Home / Romansa / Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara / 6. dalam doa dan kesedihanku

Share

6. dalam doa dan kesedihanku

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2023-05-03 07:17:06

Setelah mengucapkan salam dari salat malamku aku angkat tangan setinggi mungkin lalu berdoa untuk memohon kekuatan kepada Sang Pencipta. Dengan segala kerendahan hati dan pengharapan aku memohon kepadaNya, agar Tuhan sekiranya sudah membantu meringankan penderitaan dan luka yang begitu besar ini.

Untuk kesekian kalinya aku mengusap air mata yang sudah tidak berhenti mengalir sejak siang tadi. Tak ingin diriku sebenarnya menunjukkan air mata di hadapan anak-anak tapi semakin besar kekuatan yang aku keluarkan untuk tegar semakin rapuh diri ini rasanya.

Aku tergugah sampai mukena dan telapak tanganku basah, aku menangis dan tidak bisa menahan gejolak yang ada di dalam dada. Bukan tentang perselingkuhan dan hubungan yang pada akhirnya jadi pernikahan dan menghasilkan anak, tapi tentang betapa jahatnya dia membohongiku. Betapa liciknya dia berpura-pura bahagia di hadapanku, bersikap seolah dia adalah suami yang paling mencintaiku di dunia, pandai berbuat mesra seakan-akan aku adalah wanita paling beruntung yang telah mendapatkannya.

Aku memang diperlakukan seperti Ratu, Ratu yang terkekang di dalam sangkar emas sementara dia bermain dan mendapatkan kebahagiaan dari selir. Ah, hatiku hancur berkeping keping. Ternyata, keyakinanku tentang betapa besarnya posisi diri ini menguasai ruang hatinya hanyalah omong kosong belaka. Semua itu hanya angan semu yang pada akhirnya hancur oleh kenyataan yang ada.

Ya, aku telah kalah aku kalah telak oleh sandiwara dan kebohongan yang dibungkus dengan sikap mesra dan kasih sayang, juga uang.

*

Saat kulipat kerudung mukena dan sajadah suamiku datang lalu menyentuh bahu ini. Dulu sentuhan tangannya begitu lembut dan selalu mendamaikan hatiku tapi sekarang Aku benar-benar muak dan tidak sudah disentuh olehnya.

Ku tepis tangannya perlahan lalu aku memundurkan diri dari hadapannya. Dengan wajah yang ku pasang sekecewa mungkin, kembali aku meneteskan air mata lalu berusaha menyembunyikan wajah sedihku dari hadapannya dengan cara membalikkan badan. Tak terperikan luka di hati ini hingga setiap kali dia menatap wajah Mas Faisal luka itu semakin bertambah-tambah saja.

"Tolong jangan menangis, Kau tetap Wanita utama dalam hidupku istri pertamaku dan ibu dari anak-anakku."

"omong kosong," jawabku lirih.

"Jangan pernah merasa aku tidak mencintaimu hanya karena aku punya istri lain. Aku sangat beruntung memilikimu dan tidak pernah ingin kehilanganmu." Mas Faisal menggenggam tangan dan menatap dengan tatapan penuh keyakinan, tapi rasa kepercayaanku sudah hilang mengingat betapa dulu aku begitu mempercayainya tapi dia sendiri yang menghancurkan kepercayaan itu.

"Kau tahu bahwa hidup itu harus memilih, sangat sulit untuk membuat kami berada satu atap dan akur bersama. Jika kau sangat mencintainya maka biarkanlah aku mengalah," jawabku dengan air mata menetes lagi.

Mas Faisal menghapus air mataku lalu mendekatkan wajahnya ke keningku. Dia mengecup keningku dengan penuh perasaan dan itu cukup lama namun aku sudah tidak sanggup menerima rasa dan sentuhannya. Aku dorong dadanya nggak dia menjauhiku. Dia yang ditolak seperti itu merasa kaget dan juga memasang ekspresi kecewa.

"Sayang, kenapa?"

"Sayang katamu? Jangan sekali-kali mulut itu mengatakan Sayang lagi. Jangan sekali-kali bibirmu yang munafik itu menyebutku sebagai istri tercinta. Aku hanyalah sampah yang kau bayar untuk melahirkan anak-anakmu, aku hanya wanita yang kau kontrak dalam ikatan pernikahan tanpa sebuah perasaan cinta dan rasa menghargai."

"Siapa bilang aku tidak mencintaimu!"

"Jika kau hanya mencintaiku tidak akan pernah terjadi hubungan di luar sepengetahuanku!" Bergetar suara ini dan terus berderai air mata ini ketika aku menyangka setiap perkataannya. sakit yang kurasakan di hatiku tidak bisa ku gambarkan dengan kata-kata. Aku benar-benar terluka dan hancur.

"Aku minta maaf...."

"Kata maaf itu tidak akan pernah menjadi obat penawar untuk luka hatiku, aku terlalu sakit menerima kenyataan. Aku terlalu lelah menerima penghianatanmu. Ini seharusnya menjadi hari bahagia karena baru saja kemarin kita merayakan ulang tahun pernikahan dan hari ini anak kita wisuda, namun teganya kau melakukan ini padaku," jawabku dengan nada bergetar, suaraku tersedak oleh tangisan pilu yang ingin meledak dari dadaku.

"Ampunkan aku mutiara, aku minta maaf ...." ucapnya sambil menjatuhkan diri di lututku. "Aku tidak mau kehilanganmu dan tidak ingin kau jauh dari hidupku."

"Keserakahan untuk mengumpulkan dua cinta di dalam hati tidak akan pernah terjadi, cukuplah, Mas, cukup rumah tangga kita sampai di sini."

"Jangan Mutiara."

"Sudah Mas Jangan memohon lagi bagaimanapun kau terlihat begitu sangat mencintainya dan bahagia bersama istrimu jadi ceraikan diriku dan pulanglah padanya. Itu yang terbaik."

Sungguh setelah 24 tahun, untuk pertama kalinya aku terluka oleh perbuatan suamiku, luka yang ia timbulkan begitu menyakitkan hingga aku merasa tidak punya harapan lagi untuk hidup seakan-akan nyawaku direnggut dari badan dengan cara paling kasar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
ahh bnyak typo
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Nyesek bacanya
goodnovel comment avatar
Nur rahmah
......sesak dada ini
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    123. akhirnya minta maaf

    Hari ini adalah hari Minggu dan minggu ini terasa terasa damai karena udara berhembus sejuk dan matahari bersinar dengan cerah. Daun-daun tumbuhan yang ada di sekitar rumah nampak hijau dan bunganya bermekaran, aku merasa senang menatapnya, perasaanku juga lebih cerah karena kelima anak kami berkumpul di rumah. Pukul 07.00 pagi kusiapkan sarapan lalu kami berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama dan membicarakan impian-impian kami di masa depan. Anak-anak juga mengutarakan harapan mereka tentang karir dan kehidupan pribadinya, termasuk Nanda dan Nindy yang sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana kedokteran.Kami juga membicarakan strategi bisnis dan bagaimana Mas Rusdi bertahan dengan kencangnya krisis dan persaingan antar perusahaan. Seperti biasa suamiku selalu memberikan arahan dan contoh-contoh kebijakan kepada kelima anak kami agar mereka punya bekal di masa depan dan belajar dari pengalaman itu.Tring....Saat kami asik sarapan, tiba-tiba ponselku berdering dari atas

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    122. ya!

    Ya, waktu bergulir digantikan dengan hari dan musim-musim yang baik. Hubunganku dengan orang-orang sekitar juga jadi lebih baik, pun hubunganku dengan keluarga suamiku, serta dengan keluarga ayahnya anak anak. Mantan mertua yang dulu pernah sangat membela rima dan menyudutkanku, kini berbalik arah menjadi seperti semula baik dan penuh perhatian.Di akhir pekan kami sudah canangkan untuk berkumpul dengan keluarga sebagai bentuk quality time kami. Kadang pergi ke keluarganya Mas Rusdi kadang juga pergi ke keluargaku atau mungkin kami semua akan pergi piknik ke suatu tempat. Senang rasanya mengumpulkan kerabat dan keluarga besar di satu tempat lalu kami makan nasi liwet atau menikmati Barbeque sambil bercanda tawa dan melepas kerinduan.Tidak ada lagi permusuhan dan pertengkaran, terlebih sekarang anak-anak mendewasa dan mulai sibuk dengan kegiatannya menghasilkan uang, Rina juga semakin giat bekerja karena dia yang paling punya rencana untuk segera menikah.*Suatu hari aku dan Mas

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    121. tidak lama kemudian

    Tidak lama kemudian setelah aku mengatakan itu mas Faisal keluar dari ruang sidang dengan didorong oleh Reno. Polisi memberi kesempatan kepada Rima untuk berpamitan kepada suami dan anaknya. Saat baru saja selesai berdebat denganku wanita itu kemudian beralih kepada suaminya sambil memicingkan mata dengan kesal."Hah, suamiku ...." Wanita itu tertawa sih ini sambil memandang Mas Faisal sementara suaminya menjadi heran dengan tingkah istrinya."Rima, maaf karena tidak ada yang bisa kulakukan untuk mendukungmu.""Tentu aja tidak," ucap wanita itu sambil bertepuk tangan ke wajah suaminya. "Kau sedang berada di kubu mutiara, suami dan anakku sudah berpaling dariku dan lebih memilih mantan istrinya. Aku bisa apa?!" Ucapnya Sambil tertawa dan memukul dadanya sendiri. Reno merasa tidak enak pada kami segera mendekat dan mencoba merangkul ibunya."Mama, tenangkanlah diri mama, kami akan cari pengacara agar mama bisa mendapatkan sedikit keringanan hukuman dan tetaplah bersikap baik selama be

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    120. semoga

    Aku masih terdiam memikirkan percakapan kami beberapa saat yang lalu di rumah Mas Faisal. Sementara suamiku di sisiku mengemudi dengan tenang sambil mengikuti beberapa senandung lagu yang diputar di radio."Aku minta maaf ya Mas, aku sempat berpikiran negatif tentang dirimu._"Suamiku hanya menarik nafasnya lalu tersenyum dan menggeleng pelan,"Siapapun bisa berprasangka jika tidak diberi keterangan dengan lengkap. Kalau hanya mendengar berita sepotong-sepotong saja kadang seseorang akan menjadi salah paham. Karena aku menyadarinya, maka aku meluruskannya.""Kenapa kau tidak merasa tersinggung sama sekali atau kecewa padaku yang sudah berprasangka?""Kenapa aku harus bersikap sensitif kepada istriku? Wanita adalah tulang rusuk, kalau dia dipaksa lurus, atau dengan kata lain dia dipaksa untuk selalu pengertian dan memahamiku, maka itu adalah keputusan yang salah.""Aku terkejut karena kau sangat pengertian Mas.""Aku selalu pengertian dari dulu," jawabnya sambil membelokkan kemudi mob

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    119. suami pandai

    "Agak lama rupanya kalian membuat kopi ya," ucap Mas Rusdi sambil menatap diriku dan Reno yang canggung karena dicurigai olehnya."Kami berbincang sebentar, berbasa-basi sambil saling menanyakan kabar karena aku dan reno sudah sama tidak saling menyapa secara pribadi."Lelaki yang telah menjadi suamiku selama 2 tahun lebih itu menatap aku dan mantan suamiku secara bergantian lalu anak tiriku."Aku menangkap kecurigaanmu terhadapku dan aku tahu pasti Reno sudah memberitahu semuanya," ujar Mas Rusdi."Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Mas, ayo minum kopinya," ucapku sambil meletakkan cangkir kopi di depannya."Melalui kesempatan ini aku ingin bicara dari hati ke hati dengan kalian, terutama dengan Faisal.""Ada apa?" tanya Mas Faisal dengan wajah sedikit kaget dan bingung."Aku minta maaf karena apa yang kulakukan sudah sejauh ini cukup menyakiti perasaanmu tapi aku tidak punya pilihan lain untuk mengungkapkan kebenaran sehingga aku harus membawa istrimu ke rumahku. Percayalah,

  • Dua Puluh Tahun Dalam Sandiwara    118. iya

    Melihat sikap suamiku yang seolah berbeda dari kenyataannya, Aku jadi penasaran sudah sejauh apa yang dia lakukan untuk melindungi kami. Aku memang mencintainya dan percaya padanya aku yakin atas semua keputusan dan tindakannya tapi aku tidak ingin dia terlalu berlebihan dan sampai berlumuran dosa.Dosa kemarin saja belum dicuci dan ditebus apalagi sekarang ditambahkan dengan dosa-dosa yang baru. Sungguh aku tak sanggup. Kini kami menyambangi Mas Faisal yang terlihat terbaring di sebuah kasur yang sudah disediakan di ruang tv. Dari dulu kebiasaannya Ia memang suka berada di ruang tengah kalau sedang sakit, agar dia bisa melihat aktivitas anggota keluarga dan tetap bersama dengan orang orang yang dia cintai sepanjang waktu. Tapi itu dulu, saat bersamaku. Kami basa basi sejenak, hingga akhirnya Mas Faisal meminta Reno untuk membuatkan minuman ke dapur."Reno, minta asisten untuk membuatkan kita minuman.""Si mbak lagi libur Pa, aku aja yang buatkan," jawabnya."Biar umi bantu," ujar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status