Tepat jam tujuh pagi aku tiba di kediaman mertua. Segera aku masuk ke dalam rumah, dan menuju kamar yang biasa aku tempati apabila menginap di rumah Ibu. Kamar Mas Ilyas semasa masih lajang dulu.
Kusibak gordyn kamar dengan niat ingin membuka jendela. Aku ingin udara masuk ke kamar ini, agar tercium lebih segar. Biasanya di pagi hari begini, aroma bunga akan menguar dari taman samping.
Suara chat masuk terdengar dari ponselku.
Suami
[Assalamu'alaikum. Kamu sudah sampai rumah Ibu, Nis?]
Segeraku ketik pesan balasan. [Sudah, Mas, baru saja.]
[Ibu tidak mengangkat telpon, Mas, bisa kamu berikan ponselmu pada Ibu? Mas mau video call.]
[Tentu saja Mas. Nisa tunggu]
Aku keluar kamar, dan segera mencari Ibu di kamarnya. Tidak ada.
Mungkin di taman. Tidak ada juga.
"Bi, ada lihat Ibu?" tanyaku pada Bi Siti, asisten rumah tangga yang mengurusi pakaian.
"Biasalah, Non, di kamar Non Sarah.”.
Bergegas aku ke kamar Sarah, karena panggilan video call dari Mas Ilyas sudah satu kali tidak terjawab.
"Sarah, ini Mbak Nisa. Apa Ibu ada di dalam?" tanyaku dari sebalik pintu.
Tak lama pintu terbuka, ternyata Reno yang membukakan.
Terlihat Ibu sedang tiduran di balik selimut bersama Sarah sembari cekikikan tertawa.
"Belum berangkat kerja Ren?" tanyaku masuk.
"Tidak Mbak, kan hari ini orangtua Sarah mau datang."
"Oh iya Mbak lupa."
Kuhampiri Ibu. "Sudah datang ya? Kapan?"
"Sudah, Bu, baru saja. Bu, Mas Ilyas mau video call," ujarku sembari memberikan ponselku pada Ibu.
"Kok nggak ke ponsel Ibu ya" gumam Ibu pelan namun aku masih dapat mendengar. "Kata Mas Ilyas, Ibu tidak mengangkat."
"Oh iya, ponselnya di kamar."
Tak lama ponselku kembali berdering.
Segera Ibu menggeser tampilan gagang telpon berwarna hijau ke atas.
"Hallo sulung Ibu. Ada apa? Rindu toh?"
"Hallo juga Bu, iya, rindu sekali."
"Ponsel Ibu ketinggalan di kamar. Untung pas Nisa kesini. Kalau tidak kamu tidak bisa melepas rindu pada Ibu," ujar Ibu tertawa pelan.
Terlihat Mas Ilyas mengangguk mengiyakan ucapan Ibu.
"Ibu sehatkan? jangan terlalu capek ya Bu. Banyak istirahat dan makan buah, juga jangan terlambat makan dan minum obatnya."
"Iya tenang aja ya. Ibu pasti mau selalu sehat. Apa lagi sekarang Ibu sudah punya mantu baru. Jadi lebih semangat menunggu cucu," ujar Ibu tertawa.
Sedang Mas Ilyas disana hanya diam dengan ekspresi wajah datarnya.
"Bu, mana Reno. Ilyas mau bicara sebentar dengannya."
Ibupun segera memberi ponselku pada Reno.
"Hallo Mas, kapan pulang?" tanya Reno langsung.
"Awal bulan ini Mas pulang Ren."
"Wah senangnya. Nanti kite ke puncak bareng-bareng ya Mas. Aku ingin menunjukan pada Sarah villa dan perkebunan teh keluarga kita."
"Iya, Insha Allah ya Ren."
"Eh, Yas. Belum lihat adik iparmu kan?" Ibu mengambil ponselku dari tangan Reno.
Terlihat Mas Ilyas hanya tersenyum.
"Ayu tenan loh. Karirnya juga bagus. Seneng Ibu," ucap Ibu membanggakan Sarah.
Sarah terlihat senyum-senyum sendiri mendengar pujian Ibu.
"Ini, ini adik iparmu. Sapalah," ujar Ibu lagi mengarahkan layar ponsel pada Sarah.
"Ya Bu, semoga Reno dan istrinya selalu bahagia ya."
Setelah mengatakan itu tiba-tiba video call dari Mas Ilyas terputus.
"Loh kok mati ini," ujar Ibu heran sembari mengembalikan ponsel padaku.
"Mungkin sinyal Bu, namanya juga Mas Ilyas di laut," tambah Reno. Entah mengapa aku melihat perubahan mimik pada wajah Sarah. Ia terlihat kesal. Entahlah, atau hanya perasaanku saja.
"Nis, ayo belanja sudah jam tujuh lewat ini," tegur Ibu.
"Iya Bu," jawabku mengikuti Ibu ke dapur sembari membaca pesan masuk ke ponselku.
Suami
[Maaf Nis, Mas mematikan video callnya begitu saja, Mas tak ingin melihat istri Reno]
Aku mengernyitkan dahi heran, dan mengetik balasan.
[Iya Mas, tidak apa-apa, tapi Ibu sepertinya kecewa. Hmm, mengapa Mas tak ingin melihat wajah istri Reno, adik ipar Mas?]
[Ia, Mas tahu. Nanti Mas akan video call ke ponsel Ibu saja]
[Oke Mas. Mas belum menjawab pertanyaan Nisa] balasku.
Terkirim, dan sudah centang biru dua. Namun tidak di balas. Tidak biasanya. Tapi sudahlah, mungkin Mas Ilyas sedang sibuk.
"Ini ya Nis, Ibu sudah catatkan semuanya disini. Uangnya ambil di atm ya," ucap Ibu sembari memberikan selembar kertas dan kartu atm.
Ibu memang begini. Kartu atm miliknya kerap berpindah ke tanganku.
"Minta antarkan Mang Tardi ya Nis."
"Iya Bu," jawabku sembari menerima pemberian Ibu.
"Mba Nisa, mau ke pasar? Saya ikut ya, temenin Mba," permintaan Sarah membuat wajah Ibu berubah. "Nggak usah, Mba-mu biasa sendiri kok Rah. Kamu disini saja, sama Ibu."
Seperti biasa, Ibu akan selalu menolak jika sesuatunya berhubungan dengan lelahnya Sarah.
"Tapi Sarah ingin ikut Bu, biar lebih dekat dengan Mba Nisa. Kami pergi berdua saja, naik mobil Sarah, jadi Mang Tardi bisa stand bye disini. Mana tahu Ibu membutuhkan Mang Tardi nantinya."
Penjelasan Sarah cukup diterima Ibu. Akhirnya Ibu mengizinkan dengan syarat Sarah hanya menemani tidak membawa serta belanjaan nanti.
"Yuk Mba," ajak Sarah menarik tanganku. Dia terlihat sangat bersemangat. Apa anak orang kaya memang seperti itu, jika melakukan hal yang tidak pernah mereka lakukan, mereka akan selalu bersemangat.
"Kamu nggak izin dulu sama Reno?" tanyaku sesaat setelah mobil yang kami tumpangi meluncur.
"Ah, nggak apa-apa Mba, nantikan kalau dia kecarian dia bisa tanya orang di rumah."
Aku sedikit heran dengan jawaban Sarah, tapi aku lebih memilih diam.
"Kenapa Mba?" tanyanya membelokan stir ke kiri.
Aku hanya tersenyum saja, "heran ya Mba? Aku emang udah sepakat sama Reno, kami nggak boleh terlalu mencampuri ranah pribadi masing-masing. Termasuk urusan mau pergi kemana, dan pulang jam berapa. Yang penting kami masing-masing tidak menghianati pernikahan kami. Kami tidak mau saling mengikat Mba," jawabnya enteng.
Aku terkejut mendengar penuturan Sarah. Apa pernikahan mereka hanya sebatas itu? Atau memang aku saja yang berlebihan.
Bukankah suami-istri tidak seharusnya begitu? Bukankah hubungan yang baik harus lah saling terbuka? Dan, untuk jam pulang, apa tidak salah. Suami atau istri itu harusnya tahu batasan bergaul, harus tahu jam berapa kembali kerumah, bukan bebas seperti masih sendiri. Kalau memang masih mau seperti itu, untuk apa menikah, karena seharusnya pernikahan itu memang mengikat.
"Mba udah sampai. Yuk turun," teguran Sarah mengembalikan kesadaranku.
"Oh sudah ya," jawabku tertawa kecil.
"Mba sih melamun terus. Rindu suami ya." Ia meledekku.
"Rindu pasti lah," ujarku sembari membuka safety belt.
Kami pun keluar bersama dari dalam mobil
"Mba, bawa jalan ya. Aku ngekor di belakang aja."
"Iya, tapi kita ke atm dulu. Ambil uang buat belanja," ujarku sembari menarik lengan Sarah masuk ke dalam atm centre.
"Mba sering belanja gini ya?" tanya Sarah menungguku.
"Nggak juga, tapi sering juga." Aku tertawa menyadari ucapanku yang berantakan.
"Ambil berapa Mba?" tanya Sarah melirik ke arah layar mesin atm.
"Tiga jutaan aja, nanti kalau ada sisa kasih ke Ibu," jawabku sembari menunggu mesin atm mengeluarkan nominal yang kuinginkan.
"Mba, ini kartu Mba?" tanya Sarah kaget setelah layar menampilkan sisa saldo Ibu.
Spontan aku tertawa, "Ya, nggak lah. Kartu Ibu ini."
"Hah? Ibu kasih kartu atm beserta pinnya ke Mba?" Sarah tampak kaget.
"Iya, sering."
"Dengan nominalnya ini?" tanyanya semakin kaget menunjuk layar mesin atm.
"Iya loh Sarah."
"Berani dan percaya ya Ibu."
Hah? Apa katanya barusan. Apa aku tidak salah mendengar.
"Kenapa harus nggak berani, dan nggak percaya Rah? Selama ini Mba nggak pernah menyelewengkan uang Ibu kok. Gaji Mas Ilyas selalu di transfer ke rekening Mba. Setelahnya lalu Mba transfer ke Mas Ilyas secukupnya. Paling banyak satu juta," ujarku lembut namun cukup membuat Sarah salah tingkah.
"Bu--bukan begitu maksud Sarah Mba."
"Udah nggak apa-apa. Nggak masalah," jawabku tersenyum sembari menarik lengan Sarah masuk ke dalam pasar.
Usai berbelanja bahan pokok dan sembako
kami pun berniat segera pulang karena matahari yang semakin meninggi.
Setelah pergi dengan Sarah, aku semakin mengenalnya. Dari yang sejauh ini kulihat, Sarah ada pribadi yang ceria, supel, dan cuek terhadap ucapan orang sekitar. Sangat berbeda jauh denganku, yang lebih banyak diam, dan sering menanggapi ucapan orang dengan mengangguk dan tersenyum. Kurasa itulah yang membuat Ibu dan Kak Rika nyaman di dekatnya.
Setelah memasukkan belanjaan ke mobil. Aku memberikan enam lembar sepuluh ribuan pada dua lelaki yang sedari tadi mengikuti kami untuk membawakan belanjaan.
Ya, aku dan Sarah memang tidak membawa apapun selain tas kami masing-masing. Aku lebih memilih menggunakan jasa orang lain daripada harus aku sendiri yang mengangkat kemana-mana belanjaan sebanyak itu.
"Mba, aku mau tanya, tapi jawab ya. Jangan senyum doang," ujar Sarah sembari menghidupkan mesin mobilnya.
"Iya, Rah. Tanya aja," aku tersenyum, "Mba pasti jawab."
"Mba, nikah sama Mas Ilyas udah berapa lama?"
"Oh itu, masih baru juga Rah. Sekitar setahunan lah."
"Masih manten baru juga dong ya." Ia tertawa kecil.
"Tapi udah di tinggal-tinggal," jawabku menimpali tawanya.
"Ketemu Mas Ilyas dimana Mba?" tanyanya lagi.
"Di kampus, saat saya wisuda. Dikenalkan seorang teman."
Entah mengapa wajah Sarah berubah masam, kudengar dia menggumam pelan menyebut nama seseorang. Riani. Teman di kampus yang mengenalkanku pada Mas Ilyas.
___
Sekembalinya kami dari pasar. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan rumah dengan cemasnya sembari menggulung-gulung ujung bajunya."Duh, kok lama sekali kalian ini? Ibu nggak tenang di rumah loh. Kamu nggak kecapekkan Rah?" tanya Ibu sambil menyambut Sarah, lalu mengajak masuk."Nggak kok, Bu. Malahan seru. Tunggu, Bu. Sarah bantu Mba Nisa turunin belanjaan dulu," tolak Sarah pelan."Udah nggak usah. Mang Tardi kan ada."Aku hanya bisa memandang Ibu nanar. Baru dua hari Sarah menjadi menantu Ibu, tapi ia sudah sangat berhasil mengambil hati Ibu. Sedangkan aku, masih saja tetap menjadi menantu kedua.Sebenarnya sebelum kehadiran Sarah, Ibu juga sudah seperti ini terhadapku. Tapi rasanya tidak sesakit setelah kehadiran Sarah.Ternyata selama ini sikap Ibu padaku bukan karena sifatnya yang memang begitu, tapi karena Ibu tidak menyayangiku."Non, ini semua yang mau diangkat?" tanya Mang Tardi membuyarkan pikiranku."Iya, Mang. Ini saja. Seperti biasa. Sembako, letakkan di lemari stok ya, Ma
Gelisah aku kini. Setelah orangtua dan keluarga Sarah selesai makan, dengan cepat aku membersihkan meja dan mencuci piring. Suara dering ponsel yang merupakan suara panggilan tak lagi bisa kutangkap dengan jelas. Aku benar-benar takut dan cemas kini. Pastinya sesaat lagi setelah semua tamu pulang, aku akan dimarahi Ibu perihal luka ditangan Sarah.Kembali ponsel berdering, segera aku mencuci tangan yang penuh sabun dan busa.Tiga panggilan tak terjawab dari Mas Ilyas.Sebentar aku menunggu, tidak ada lagi panggilan berdering, akhirnya aku melanjutkan pekerjaan."Nis, kenapa tadi tangan Sarah bisa luka?" tanya Kak Rika yang baru menghampiriku."Ngupas bawang dia, Kak. Tapi aku sudah melarangnya.""Emaknya sekarang lagi bahas itu tuh di depan. Sampai bilang ke Ibu, meminta Sarah dan Reno tinggal di rumah orangtua Sarah saja.""Sebegitunya, Kak?" tanyaku terkejut."Iya, kamu sih cari masalah, bukannya berusaha keras dilarang," sungut Kak Rika padaku dan berlalu.Kini degup jantungku sema
Hari ini adalah hari ulang tahun Ibu. Seperti biasa, dan tahun-tahun sebelumnya ulang tahun Ibu adalah waktunya berkumpul semua keluarga tapi tak jarang juga menjadi tempat ajang pamer mengenai jabatan dan harta masing-masing. Ulang tahun Ibu selalu dirayakan dengan meriah. Semua sanak saudara akan di undang. Semua turut bersuka cita jika Ibu ulang tahun. Bahkan warga dan pekerja di kebun teh sering berguyon, seandainya saja Ibu bisa berulang tahun sepuluh kali dalam setahun, tentunya mereka akan sangat bahagia. Sebab di setiap acara ulang tahun Ibu, beliau pasti membuka lebar pintu rumahnya untuk warga yang mayoritasnya adalah pekerja, dimulai dar
Acara ulang tahun Ibu berlangsung meriah. Tampak semua keluarga datang malam ini. Mereka mengenakan setelan dan gaun yang mewah, tak lupa aksesoris dan perhiasan melengkapi.Ibu tampak berjalan kesana kemari sembari menggandeng Sarah. Tampak bahagia dan berbangga. Jelas, Ibu punya alasan yang kuat untuk berbangga diri. Di usianya yang sudah menua, ia masih tampak cantik dan bugar. Tidak kekurangan uang, selalu berbahagia, hanya saja sesekali penyakit tua akan menghampiri pun ketidaksabarannya ingin menimang cucu laki-laki pertama dari anak laki-lakinya. Begitu juga halnya dengan Kak Rika yang tampak asik bercengkrama dengan para keluarga dan kenalannya.Sedang aku disini, duduk di salah satu sudut ruangan sembari menggendong Zahira. Bukan merasa keberatan akan hal itu, hanya saja aku merasa sikap Ibu padaku semakin menyakiti saja sejak kehadiran Sarah dirumah ini. Aku bagai pelengkap rasa dalam masakan, tapi bukan aku bahan utamanya. Namun tetap saja tanpa aku, b
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Acara telah usai, para tamu dan kolega Ibu telah pulang menuju rumah masing-masing, pun hal nya keluarga jauh dan dekat. Hanya Bulek Lani yang akan menginap karena esok Bulek Lani akan ke pabrik juga, mengambil daun teh yang sudah jadi untuk dibawa dan di pasarkan di tempat Bulek Lani tinggal.Aku mencari sosok Ibu sembari membawa nampan yang diatasnya terdapat sebuah gelas dan piring kecil yang berisikan berbagai jenis obat dan vitamin Ibu. Pasti sejak acara tadi Ibu belum meminum obatnya.Pelan kususuri ruangan, tak tampak Ibu berada."Bulek." Perempuan yang kupanggil berbalik dan menghadapku."Apa?""Lihat Ibu nggak, Lek? Mau Nisa ingatkan minum obat," ucapku sembari mengangkat sedikit keatas nampan yang kubawa.""Nggak lihat, Bulek. Mungkin di kamarnya.""Oh, yaudah kalau gitu Nisa ke kamar Ibu dulu ya, Lek.""Iya, pergilah."Akupun berbalik dan menuju kamar Ibu. Pel
Aku terbangun, ketika sebuah sentuhan tangan yang terasa dingin mendarat dipipiku."Bulek," ucapku mengucek mata."Bangun, sudah jam lima. Ayo sholat, Nis," ajak Bulek Lani."Iya, Bulek."Pelan aku berdiri dari tempat tidur, lalu membuka jendela. Seketika aroma subuh hari menguar masuk memenuhi kamar ini. Sepertinya semalam hujan deras, terlihat dari tanah yang basah dan sedikit becek.Usai sholat, segera aku kedapur. Membuat sarapan. Roti bakar, dan teh susu jahe."Walah, Bulek tungguin di kamar rupanya sudah kedapur saja," ucap Bulek Lani yang membuatku sedikit terkejut."Iya, Bulek. Bulek mau teh susu jahe atau teh saja?""Kamu buat teh susu jahe, Nis?""Iya, kalau malam hari hujan, biasa Nisa selalu buat paginya. Kalau nggak buat Ibu nanyain.""Sejak kapan? Dulu juga nggak begitu.""Nggak tahu, Bulek. Tapi kalau Nisa disini selalu begitu,""Hm, sebenarnya Mbakyu itu sejak ada kamu j
[Assalamu'alaikum, Mas. Lagi sibuk?]Kukirim pesan untuk Mas Ilyas. Sembari menunggu hujan reda. Saat ini aku berada di sekolah, sudah pulang hanya tertahan menunggu karena hujan yang turun dengan derasnya. Kulirik arloji di tangan. Masih jam dua siang. Tapi karena hujan dan cuaca yang gelap tampak seperti sudah akan maghrib. Sembari menunggu, iseng aku membuka akun sosial media berwarna biru. Ah, sudah lama rasanya aku tak membuka akun media sosialku ini. Terakhir saat mengupload photo pernikahan saja.Tiga akun permintaan pertemanan. Dua kuabaikan, sedang satunya kuamati. Menarik perhatian. Kuklik akun facebook atas nama 'SarLyas' itu. Aku mengerutkan dahi.Satu teman yang sama. Hm, siapa ya?Degh. Haikalan Ilyasa. Suamiku. Kulihat tanggal akun tersebut meminta pertemanan padaku. Satu tahun lalu. Sudah lama. Pelan, kutelusuri akun tersebut. Tak ada data yang begitu akurat. Hanya tanggal lahir tanpa tahun, pun photo prof
Flashback on"Nis, Mas tak pandai mengatakan hal panjang lebar. Merayu seorang wanita bagi Mas sama sulitnya dengan mengukir di atas air. Langsung saja ya. Untuk kedua kalinya, mau kah Nisa menerima Mas? Mas ingin Nisa menjadi istri Mas. Perempuan yang akan menemani Mas dalam suka dan duka. Perempuan yang memberikan Mas anak-anak yang sholeh dan sholeha. Jika Nisa menerima, Mas akan mengenalkan Nisa pada orang tua Mas."Kupandangi bergantian lelaki dan perempuan di depanku. Lelaki dan perempuan yang Allah jadikan sebagai orang tuaku. Tampak Bapak mengangguk dan Ibu menangis sembari tersenyum. Mereka menyetujui. Kehadiran Mas Ilyas yang kukira untuk bersilaturahmi karena suasana lebaran, ternyata juga menjadi awal mula titik kehidupan baru bagi hidupku."Nisa, akan menerima, jika Bapak dan Ibu merestui, Mas," jawabku."Pasti, Nis. Restu orang tua kamu yang pertama. Mas sudah meminta Nisa pada Bapak dan Ibu jauh hari sebelum hari ini."