Share

Tujuh Puluh Tujuh

Penulis: Rose
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-24 22:10:20

"Kanaya," ujar Wira tidak kalah terkejut melihat Naya ada di kantor Dewangga.

"Om kenal sama suami saya?" tanya Naya membuat Dewangga menatap kedua orang di depannya dengan wajah bingungnya.

"Jadi kamu istrinya Dewangga?" tanya Wira benar-benar terkejut melihat wanita yang pernah membuat putranya hancur.

"Iya, Kanaya istri saya."Dewangga menjawab sembari menarik pinggang Naya agar mendekat.

"Kamu pulang, Ya. Saya minta Naufal antar kamu." ujar Dewa kemudian memanggil Nuafal yang kebetulan sedang ngobrol dengan sekretarisnya.

"Fal, antar istri saya pulang."

"Baik, Pak." jawab Naufal patuh.

"Mas," panggil Kanaya mendongak menatap suaminya bingung.

"Nanti kita bicara dirumah, Kai sudah menunggu kamu dirumah." ujar Dewa mengelus kepala istrinya seolah menyakinkan Naya jika tidak ada hal yang perlu istrinya cemaskan.

Akhirnya Naya mengalah, "Yaudah aku pulang, Ya." Pamit Kanaya yang di balas anggukan dan senyum tipis dari Dewa.

Kemudian Naya berpamitan dengan Wira dan keluar dari ruangan
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Duda Pilihan Ayah   150

    Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam.Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar.“Di usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,” batin Dewangga.Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas.“Sejak sudah memaafkan kakek.”Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih.Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. “Mungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani hidup ini

  • Duda Pilihan Ayah   149

    “Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.“Mas…” suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.“Rian, Kakek… silakan masuk,” ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. “Apa maksud kamu, Kanaya?”Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Mas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.”Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.“Mas, kita bicara di dal

  • Duda Pilihan Ayah   148

    Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.“Aunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!” serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.“Aunty, Kai nggak bisa napas…” gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.“Maaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,” ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.“Wah, sekarang udah pake se

  • Duda Pilihan Ayah   147

    Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.“Nay.”Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.“Ketemu lagi, kita,” ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. “Ngapain lo di sini?”Rian menunjuk ke seberang jalan. “Kebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.”Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.“Sejak kapan lo buka tempat itu?” tanyanya, masih dengan nada datar.“Baru semingguan, sih,” jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. “Caffè latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.”Kanaya menatap cup itu dengan ali

  • Duda Pilihan Ayah   146

    Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. “Ya?” gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu

  • Duda Pilihan Ayah   145

    Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.“Andai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,” lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.“Maafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,” ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.“Kek…” panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat

  • Duda Pilihan Ayah   144

    Dewangga berdiri di lorong rumah sakit, membiarkan dirinya menarik napas panjang sebelum perlahan menghembuskannya kembali. Udara di sekeliling terasa berat, seakan membawa kembali seluruh kenangan pahit yang selama ini ia pendam dalam-dalam.Beberapa bulan berlalu sejak konflik terakhir mereka, namun luka itu masih menganga. Bahkan sekarang, rasanya masih sulit untuk sekadar melangkah ke depan pintu itu—pintu yang membawanya pada sosok yang pernah menyumbangkan rasa sakit terbesarnya.Dewangga memejamkan mata sejenak, meredakan gemuruh di dadanya. Lalu dengan langkah mantap, ia menatap pintu kamar rawat inap tempat Seodrajat di rawat. Tangannya bergerak perlahan, membuka pintu yang seolah berat bukan karena engselnya, tapi oleh beban emosional di baliknya.Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung bertemu dengan sosok pria paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Mereka saling menatap untuk beberapa detik—sebuah pertemuan yang tidak pernah ia inginkan."Dewangga

  • Duda Pilihan Ayah   143

    Malam ini, setelah Kai terlelap dalam tidurnya, Kanaya kembali ke kamar. Lampu tidur temaram memantulkan bayangan lembut di dinding. Dewangga duduk di tepi ranjang, sibuk dengan laptop di pangkuannya, sesekali mengetik sesuatu dengan fokus penuh.Kanaya berjalan mendekat, lalu membaringkan badannya di samping Dewangga sembari memperhatikannya dari balik selimut, menarik napas panjang sebelum memberanikan diri membuka suara."Mas..." panggilnya lembut."Hm?" sahut Dewangga tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.Kanaya menggenggam ujung selimut di tangannya, mencari kata-kata. "Tadi Rian kesini,"Kali ini, Dewangga berhenti mengetik. Ia menutup laptopnya perlahan, meletakkannya di meja samping ranjang. Matanya kini beralih menatap Kanaya, tenang namun waspada."Apa yang dia mau?" tanyanya pendek.Kanaya bergeser mendekat, duduk bersila di atas ranjang, berusaha menjaga suaranya tetap pelan. "Kakek... katanya, pengin ketemu sama Mas. Cuma sekali. Katanya penting."Dewangga menatap K

  • Duda Pilihan Ayah   142

    Kanaya memejamkan mata, menikmati kehangatan pelukan itu. Dalam diam, ia bisa mendengar detak jantung Dewangga, stabil dan menenangkan dan selalu membuatnya merasa aman. Namun saat ia membuka mata, ada keraguan kecil yang menggelayuti hatinya, membuatnya ingin bertanya sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri."Mas," panggil Kanaya pelan."Hm?" gumam Dewangga, masih memeluknya erat."Kalau suatu hari aku berubah... kamu masih akan tetap cinta sama aku?" tanyanya, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu keheningan di antara mereka.Dewangga mengendurkan pelukannya, menatap wajah Kanaya yang kini serius. Pandangannya dalam, seakan mencoba membaca isi hati istrinya."Apa maksudmu berubah?" tanyanya hati-hati.Kanaya menggigit bibirnya, lalu berusaha tersenyum. "Ya... kalau aku jadi lebih keras kepala, lebih menyebalkan, atau... kalau aku sering buat kamu kesel."Ada jeda sejenak. Suasana terasa berat. Tapi kemudian, Dewangga mengangkat tangan Kanaya, menggenggamnya erat."Kan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status