Share

Bab 4 (Sebuah pertanyaan)

Tepat jam tujuh pagi aku tiba di kediaman mertua. Segera aku masuk ke dalam rumah, dan menuju kamar yang biasa aku tempati apabila menginap di rumah Ibu. Kamar Mas Ilyas semasa masih lajang dulu.

Kusibak gordyn kamar dengan niat ingin membuka jendela. Aku ingin udara masuk ke kamar ini, agar tercium lebih segar. Biasanya di pagi hari begini, aroma bunga akan menguar dari taman samping.

Suara chat masuk terdengar dari ponselku.

Suami

[Assalamu'alaikum. Kamu sudah sampai rumah Ibu, Nis?]

Segeraku ketik pesan balasan. [Sudah, Mas, baru saja.]

[Ibu tidak mengangkat telpon, Mas, bisa kamu berikan ponselmu pada Ibu? Mas mau video call.]

[Tentu saja Mas. Nisa tunggu]

Aku keluar kamar, dan segera mencari Ibu di kamarnya. Tidak ada.

Mungkin di taman. Tidak ada juga.

"Bi, ada lihat Ibu?" tanyaku pada Bi Siti, asisten rumah tangga yang mengurusi pakaian.

"Biasalah, Non, di kamar Non Sarah.”.

Bergegas aku ke kamar Sarah, karena panggilan video call dari Mas Ilyas sudah satu kali tidak terjawab.

"Sarah, ini Mbak Nisa. Apa Ibu ada di dalam?" tanyaku dari sebalik pintu.

Tak lama pintu terbuka, ternyata Reno yang membukakan.

Terlihat Ibu sedang tiduran di balik selimut bersama Sarah sembari cekikikan tertawa.

"Belum berangkat kerja Ren?" tanyaku masuk.

"Tidak Mbak, kan hari ini orangtua Sarah mau datang."

"Oh iya Mbak lupa."

Kuhampiri Ibu. "Sudah datang ya? Kapan?"

"Sudah, Bu, baru saja. Bu, Mas Ilyas mau video call," ujarku sembari memberikan ponselku pada Ibu.

"Kok nggak ke ponsel Ibu ya" gumam Ibu pelan namun aku masih dapat mendengar. "Kata Mas Ilyas, Ibu tidak mengangkat."

"Oh iya, ponselnya di kamar."

Tak lama ponselku kembali berdering.

Segera Ibu menggeser tampilan gagang telpon berwarna hijau ke atas.

"Hallo sulung Ibu. Ada apa? Rindu toh?"

"Hallo juga Bu, iya, rindu sekali."

"Ponsel Ibu ketinggalan di kamar. Untung pas Nisa kesini. Kalau tidak kamu tidak bisa melepas rindu pada Ibu," ujar Ibu tertawa pelan.

Terlihat Mas Ilyas mengangguk mengiyakan ucapan Ibu.

"Ibu sehatkan? jangan terlalu capek ya Bu. Banyak istirahat dan makan buah, juga jangan terlambat makan dan minum obatnya."

"Iya tenang aja ya. Ibu pasti mau selalu sehat. Apa lagi sekarang Ibu sudah punya mantu baru. Jadi lebih semangat menunggu cucu," ujar Ibu tertawa.

Sedang Mas Ilyas disana hanya diam dengan ekspresi wajah datarnya.

"Bu, mana Reno. Ilyas mau bicara sebentar dengannya."

Ibupun segera memberi ponselku pada Reno.

"Hallo Mas, kapan pulang?" tanya Reno langsung.

"Awal bulan ini Mas pulang Ren."

"Wah senangnya. Nanti kite ke puncak bareng-bareng ya Mas. Aku ingin menunjukan pada Sarah villa dan perkebunan teh keluarga kita."

"Iya, Insha Allah ya Ren."

"Eh, Yas. Belum lihat adik iparmu kan?" Ibu mengambil ponselku dari tangan Reno.

Terlihat Mas Ilyas hanya tersenyum.

"Ayu tenan loh. Karirnya juga bagus. Seneng Ibu," ucap Ibu membanggakan Sarah.

Sarah terlihat senyum-senyum sendiri mendengar pujian Ibu.

"Ini, ini adik iparmu. Sapalah," ujar Ibu lagi mengarahkan layar ponsel pada Sarah.

"Ya Bu, semoga Reno dan istrinya selalu bahagia ya."

Setelah mengatakan itu tiba-tiba video call dari Mas Ilyas terputus.

"Loh kok mati ini," ujar Ibu heran sembari mengembalikan ponsel padaku.

"Mungkin sinyal Bu, namanya juga Mas Ilyas di laut," tambah Reno. Entah mengapa aku melihat perubahan mimik pada wajah Sarah. Ia terlihat kesal. Entahlah, atau hanya perasaanku saja.

"Nis, ayo belanja sudah jam tujuh lewat ini," tegur Ibu.

"Iya Bu," jawabku mengikuti Ibu ke dapur sembari membaca pesan masuk ke ponselku.

Suami

[Maaf Nis, Mas mematikan video callnya begitu saja, Mas tak ingin melihat istri Reno]

Aku mengernyitkan dahi heran, dan mengetik balasan.

[Iya Mas, tidak apa-apa, tapi Ibu sepertinya kecewa. Hmm, mengapa Mas tak ingin melihat wajah istri Reno, adik ipar Mas?]

[Ia, Mas tahu. Nanti Mas akan video call ke ponsel Ibu saja]

[Oke Mas. Mas belum menjawab pertanyaan Nisa] balasku.

Terkirim, dan sudah centang biru dua. Namun tidak di balas. Tidak biasanya. Tapi sudahlah, mungkin Mas Ilyas sedang sibuk.

"Ini ya Nis, Ibu sudah catatkan semuanya disini. Uangnya ambil di atm ya," ucap Ibu sembari memberikan selembar kertas dan kartu atm.

Ibu memang begini. Kartu atm miliknya kerap berpindah ke tanganku.

"Minta antarkan Mang Tardi ya Nis."

"Iya Bu," jawabku sembari menerima pemberian Ibu.

"Mba Nisa, mau ke pasar? Saya ikut ya, temenin Mba," permintaan Sarah membuat wajah Ibu berubah. "Nggak usah, Mba-mu biasa sendiri kok Rah. Kamu disini saja, sama Ibu."

Seperti biasa, Ibu akan selalu menolak jika sesuatunya berhubungan dengan lelahnya Sarah.

"Tapi Sarah ingin ikut Bu, biar lebih dekat dengan Mba Nisa. Kami pergi berdua saja, naik mobil Sarah, jadi Mang Tardi bisa stand bye disini. Mana tahu Ibu membutuhkan Mang Tardi nantinya."

Penjelasan Sarah cukup diterima Ibu. Akhirnya Ibu mengizinkan dengan syarat Sarah hanya menemani tidak membawa serta belanjaan nanti.

"Yuk Mba," ajak Sarah menarik tanganku. Dia terlihat sangat bersemangat. Apa anak orang kaya memang seperti itu, jika melakukan hal yang tidak pernah mereka lakukan, mereka akan selalu bersemangat.

"Kamu nggak izin dulu sama Reno?" tanyaku sesaat setelah mobil yang kami tumpangi meluncur.

"Ah, nggak apa-apa Mba, nantikan kalau dia kecarian dia bisa tanya orang di rumah."

Aku sedikit heran dengan jawaban Sarah, tapi aku lebih memilih diam.

"Kenapa Mba?" tanyanya membelokan stir ke kiri.

Aku hanya tersenyum saja, "heran ya Mba? Aku emang udah sepakat sama Reno, kami nggak boleh terlalu mencampuri ranah pribadi masing-masing. Termasuk urusan mau pergi kemana, dan pulang jam berapa. Yang penting kami masing-masing tidak menghianati pernikahan kami. Kami tidak mau saling mengikat Mba," jawabnya enteng.

Aku terkejut mendengar penuturan Sarah. Apa pernikahan mereka hanya sebatas itu? Atau memang aku saja yang berlebihan.

Bukankah suami-istri tidak seharusnya begitu? Bukankah hubungan yang baik harus lah saling terbuka? Dan, untuk jam pulang, apa tidak salah. Suami atau istri itu harusnya tahu batasan bergaul, harus tahu jam berapa kembali kerumah, bukan bebas seperti masih sendiri. Kalau memang masih mau seperti itu, untuk apa menikah, karena seharusnya pernikahan itu memang mengikat.

"Mba udah sampai. Yuk turun," teguran Sarah mengembalikan kesadaranku.

"Oh sudah ya," jawabku tertawa kecil.

"Mba sih melamun terus. Rindu suami ya." Ia meledekku.

"Rindu pasti lah," ujarku sembari membuka safety belt.

Kami pun keluar bersama dari dalam mobil

"Mba, bawa jalan ya. Aku ngekor di belakang aja."

"Iya, tapi kita ke atm dulu. Ambil uang buat belanja," ujarku sembari menarik lengan Sarah masuk ke dalam atm centre.

"Mba sering belanja gini ya?" tanya Sarah menungguku.

"Nggak juga, tapi sering juga." Aku tertawa menyadari ucapanku yang berantakan.

"Ambil berapa Mba?" tanya Sarah melirik ke arah layar mesin atm.

"Tiga jutaan aja, nanti kalau ada sisa kasih ke Ibu," jawabku sembari menunggu mesin atm mengeluarkan nominal yang kuinginkan.

"Mba, ini kartu Mba?" tanya Sarah kaget setelah layar menampilkan sisa saldo Ibu.

Spontan aku tertawa, "Ya, nggak lah. Kartu Ibu ini."

"Hah? Ibu kasih kartu atm beserta pinnya ke Mba?" Sarah tampak kaget.

"Iya, sering."

"Dengan nominalnya ini?" tanyanya semakin kaget menunjuk layar mesin atm.

"Iya loh Sarah."

"Berani dan percaya ya Ibu."

Hah? Apa katanya barusan. Apa aku tidak salah mendengar.

"Kenapa harus nggak berani, dan nggak percaya Rah? Selama ini Mba nggak pernah menyelewengkan uang Ibu kok. Gaji Mas Ilyas selalu di transfer ke rekening Mba. Setelahnya lalu Mba transfer ke Mas Ilyas secukupnya. Paling banyak satu juta," ujarku lembut namun cukup membuat Sarah salah tingkah.

"Bu--bukan begitu maksud Sarah Mba."

"Udah nggak apa-apa. Nggak masalah," jawabku tersenyum sembari menarik lengan Sarah masuk ke dalam pasar.

Usai berbelanja bahan pokok dan sembako

kami pun berniat segera pulang karena matahari yang semakin meninggi.

Setelah pergi dengan Sarah, aku semakin mengenalnya. Dari yang sejauh ini kulihat, Sarah ada pribadi yang ceria, supel, dan cuek terhadap ucapan orang sekitar. Sangat berbeda jauh denganku, yang lebih banyak diam, dan sering menanggapi ucapan orang dengan mengangguk dan tersenyum. Kurasa itulah yang membuat Ibu dan Kak Rika nyaman di dekatnya.

Setelah memasukkan belanjaan ke mobil. Aku memberikan enam lembar sepuluh ribuan pada dua lelaki yang sedari tadi mengikuti kami untuk membawakan belanjaan.

Ya, aku dan Sarah memang tidak membawa apapun selain tas kami masing-masing. Aku lebih memilih menggunakan jasa orang lain daripada harus aku sendiri yang mengangkat kemana-mana belanjaan sebanyak itu.

"Mba, aku mau tanya, tapi jawab ya. Jangan senyum doang," ujar Sarah sembari menghidupkan mesin mobilnya.

"Iya, Rah. Tanya aja," aku tersenyum, "Mba pasti jawab."

"Mba, nikah sama Mas Ilyas udah berapa lama?"

"Oh itu, masih baru juga Rah. Sekitar setahunan lah."

"Masih manten baru juga dong ya." Ia tertawa kecil.

"Tapi udah di tinggal-tinggal," jawabku menimpali tawanya.

"Ketemu Mas Ilyas dimana Mba?" tanyanya lagi.

"Di kampus, saat saya wisuda. Dikenalkan seorang teman."

Entah mengapa wajah Sarah berubah masam, kudengar dia menggumam pelan menyebut nama seseorang. Riani. Teman di kampus yang mengenalkanku pada Mas Ilyas.

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status