‘Apa katanya tadi? Jangan panggil saya bapak! Dih mukanya aja mendukung untuk di panggil bapak,’ gumannya.
Naya berdecih. Kenapa sih laki-laki itu selalu membuat dirinya kesal, namun di balik sisi menyebalkan suaminya itu ternyata ada sisi perhatiannya juga.Tapi apakah mungkin suaminya itu akan berubah menjadi suami yang perhatian dan romantis‘Mustahil ngga sih kalau gue bisa bikin tu orang bucin?’Kemudian Naya menggelengkan kepalanya menepis semua yang ada di pikirannya, karena dirinya harus ke supermarket untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan dapur.Naya sudah sampai di salah satu pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumahnya, ah lebih tepatnya rumah Dewa yang sekarang jadi suaminya. Inilah part yang paling dirinya sukai belanja memilih semua sesuai dengan keinginannya, dulu setiap kali mengantarkan belanja bundanya, dirinya selalu di larang untuk mengambil makanan ringan kesukaannya.‘Ahh, jadi rindu bunda,” gumannya dengan wajah sedihnya.Sejak dirinya kecil hingga usianya 23 tahun Naya tidak pernah jauh dari orang tuanya, dan sekarang Naya harus ikut suaminya.“Naya!”Merasa terpanggil Naya menoleh dan melihat Citra, sahabatnya. Citra berlari menghampirinya dan memeluk Naya erat, karena setelah Naya resign mereka jarang bertemu.“Apa kabar?”“Baik, lo gimana? Masih betah di kantor,” ujar Naya terkekeh.Citra berdecak kesal.“Gara-gara lo resign mendadak, sekarang pekerjaan gue double tau!”Naya tertawa terbahak, karena dirinya bersyukur bisa lepas dari deadline pekerjaan yang tidak manusiawi. Namun kembali dihadapkan dengan kehidupan rumah tangga yang dirinya sendiri tidak tau akan seperti apa pernikahannya nanti.“Seneng kan lo sekarang, ngga di kejar-kejar deadlinenya pak Dewa!” Sahut Citra dengan wajah kesalnya.Naya menghela nafas. “Emang sih gue seneng ngga berurusan dengan pekerjaan kantor yang selalu buat gue kurang tidur, dan lupa makan siang. Tapi untuk lepas dari pak Dewa kayaknya mustahil..”Citra mendekat dan menatap Naya.“Maksud lo! Bukannya sekarang lo udah nggak bakalan ketemu lagi sama pak Dewa?”“Justru gue ketemu sama pak Dewa setiap hari,”“Hah!”Suara cempreng Citra menganggu beberapa pembeli lain, hingga membuat Naya harus meminta maaf karena sudah menarik perhatian banyak orang. “Kita ngobrol di cafe depan aja.”Naya mendorong troli yang sudah terisi bahan makan dan kebutuhan rumah itu ke kasir untuk membayarnya.Dan sekarang Naya sudah duduk berhadapan dengan Citra yang menatapnya meminta penjelasan.Naya menghela nafas. “Gue nggak tau harus mulai darimana, tapi yang jelas gue udah nikah sama pak Dewa.”“Nikah! Lo nggak bercanda kan!” ujarnya dengan bola mata yang melebar sempurna.“Gue di jodohin sama bokap gue.” jawab Naya dengan wajah datarnya.“Kok bisa?”Naya mengedikan bahunya, karena dirinya saja tidak tau kenapa sang ayah menjodohkannya dengan Dewa, laki-laki yang sudah pernah menikah sebelumnya.“Kok lo mau?” Tanya Citra dengan wajah seriusnya.“Bayangin aja setiap hari gue di tanya. Nay, gimana mau ya menikah sama anak temen ayah.” Ujar Naya menirukan suara dan ekspresi sang ayah.Dirinya mau menikah dengan Dewa karena tidak bisa menolak permintaan sang ayah. Dan setiap kali dirinya bertanya.‘Dia laki-laki yang baik, yang bisa membimbing dan membahagiakan kamu.’Apakah ayahnya bisa menjamin jika dirinya akan bahagia nantinya?“Pilihan bokap lo oke juga sih, Nay. Kalau gue sih nggak bakalan nolak.” ujarnya terkekeh.“Oke sih. Tapi sayang belum move on sama mantan istri mana kelakuannya nyebelin pake banget.” Ujar Naya mengingat Dewa yang sering bertindak semena-mena dengannya bahkan selama persiapan menikah.“Masa masih kaku aja, Nay?”“Ya, ada perhatiannya dikit sih.” Jawab Naya.Kembali mengingat perlakuan Dewa semalam yang merawatnya membuat Naya semakin penasaran dengan sosok Dewangga Aditama itu.“Eh, kemarin mantannya pak Dewa dateng lagi ke kantor. Gue sih nggak tau tujuan tu cewek apaan,”“Kemarin dia juga datang ke pernikahan gue, mana bikin kesel lagi,” Naya masih dendam karena kedatangan mantan istri suaminya itu yang membuat moodnya jelek.“Apa jangan-jangan mantannya pak Dewa itu belum move on?”***“Eh, kok udah pulang.” Naya terkejut karena melihat Dewa sudah duduk di sofa ruang tamu.Dewa hanya meliriknya sekilas, kembali fokus dengan layar ponselnya. Tanpa memperdulikan Naya yang baru saja pulang dengan barang belanjaannya.Penilaian dirinya tentang Dewa ternyata salah, nyatanya laki-laki itu tidak memperdulikannya justru asyik dengan ponselnya sendiri.‘Tu orang nggak ada niatan buat bantuin gue gitu?’Walaupun dengan wajah kesalnya, Naya tetap menata barang belanjaannya ke kulkas.“Kalau udah selesai kesini, saya mau bicara,”Wajahnya semakin cemberut. “Bapak, nggak lihat saya lagi ngapain!” Teriaknya sambil meletakan buah di kulkas dengan sedikit keras.“Saya bilang kalau sudah selesai, Kanaya.”Naya menghentakan kakinya kesal, berjalan dengan wajah malasnya kemudian duduk di sebelah Dewa.“Kenapa?” Tanyanya ketus.Dewa meletakan ponselnya di atas meja kemudian menatap Naya. “Capek?”Naya berdecak. “Bapak mau bicara apa?”Melihat Dewa yang hanya diam membuat Naya semakin kesal. “Jadi nggak, kalau nggak jadi saya mau …”“Saya ingin membicarakan soal pernikahan kita,” Dewa menatap Naya serius. “Dan saya rasa kamu tau pernikahan bukan hal main-main, Kanaya.”“Tapi susah buat saya,Pak. “ sahut Naya.“Saya tahu, tapi tidak ada salahnya kita saling mencoba untuk menerima.”Naya terdiam.“Saya nggak masalah jadi istri, bapak. Tapi untuk memiliki anak dengan bapak saya belum siap.” Naya tiba-tiba teringat alasan Dewa menikahinya hanya karena butuh istri dan memiliki keturunan.“Kenapa?” Tanya Dewa.“Kita baru saja menikah, dan baru saja saling mengenal, Pak. Untuk memiliki anak kita harus melewati prosesnya kan, Pak?”Membayangkan saja Naya tidak sanggup apalagi jika dirinya melakukan hal itu dengan Dewa laki-laki yang selama ini dirinya hindari.Naya bergidik ngeri.“Untuk memiliki anak memang harus melewati prosesnya, Kanaya.”Ucapan Dewa seketika membuat bulu-bulu tangannya berdiri.“M–maaf pak, saya nggak bisa!” jawab Naya panik.Dewa menghela nafas.”Kalau kamu tidak mau mencoba menerima saya, lalu apa yang akan kamu lakukan dengan pernikahan ini ?”“Ya, nikah aja pak. Kita jalani hidup masing-masing mungkin sampai kita bisa saling menerima.” Jawab Naya tidak yakin.Dewa menggelengkan kepalanya. “Itu sama saja kamu mempermainkan pernikahan, Kanaya.”Naya menghampiri Dewa yang sedang duduk santai diruang keluarga, dengan segelas kopi yang dirinya buat kemudian menaruh di atas meja di depan Dewa. “Diminum, Pak,” Dewa melirik sebentar ke arah kopi yang Naya buatan, bahkan ucapan terimakasih tidak Naya dapatkan. ‘Sebenarnya maunya dia itu apa sih, minta gue menerima pernikahan ini dianya masih cosplay jadi atasan.’ gerutu Naya.Dirinya sudah mencoba untuk menerima Dewa namun laki-laki itu justru mengabaikannya. Naya mendudukan dirinya di sebelah Dewa melirik ponsel suaminya yang ternyata mengecek beberapa email pekerjaan.Seminggu menikah dengan Dewa dirinya mulai hafal aktivitas laki-laki itu setiap harinya. Bahkan laki-laki itu lebih produktif daripada dirinya, ini adalah kali pertama dirinya bisa duduk santai dengan Dewa setelah menikah.Biasanya laki-laki itu pergi bekerja pukul 7 pagi dan pulang pukul 8/9 malam. Jadi sangat sedikit waktu mereka bertemu, bahkan hari libur pun Dewa tetap sibuk dengan pekerjaanya.Sebenarnya Naya
Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.Sebenarnya apa mau suaminya itu?Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.“Capek?” “Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling
‘Sebenarnya apa sih mau suaminya itu, mau gini nggak boleh mau gitu nggak boleh terus gue harus gimana?’“Apa kata orang, aku sudah resign balik kerja lagi?” Tanya Nara membuat Dewa menatap Naya.“Tidak jadi masalah,”“Iya nggak jadi masalah buat Bapak! Tapi jadi masalah buat saya!” Sahutnya kesal.“Ya Sudah, dirumah saja.”Kenapa jawaban suaminya itu selalu membuatnya kesal. Tidak bisakah, suaminya itu sekali saja bersikap baik padanya?Naya menatap suaminya penuh dengan permusuhan, hingga membuat Dewa membalas menatap istrinya.“Apa kurang jatah bulanan dari saya?” tanya Dewa.Dirinya mau kembali bekerja bukan karena uang, tapi ingin menyibukan diri karena percuma saja dirinya di rumah karena selalu kesepian karena suaminya itu sering pulang malam dan berangkat pagi, dan weekend pun suaminya tetap bekerja.“Ini bukan soal uang, Pak. Tapi saya bosan kalau dirumah terus.” jawab Naya kesal. Apakah dirinya terlihat mata duitan sekali, hingga suaminya berkata seperti itu, bahkan uang bul
Naya menatap Dewa yang sedang fokus dengan layar ponselnya yang sedang membalas email masuk yang membahas pekerjaan. Sekarang Naya tau alasan suaminya kerja keras selama ini. “Kenapa kamu lihatin saya seperti itu?” tanya Dewa.Sebenarnya Naya juga tidak tahu kenapa dirinya menatap laki-laki yang selalu terlihat tegas dan galak ini ternyata memiliki masalalu yang berat.“Eh iya, sebentar.” Naya mengambil paperback itu lalu membawanya ke atas ranjang. “Saya tadi belanja sama ibu, terus lihat kemeja ini kayaknya cocok buat, Bapak.” ujar Naya dengan senyum di wajahnya lalu mengambilnya dan menunjukan ke Dewa.“Kemeja saya sudah banyak,” respon suaminya membuat wajah Naya berubah cemberut.“Bapak, itu ngga bisa menghargai usaha istrinya untuk mengubah penampilan suaminya agar berwarna sedikit.” “Kanaya. saya sudah bilang berapa kali, jangan panggil saya, Bapak.” Naya tersenyum canggung bahkan memperlihatkan barisan gigi rapinya.“Nggak terbiasa, P..”Tak.“Aw.. sakit!” Keluhnya sambil men
“Dia ngajak gue promil, Gila kan!”“Apa masalahnya? Lo sama pak Dewa juga udah suami istri, wajar kali,Nay. Suami istri bahas soal anak,” respon Citra membuat Naya berdecak kesal.Karena dirinya sedang pusing dengan suaminya yang tiba-tiba ingin program hamil. Membuat Naya mengajak Citra untuk bertemu siapa tau sahabatnya ini bisa memberi solusi tapi justru tidak sama sekali.“Iya, wajar untuk pasangan suami istri yang saling mencintai dan memiliki tujuan yang sama. Gue sama dia kebiasan, pikiran dan selera kita saja beda, Cit. Ya kali mau punya anak?!” “Ya, mungkin itu salah satu cara suami lo buat memperbaiki hubungan, dengan adanya anak misalnya,” balas Citra lagi.Jelas Naya tidak terima dengan ucapan sahabatnya itu, Namun dia sudah tidak tau lagi harus bagaimana.”Lo, tau. Dia pengen punya anak karena teman sesuianya udah punya anak lebih dari satu, terus dia nggak mau kalah, terus ngajakin gue bikin anak gitu?!”“Lah, kan emang umur pak Dewa udah cocok punya anak,” ujar Citra yan
Naya memutar bola matanya malas.“Terus kamu samakan aku sama mantan istri kamu?” Tanya Naya dengan wajah tidak sukanya.Dewa menggeleng, memperhatikan makanan yang Naya bawa yang menarik perhatiannya dan tentunya terlihat sangat enak, apalagi masakan Naya memang sangat cocok di lidah Dewa.“Kamu jarang makan siang, Mas?” tanya Naya menatap suaminya yang sedang fokus dengan makanannya.“Saya sibuk, Kanaya.”“Terus kalau kamu sibuk, nggak makan siang gitu!” tanya Naya membuat Dewa diam seolah enggan untuk menjawab.Melihat itu Naya berdecak, sebenarnya Naya tau kalau suaminya itu memang selalu melupakan makan siangnya, karena saat dirinya masih menjadi karyawan suaminya, ia sering mendapati Dewa yang menskip makan siangnya. Dan mungkin tidak hanya makan siang saja namun makan-makan yang lainya juga.Bahkan dulu saat Naya ikut meeting di luar bersama Dewa, pernah dirinya harus menahan lapar karena pria di depannya ini sangat profesional dalam bekerja.“Kenapa begitu sih, Mas?”“Jangan me
Malam ini Naya menunggu Dewa pulang, seperti biasanya Naya selalu menghabiskan waktunya untuk menonton drama korea. Sekaligus mengalihkan pikirannya dari kejadian siang tadi yang membuatnya kesal.Saking serunya menonton drama korea hingga Naya tidak sadar Dewa sudah pulang bekerja dan memasuki kamar tidur mereka. Melihat suaminya yang sudah pulang, Naya menjeda tayangan dan menghampiri suaminya.Demi melanjutkan rencananya untuk membuat suaminya jatuh cinta padanya.“Mas, udah makan malam?” tanya Naya.“Sudah.” Naya mengangguk membiarkan suaminya untuk membersihkan diri, Naya menyiapkan pakaian tidur suaminya dan menaruhnya di atas ranjang. Hal ini sudah menjadi rutinitas Naya akhir-akhir ini setelah dirinya mencoba menerima Dewa.Setelah selesai Naya kembali menaiki ranjang dan kembali memutar drama korea sembari menunggu Dewa mandi. Cukup fokus dengan drama korea hingga dirinya tersadarkan dengan aroma sabunnya yang segar. “Saya besok ada seminar.” ujarnya setelah bergabung duduk
Naya terbangun dari tidurnya menatap sekelilingnya yang asing, dan dirinya baru ingat jika ada di bandung. Naya teringat sesuatu hingga membuat matanya melotot sempurna, ia segera menoleh kesamping namun sudah tidak menemukan keberadaan suaminya.“Semalem beneran?! Bukan mimpi!” ujar Naya dengan wajah terkejutnya, bahkan beberapa kali menepuk pipinya.Naya mengingat semua sejak dirinya masuk kedalam kamar hotel ini, dan Naya mengingat semuanya.Ini benar-benar gila!Naya mendengar pintu berbunyi yang menandakan ada orang yang masuk membuat Naya menoleh melihat suaminya berjalan ke arahnya dengan santainya.“Jadi maksud kamu ini, Mas?” Tanya Naya.“Sudah bangun?” sapanya, seolah tidak mendengar pertanyaan istrinya barusan. Dewa berjalan masuk menuju ke nakas mengambil ponselnya. Melihat respon suaminya yang seperti biasa, datar dengan wajah tenangnya membuat Naya berdecak kesal. ‘Bisa-bisanya dia sesantai dan setenang itu.’Sebenarnya Naya ingin menanyakan soal kejadian semalam kepada