Share

6. dalam doa dan kesedihanku

Setelah mengucapkan salam dari salat malamku aku angkat tangan setinggi mungkin lalu berdoa untuk memohon kekuatan kepada Sang Pencipta. Dengan segala kerendahan hati dan pengharapan aku memohon kepadaNya, agar Tuhan sekiranya sudah membantu meringankan penderitaan dan luka yang begitu besar ini.

Untuk kesekian kalinya aku mengusap air mata yang sudah tidak berhenti mengalir sejak siang tadi. Tak ingin diriku sebenarnya menunjukkan air mata di hadapan anak-anak tapi semakin besar kekuatan yang aku keluarkan untuk tegar semakin rapuh diri ini rasanya.

Aku tergugah sampai mukena dan telapak tanganku basah, aku menangis dan tidak bisa menahan gejolak yang ada di dalam dada. Bukan tentang perselingkuhan dan hubungan yang pada akhirnya jadi pernikahan dan menghasilkan anak, tapi tentang betapa jahatnya dia membohongiku. Betapa liciknya dia berpura-pura bahagia di hadapanku, bersikap seolah dia adalah suami yang paling mencintaiku di dunia, pandai berbuat mesra seakan-akan aku adalah wanita paling beruntung yang telah mendapatkannya.

Aku memang diperlakukan seperti Ratu, Ratu yang terkekang di dalam sangkar emas sementara dia bermain dan mendapatkan kebahagiaan dari selir. Ah, hatiku hancur berkeping keping. Ternyata, keyakinanku tentang betapa besarnya posisi diri ini menguasai ruang hatinya hanyalah omong kosong belaka. Semua itu hanya angan semu yang pada akhirnya hancur oleh kenyataan yang ada.

Ya, aku telah kalah aku kalah telak oleh sandiwara dan kebohongan yang dibungkus dengan sikap mesra dan kasih sayang, juga uang.

*

Saat kulipat kerudung mukena dan sajadah suamiku datang lalu menyentuh bahu ini. Dulu sentuhan tangannya begitu lembut dan selalu mendamaikan hatiku tapi sekarang Aku benar-benar muak dan tidak sudah disentuh olehnya.

Ku tepis tangannya perlahan lalu aku memundurkan diri dari hadapannya. Dengan wajah yang ku pasang sekecewa mungkin, kembali aku meneteskan air mata lalu berusaha menyembunyikan wajah sedihku dari hadapannya dengan cara membalikkan badan. Tak terperikan luka di hati ini hingga setiap kali dia menatap wajah Mas Faisal luka itu semakin bertambah-tambah saja.

"Tolong jangan menangis, Kau tetap Wanita utama dalam hidupku istri pertamaku dan ibu dari anak-anakku."

"omong kosong," jawabku lirih.

"Jangan pernah merasa aku tidak mencintaimu hanya karena aku punya istri lain. Aku sangat beruntung memilikimu dan tidak pernah ingin kehilanganmu." Mas Faisal menggenggam tangan dan menatap dengan tatapan penuh keyakinan, tapi rasa kepercayaanku sudah hilang mengingat betapa dulu aku begitu mempercayainya tapi dia sendiri yang menghancurkan kepercayaan itu.

"Kau tahu bahwa hidup itu harus memilih, sangat sulit untuk membuat kami berada satu atap dan akur bersama. Jika kau sangat mencintainya maka biarkanlah aku mengalah," jawabku dengan air mata menetes lagi.

Mas Faisal menghapus air mataku lalu mendekatkan wajahnya ke keningku. Dia mengecup keningku dengan penuh perasaan dan itu cukup lama namun aku sudah tidak sanggup menerima rasa dan sentuhannya. Aku dorong dadanya nggak dia menjauhiku. Dia yang ditolak seperti itu merasa kaget dan juga memasang ekspresi kecewa.

"Sayang, kenapa?"

"Sayang katamu? Jangan sekali-kali mulut itu mengatakan Sayang lagi. Jangan sekali-kali bibirmu yang munafik itu menyebutku sebagai istri tercinta. Aku hanyalah sampah yang kau bayar untuk melahirkan anak-anakmu, aku hanya wanita yang kau kontrak dalam ikatan pernikahan tanpa sebuah perasaan cinta dan rasa menghargai."

"Siapa bilang aku tidak mencintaimu!"

"Jika kau hanya mencintaiku tidak akan pernah terjadi hubungan di luar sepengetahuanku!" Bergetar suara ini dan terus berderai air mata ini ketika aku menyangka setiap perkataannya. sakit yang kurasakan di hatiku tidak bisa ku gambarkan dengan kata-kata. Aku benar-benar terluka dan hancur.

"Aku minta maaf...."

"Kata maaf itu tidak akan pernah menjadi obat penawar untuk luka hatiku, aku terlalu sakit menerima kenyataan. Aku terlalu lelah menerima penghianatanmu. Ini seharusnya menjadi hari bahagia karena baru saja kemarin kita merayakan ulang tahun pernikahan dan hari ini anak kita wisuda, namun teganya kau melakukan ini padaku," jawabku dengan nada bergetar, suaraku tersedak oleh tangisan pilu yang ingin meledak dari dadaku.

"Ampunkan aku mutiara, aku minta maaf ...." ucapnya sambil menjatuhkan diri di lututku. "Aku tidak mau kehilanganmu dan tidak ingin kau jauh dari hidupku."

"Keserakahan untuk mengumpulkan dua cinta di dalam hati tidak akan pernah terjadi, cukuplah, Mas, cukup rumah tangga kita sampai di sini."

"Jangan Mutiara."

"Sudah Mas Jangan memohon lagi bagaimanapun kau terlihat begitu sangat mencintainya dan bahagia bersama istrimu jadi ceraikan diriku dan pulanglah padanya. Itu yang terbaik."

Sungguh setelah 24 tahun, untuk pertama kalinya aku terluka oleh perbuatan suamiku, luka yang ia timbulkan begitu menyakitkan hingga aku merasa tidak punya harapan lagi untuk hidup seakan-akan nyawaku direnggut dari badan dengan cara paling kasar.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nur rahmah
......sesak dada ini
goodnovel comment avatar
Rina Wati
setuju,,cerai saja gak usah dgr rayuannya sok manis dari perlakuannya saja dirumah sakit kl ffaisal tu lbh bahagia bersama jalang dan anaknya,, biar tau rasa dia nanti kl anaknya tu tak bisa diandalkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status