Seruan lagu ulang tahun mulai menggema. Tepukan tangan juga ikut menyerta. Tak lupa dengan kue ulang tahun yang tinggi bak menara. Menandakan jika yang merayakan bukanlah orang biasa. Harris Atmadjiwo tengah berulang tahun hari ini. Usianya tepat menginjak 70 tahun. Meski sudah lanjut usia, tak membuatnya lupa untuk merayakan. Bersama teman dan keluarga, dia mengadakan pesta. Cukup besar tetapi diadakan secara intim. "Selamat ulang tahun, Pak Harris. Semoga panjang umur, sehat selalu, sukses selalu, semua doa yang terbaik buat Bapak." Salah satu ucapan yang terdengar jelas di telinga. Begitu banyak ucapan yang terlontar malam ini. Terdengar klasik, tetapi semuanya terucap dari bibir orang-orang penting. Lalu Shana Arkadewi juga hadir di sana. Sebagai pendamping dari anak bungsu tercinta. Jika bukan karena suaminya, mungkin dia tidak akan hadir di sana, berada di tengah orang-orang yang bergelimang harta. Ayo lah, meski hidup Shana tidak kekurangan, tetap saja dia merasa ada
Akhirnya hari ini tiba, hari di mana Erina akan melepas masa lajangnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya ia juga mendapatkan kebahagiaannya. Bukan tanpa alasan Erina mendunda. Dulu, dia harus fokus pada Shana. Jujur saja, apa yang dialami Shana cukup membuatnya sakit kepala. Mulai dari skandal yang ada, pernikahan kontraknya, yang kemudian berakhir dengan terbongkarnya tersangka utama penghancur keluarga mereka. Namun Erina tak menyesalinya. Semua itu tak berakhir sia-sia. Secara perlahan, satu-persatu dari mereka mendapatkan kebahagiannya. Dengan balutan kebaya bewarna merah hati, Shana tampak jauh kebih menawan. Kulitnya yang bersih tampak kontras dengan warna kebayanya. Tak lupa juga dengan rambut panjangnya yang digulung sederhana tetapi tetap terkesan mewah. Intinya, aura kecantikan Shana Arkadewi benar-benar terpancar. "Di mana jam tangan saya?" tanya Ndaru membongkar isi kopernya. "Ada di sana. Semalam udah saya masukin," jawab Shana masih fokus dengan lensa ma
Awalnya, Shana kira meminta restu pada Erina adalah satu-satunya kejutan yang Ndaru berikan. Namun ternyata tidak. Sepulangnya dari rumah Erina, Ndaru tidak langsung membawanya pulang, melainkan menuju tempat yang mampu membuat jantung Shana berdegup kencang. Secara mendadak dia merasa mual dengan tangan yang mendadak dingin. Apa lagi saat mobil Ndaru sudah terparkir sempurna di halaman rumah yang asri dan begitu luas. Rumah siapa lagi jika bukan kediaman sang ketua, yaitu Harris Atmadjiwo. Shana yakin apa yang di kepalanya saat ini akan terjadi. Ndaru, pria itu membawanya untuk meminta restu. Sekarang Shana ikut merasakan bagaimana gugupnya Ndaru saat berhadapan dengan Erina. "Pak, saya takut." Shana menahan lengan Ndaru yang akan keluar dari mobil. "Ada saya." "Tetep aja," decak Shana. Ndaru mengerutkan dahinya. "Kenapa takut? Bukannya selama ini kamu selalu bertengkar sama Papa? Saya nggak liat ada raut takut di wajah kamu sebelumnya." Benar juga. Seketika Shan
Dalam waktu 24 jam, banyak hal yang bisa terjadi. Bagai jungkir balik, keadaan bisa langsung berubah 180 derajat. Itu yang Shana rasakan saat ini. Shana masih belum melupakan rasanya rindu akan rumah. Keinginan untuk kembali ke rumah begitu kuat. Namun dia hanya bisa menahannya. Namun sekarang, Shana benar-benar merasakannya. Pagi ini, detik ini, dia kembali ke rumah. Rumahnya bersama Handaru Atmadjiwo. "Bu, yang benerin pintu belum selesai?" tanya Bibi Lasmi yang membantu Shana di dapur. Meski sudah ada Bibi Lasmi, tetapi Shana tetap ikut turun tangan untuk mengolah isi dapur. Memasak adalah salah satu kegiatan yang ia sukai. Selain itu, dia juga ingin memperhatikan gizi anak dan suaminya. Ya, benar. Anak dan suaminya. Bolehkah Shana menyebutnya demikian sekarang? Setelah pergulatan batin dan fisik semalam, baik Shana dan Ndaru berhasil mencurahkan isi hati. Yang hasilnya cukup memuaskan. Pilihan yang sangat baik untuk semuanya. Yang akhirnya sama-sama membawa kebahagiaan
Terjebak dalam situasi yang tak diinginkan memang menegangkan. Menimbulkan rasa sesak yang sulit untuk dihilangkan. Rasa pasrah pun turut menjadi bagian. Hingga lambai tangan seolah menjadi akhir pilihan. Akan tetapi… Jangankan untuk melambaikan tangan, lolos dari rengkuhan pun sepertinya tak akan. Shana memejamkan matanya erat, berusaha untuk menyingkirkan lengan besar yang melilit tubuhnya. Sebenarnya mudah, hanya saja Shana tak mau membuat si pemilik tangan itu ikut terbangun, karena tujuannya saat ini adalah melarikan diri. Ya, setelah kesadarannya kembali. Shana ingin kembali melarikan diri. Dengan pelan tapi pasti akhirnya Shana bisa lolos. Hela napas lega keluar begitu saja dari bibirnya. Shana sangat bersyukur jika Ndaru dalam keadaan benar-benar pulas saat ini. Jika tidak, entah apa yang bisa ia lakukan saat ini untuk menghadapi Ndaru. Jujur saja, Shana masih belum tahu bagaimana akan bersikap saat berhadapan dengan Ndaru nanti. Bagaimana bisa dia lupa diri d
Hari berlalu begitu cepat. Sudah dua hari Shana selalu berada di tempat. Merawat Juna sepenuh hati di rumah sakit sampai kembali sehat. Tepat hari ini, Juna diperbolehkan pulang yang membuatnya senang sampai melompat-lompat. "Mama nanti pulang ke rumah, kan?" Pertanyaan sederhana yang mampu membuat hati Shana tercubit. "Iya." Shana tersenyum. "Nanti Mama antar Mas Juna pulang." Kalimat pernuh arti yang sayangnya belum sepenuhnya dipahami oleh anak kecil seperti Juna. "Bu, semua barang sudah masuk tas," kata Bibi Lasmi. "Kalau gitu ayo kita pulang." Shana berniat untuk menggendong Juna yang masih melompat-lompat. "Biar saya yang gendong Mas Juna, Bu." Suster Nur tampak sungkan. Shana menggeleng cepat. "Biar saya aja, Sus. Setelah ini saya nggak tau kapan lagi bisa ketemu Mas Juna." Setelah itu dia berlalu, meninggalkan dua asisten rumah tangga yang berdiri lemah dengan gelengan kepala. "Kapan Bapak sama Ibu sadar, ya, Bi?" bisik Suster Nur sambil mengambil tas-tas