halaman belakang. Hera membantu Fatma menyiapkan makan siang di atas meja. Saat akan menga
Malam ini hujan deras mengguyur kota Jakarta. Langitnya hitam pekat, sepekat perasaan Gama saat ini.Mendesah pelan, Gama berdiri menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. Dengan ditemani Hera yang berdiri di sampingnya. Setelah Iren tak sadarkan diri, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Iren tidak terlambat mendapatkan pertolongan medis. Mengingat ia bisa saja kehabisan darah.“Apa Mentari sudah tidur?” tanya Gama pada Hera, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke depan.Hera melirik Gama sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Bibi mengirimkan pesan, katanya dia sudah tidur setengah jam yang lalu,” jawab Hera.Gama mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gama memijit pangkal hidungnya, kepalanya terasa pening. Banyak sekali masalah yang memenuhi pikirannya. Dan sepertinya masalah yang terjadi saat ini adalah yang paling berat. Gama tidak tahu apa ia sanggup m
Baru saja pantatnya menyentuh kursi kemudi, matanya kembali melirik ke arah papper bag itu yang sekarang sudah bergabung dengan bunga yang Gama beli. Itu juga khusus untuk Hera.“Semoga dia akan menyukainya. Ah, aku sangat tidak sabar. Ingin segera menikahimu dan memulai semuanya dari awal lagi. Kali ini tidak boleh ada penderitaan, rasa terpaksa, atau saling menyakiti. Pernikahan kita harus berdasar cinta dan kasih sayang. Karena hanya cinta yang akan menjadi pondasi terbaik dalam pernikahan. Meskipun aku belum pernah mendengar kata cinta dari mulut Hera, tetapi cukup melalui tatapannya saja, aku sudah tahu kalau Hera pun mencintaiku.”Setelah mengucapkan itu, senyumnya kembali melebar. Hatinya melambung tinggi, rasanya Gama ingin segera bertemu Hera, melihat wajah cantiknya, mendekapnya seerat yang ia bisa.Untuk bisa mewujudkan keinginannya itu, maka Gama segera melajukan mobilnya menuju ke rumah Bimo dan Fatma. Dimana dua wanita yang sangat