Share

Bab 5 (Luka yang jadi masalah)

Sekembalinya kami dari pasar. Ternyata Ibu sudah berdiri di depan rumah dengan cemasnya sembari menggulung-gulung ujung bajunya.

"Duh, kok lama sekali kalian ini? Ibu nggak tenang di rumah loh. Kamu nggak kecapekkan Rah?" tanya Ibu sambil menyambut Sarah, lalu mengajak masuk.

"Nggak kok, Bu. Malahan seru. Tunggu, Bu. Sarah bantu Mba Nisa turunin belanjaan dulu," tolak Sarah pelan.

"Udah nggak usah. Mang Tardi kan ada."

Aku hanya bisa memandang Ibu nanar. Baru dua hari Sarah menjadi menantu Ibu, tapi ia sudah sangat berhasil mengambil hati Ibu. Sedangkan aku, masih saja tetap menjadi menantu kedua.

Sebenarnya sebelum kehadiran Sarah, Ibu juga sudah seperti ini terhadapku. Tapi rasanya tidak sesakit setelah kehadiran Sarah.

Ternyata selama ini sikap Ibu padaku bukan karena sifatnya yang memang begitu, tapi karena Ibu tidak menyayangiku.

"Non, ini semua yang mau diangkat?" tanya Mang Tardi membuyarkan pikiranku.

"Iya, Mang. Ini saja. Seperti biasa. Sembako, letakkan di lemari stok ya, Mang," pesanku pada Mang Tardi.

Segera kuangkat beberapa bahan basah yang akan aku masak sebentar lagi.

"Nis, kamu lihat Bi Siti?" tanya Ibu padaku.

"Tidak, Bu. Nisa baru saja masuk, dan langsung ke dapur. Oh iya, ini kartu atm Ibu," ujarku sembari menyerahkan kartu atm milik Ibu. Aku memang tidak pernah mau berlama-lama memegangnya.

"Pegang saja, Ibu percaya sama mantu Ibu," ucap Ibu sembari memegang pipiku lembut.

Ah, rasanya menyenangkan sekali.

"Ibu mau perlu apa cari Bi Siti? Ada yang Ibu perlukan?"

"Tidak, Ibu hanya mau minta Bi Siti pijit betis dan kaki Sarah sebentar. Sepertinya dia kelelahan habis menemanimu ke pasar. Kamu langsung memasak saja ya Nis. Oh ya, lain kali, jika Sarah meminta hal seperti ini lagi, kamu tolak saja, karena Ibu sendiri tidak bisa menolak permintaannya. Ibu takut ia tersinggung," ucap Ibu tersenyum.

Hilang sudah perasaan senang atas ucapan Ibu tadi.

Bu, mengapa Ibu selalu seperti ini. Mengangkat aku tinggi-tinggi ke langit, lalu sekejap kemudian membantingku hingga ke dasar bumi.

"Ya, Bu. Tapi Nisa mandi dulu ya, Bu sebelum memasak. Badan Nisa rasanya lengket."

"Iya, mandilah. Biar bersih mantu tertua Ibu."

Ibu, mulai lagi. "Nisa permisi, Bu," pamitku pada Ibu.

Aku tak ingin mendengar kembali hal yang menyakitkan.

**

"Mba, lagi masak apa?" tanya Sarah, saat aku sedang mengupas bawang.

"Belum tahu, tunggu Ibu datang. Saat ini hanya mengupas bawang saja."

"Aku bantuin ya, Mba," ucap Sarah langsung mengambil pisau di rak.

Aku kembali teringat ucapan Ibu tadi. Langsung saja aku menolaknya pelan.

"Tapi, Sarah mau bantu. Sarah kan juga menantu. Sarah punya hak, dan kewajiban yang sama dengan Mba, di rumah ini," ucap Sarah mulai mengupasi bawang merah di sebelahku.

Entah apa maksud Sarah mengenai hak dan kewajiban yang sama di rumah ini.

Aku tersenyum, "Jangan ya, nanti kamu kelelahan. Ibu yang repot."

Baru saja aku hendak mengambil pisau dari tangan Sarah, tiba-tiba ia memekik kuat.

"Aaauuu," ucapnya memegangi jarinya.

"Kamu kena pisau, Rah? tanyaku cemas.

"Iya, Mba. Aduh perihnya." Ia meringis.

Dengan sigap aku menuju kotak p3k di lemari. Mengambil alkohol, betadine, kasa, kapas, dan plester luka.

Rasanya jantungku berdegup kuat, keringat dingin sudah mengucur deras dari dahiku. Pelan, aku membersihkan dan mengobati luka di jari Sarah, melakukannya sungguh dengan hati-hati. Aku memperlakukan Sarah layaknya anak kecil yang terluka. Aku sungguh takut. Takut Ibu akan marah.

"Sudah, Rah. Masih perih?" tanyaku sembari memutar balutan terakhir di jari Sarah.

"Sudah lebih baik Mba, terimakasih ya. Mas Ilyas sungguh beruntung memiliki istri seperti Mba," ucapnya seraya tersenyum.

"Sama-sama. Tapi kenapa larinya ke Mas Ilyas? Jauh sekali," jawabku tertawa kecil.

Terlihat perubahan di wajah Sarah. "Kan benar yang aku bilang Mba, nggak mungkin yang beruntung si Reno, kan." Ia tertawa.

"Sudah, kamu duduk saja. Biar Mba yang masak."

"Ish, aku mau bantu loh Mba," tolak Sarah.

"Kamu ini ngeyel ya. Ntar, Mba di marahin Ibu lagi.

"Hah? dimarahi Ibu lagi? Kenapa?"

"Ibu nggak bolehin kamu capek apalagi sakit. Sudah, duduk sana," perintahku pada Sarah.

"Serius Mba?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk mengiyakan.

Setelahnya Sarah tersenyum-senyum sendiri entah karena apa.

"Mba, aku duduk gini, ngapain? Mandorin Mba aja. Bosen Mba," ucapnya manja.

"Yaudah, cuciin aja itu bahan yang udah siap."

"Oke, Mba," jawabnya berdiri dan mulai mencuci bahan masakan.

"Sudah mulai masak Nis?" suara Ibu terdengar memenuhi ruang dapur.

"Sarah, kamu ngapain?" tanya Ibu cemas.

"Nyuciin ini saja, Bu."

"Nisaaaaa, Ibu kan sudah --,"

"Sarah yang mau, Bu. Sarah kan juga mantu Ibu. Sarah mau bantu Mba Nisa. Lagi pula ini semua kan untuk menyambut orangtua dan keluarga Sarah," jawab Sarah panjang lebar memotong ucapan Ibu.

"Itu tanganmu kenapa Rah?" pekik Ibu terkejut menarik tangan Sarah, "tadikan nggak ada."

Sebegitunya Ibu memperhatikan tubuh Sarah.

"Nggak apa-apa Bu. Hanya terkena pisau sedikit saat mengupas bawang tadi," jawab Sarah.

"Loh, kok bisa? Siapa yang suruh?"

"Nggak ada kok, Bu. Sarah mau sendiri," jawab Sarah menyengir hingga menunjukkan deretan gigi rapinya.

"Hm, kamu yang izinkan Nis?" tanya Ibu dengan suara sedikit meninggi.

Sungguh kini, rasa takutku semakin menjadi.

Gemetar aku mengiris bawang, hingga tanpa sadar akupun sudah mengiris jariku sendiri. Lekas kubalut jariku dengan baju yang aku kenakan. Kugigiti bibirku untuk mengurangi rasa sakitnya.

"Nisa! Ibu bertanya. Lihat Ibu," bentak Ibu kuat.

Aku berbalik dengan tubuh yang gemetar. Sejak dulu aku memang tidak bisa di bentak. Sebab Bapak, dan Ibu pun tidak pernah mendidik aku dan adik-adikku seperti itu.

"Ya ampun, Mba. Tangan Mba kenapa?" Sarah histeris melihat bajuku yang sudah penuh darah.

"Sini, Mba. Aku obati ya." Sarah berjalan ke arahku. Tapi, Ibu menahan Sarah dengan menarik lengannya.

"Biarkan saja. Dia memang ceroboh. Melukai jarinya sendiri saja dia bisa, apalagi melukai jarimu," ucap Ibu tajam.

"Ti-tidak begitu Bu." Aku membela diri dengan terbata-bata.

"Sudahlah. Ibu tidak ingin mendengar apapun. Masak saja yang benar. Jika ada yang tidak kamu mengerti, kamu bisa tanya Ibu," ucap Ibu berlalu mengajak serta Sarah.

Tak lagi bisa kurasakan perih di tangan, berganti menjadi perih dihati.

Ibu, mengapa ucapanmu setajam belati.

Aku memasak dengan airmata yang terus menetes. Rasa perih semakin menjadi ketika, Ibu kembali memintaku untuk mengiris bawang guna membuat sambal kecap.

Lengkap sudah. Aku merasakan perih di tiga tempat dalam waktu yang bersamaan. Hati, tangan, dan mata.

"Bu, menu yang Ibu minta sudah selesai semua," ucapku pada Ibu di kamar Sarah.

Mereka berdua terlihat asyik bermain ludo di tablet bermerk apel setengah tergigit milik Sarah.

"Ya, sebentar lagi Ibu ke dapur," jawab Ibu fokus tanpa melihatku.

Aku pun kembali beranjak ke dapur. Daripada memikirkan ucapan Ibu, lebih baik aku menata piring dan gelas di meja.

Ibu dan Sarah datang bersamaan dengan selesainya aku menata semuanya.

"Wah, Mba Nisa keren. Bisa masak semua ini dalam waktu tiga jam. Pengen banget bisa jago masak seperti Mba Nisa ini," ucap Sarah sembari mengelus pelan lenganku.

"Setiap perempuan punya kelebihannya masing-masing Rah. Kamu dengan karirmu yang cemerlang, dan Mbakmu dengan cabai dan bawangnya di dapur," ujar Ibu sembari menyicipi masakanku, "Hm, selalu enak. Semuanya pas."

Ucapan Ibu lagi-lagi berhasil mengurangi kesedihanku.

"Sudah, ayo kita bersiap. Sebentar lagi pasti tamu penting kita sampai," suruh Ibu.

"Iya, Bu. Sejam yang lalu, Papa bilang sudah mau berangkat," tambah Sarah.

Kami pun bergegas ke kamar masing-masing.

**

Tak lama keluarga dan orangtua Sarah tiba di rumah. Aku sungguh terkejut.

Lima mobil, dan enam sepeda motor. Kata Sarah, hanya keluarga inti saja belum keseluruhan. Inti saja seperti ini, bagaimana jika keseluruhannya. Tiga dari ke lima mobil ternyata di isi oleh anak-anak.

Saat mereka datang, aku di minta Ibu untuk serta menyambut mereka.

Sapa, tawa, dan senyum terurai dari mulut mereka dan penghuni rumah.

Ibu dan orangtua Sarah masuk di persilahkan Ibu. Sedang aku memilih berjalan di belakang rombongan. Terlihat keluarga Sarah berdecak kagum dan berbisik-bisik melihat rumah Ibu. Bahkan ada yang menyentuh beberapa bunga kristal dan guci. Sedang anak-anak berlarian kesana kemari menyentuh, dan memegang apa saja, tanpa orangtua dari mereka menjaga atau melarang.

Aku sedikit heran dengan apa yang aku lihat. Kenapa keluarga Sarah yang setahuku adalah orang kaya dan terpandang di kota bisa berperilaku seperti ini? Dan, anak-anak mereka terlihat seperti tidak diajari.

Masih dapat kuingat dengan jelas, bagaimana dulu saat keluargaku yang orang kampung datang kesini. Hanya beberapa keluarga inti saja, dan tiga orang anak-anak. Dan jelas kelakuan keluargaku berbanding terbalik dengan keluarga Sarah.

Ah, apa orang kaya dan terpandang memang sudah hilang sopan santun dan etika?

Ibu langsung mempersilahkan mereka makan, karena waktu juga sudah masuk jam makan siang.

Keluarga Sarah tampak memandangi hidangan di meja dengan serius.

"Mari makan semuanya. Ini semua menantu saya yang masak," ucap Ibu.

"Sarah?" tanya Mama Sarah, heran.

"Bukan, menantu saya yang paling besar, Bu. Nisa," jawab Ibu sembari merangkul bahuku.

"Oh ini, istrinya Ilyas?" tanya Mama Sarah.

"Iya, benar, Tante. Istri Ilyas," jawab Kak Rika tersenyum yang baru saja kembali dari luar.

Ibu, dan Kak Rika ternyata tidak menyadari sesuatu atas ucapan Mama Sarah.

"Duduk sini, Ma. Di sebelah Sarah," pinta Sarah pada Mamanya.

"Mari makan semuanya," ajak Ibu.

"Jari, kamu kenapa sayang?" tanya Mama Sarah.

"Oh, nggak apa-apa, Ma. Hanya terkena pisau sedikit saja tadi."

"Pisau? untuk apa memegang pisau?" tanya Mama Sarah lagi sembari menarik tangan Sarah untuk melihat.

"Teriris saat mengupas bawang, Ma. Tidak apa-apa. Sudah di obati Mba Nisa kok."

"Bawang? kamu masak?" tanya Mama Sarah dengan mimik wajah terkejut.

"Belajar, Ma. Tapi tidak jadi kok. Ayo makan, Ma."

"Wah, dua puluh lima tahun kamu tinggal sama Mama nggak pernah sekalipun Mama memintamu ke dapur. Tapi baru dua hari kamu jadi istri Reno dan menantu disini, kamu sudah diminta memasak Rah? Kalau akhirnya kamu ke dapur juga, sia-sia dong ya, sekolah dan ilmumu. Sayangnya uang Mama sekolahkan kamu dulu," ujar Mama Sarah tertawa.

Spontan semua orang yang ada disana memandang Mama Sarah lekat.

Ucapan Mama Sarah, membuat mata Ibu melotot ke arahku.

___

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status