Naya menghampiri Dewa yang sedang duduk santai diruang keluarga, dengan segelas kopi yang dirinya buat kemudian menaruh di atas meja di depan Dewa. “Diminum, Pak,”
Dewa melirik sebentar ke arah kopi yang Naya buatan, bahkan ucapan terimakasih tidak Naya dapatkan.‘Sebenarnya maunya dia itu apa sih, minta gue menerima pernikahan ini dianya masih cosplay jadi atasan.’ gerutu Naya.Dirinya sudah mencoba untuk menerima Dewa namun laki-laki itu justru mengabaikannya. Naya mendudukan dirinya di sebelah Dewa melirik ponsel suaminya yang ternyata mengecek beberapa email pekerjaan.Seminggu menikah dengan Dewa dirinya mulai hafal aktivitas laki-laki itu setiap harinya. Bahkan laki-laki itu lebih produktif daripada dirinya, ini adalah kali pertama dirinya bisa duduk santai dengan Dewa setelah menikah.Biasanya laki-laki itu pergi bekerja pukul 7 pagi dan pulang pukul 8/9 malam. Jadi sangat sedikit waktu mereka bertemu, bahkan hari libur pun Dewa tetap sibuk dengan pekerjaanya.Sebenarnya Naya bukanlah tipe wanita yang pendiam, justru dirinya sangat banyak bicara namun memiliki suami hening seperti Dewa dan sangat tertutup itu, membuatnya enggan untuk merusak aura itu.Karena dulu saat dirinya menjadi karyawan Dewa, dirinya sering dimarahi hanya karena dirinya banyak bicara. Dewa itu tipe orang yang tidak mau diganggu saat bekerja sehingga Naya tidak lagi berani mengusik laki-laki di sebelahnya.Namun sampai kapan Naya akan diam seperti ini, tentu dirinya tidak akan bisa.“Pak! Saya udah susah-susah buatin kopi loh,” ujarnya menatap Dewa yang masih fokus dengan kegiatannya.Dewa menghela nafas, menatap Naya yang menatapnya kesal.“Saya nggak minta kamu buatin kopi” Tegasnya.“Setidaknya hargai usaha saya, Bapak minta saya mencoba menerima pernikahan ini tapi bapak sendiri seolah tidak peduli sama pernikahan ini,” ujarnya to the point, tentu karena Naya itu bukan wanita yang lemah seperti sinetron di burung terbang itu.Dewa tak menjawab, justru hendak bangkit dari duduknya meninggalkan Naya. Tapi tidak bisa Naya segera menahan Dewa, lalu berdiri tepat di depan Dewa.“Saya sibuk, Kanaya.”Naya tersenyum miring, bahkan suaminya itu masih menggunakan alasan yang sama seperti saat laki-laki itu menjadi atasan.“Sibuk?”“Iya,” jawab Dewa singkat, padat dan tegas.Naya mengepalkan satu tangannya, menatap suaminya dengan amarah yang sudah di ubun-ubun.“Saya sedang tidak ingin ribut, Kanaya,”Dewa memilih melangkah pergi, benar-benar meninggalkan Naya tanpa mau meluruskan permasalahan terlebih dahulu.***Saat ini Kanaya keluar rumah lalu duduk di bangku halaman rumahnya menghirup udara segar dan menikmati angin malam.Suasana hatinya benar-benar buruk kali ini.“Mau sampai kapan kamu disitu?” tanya Dewa saat melihat Naya yang duduk di halaman rumah.Naya masih enggan menjawab, dirinya benar-benar kesal dengan laki-laki di depannya ini.“Masuk.”Naya menggeleng. Bahkan wajahnya sudah merah padam dengan menyilangkan kedua lengan di depan dada. Dia benar-benar marah dengan Dewa kali ini.“Masuk, Kanaya.” Dewa mengatakan sekali lagi.Kanaya yang sedikit keras kepala. Wanita itu menggelengkan kepalanya menolak apa yang suaminya perintahkan.“Kanaya masuk, jangan seperti anak-anak.” Dewa menatap Naya tajam.“Saya nggak mau masuk.” tolak Naya.Pada dasarnya Kanaya yang keras kepala dan kekanakan membuat Dewa menghela nafas berat.Dewa tidak pernah menyangka Kanaya akan sekeras ini. Dirinya mengenal Kanaya adalah sosok gadis yang ceria, pekerja keras dan penurut selama gadis itu menjadi karyawannya.Namun setelah menikah dirinya baru mengetahui sisi lain dari istrinya itu.“Oke, saya masuk,” Dewa benar-benar meninggalkannya tanpa membujuk nya sedikitpun.Melihat Dewa yang masuk meninggalkannya. Wanita itu benar-benar kesal, bukan hanya kesal bahkan Naya sudah menangis. Dia mengira Dewa akan membujuknya dan mengajaknya masuk, namun laki-laki itu justru benar-benar meninggalkannya.‘Mimpi apa gue punya suami kaya gitu, kenapa gue harus nangis sih,’ ujarnya menyalahkan diri sendiri sambil mengusap air matanya kasar.Entah selama apa dirinya menangis hingga tanpa dirinya sadari tangannyan sudah mulai dingin. Naya akhirnya berjalan masuk ke dapur untuk mengambil minum, terlalu lama dirinya menangis membuat tenggorokannya kering.“Kamu belum makan.” suara itu membuat Naya mencebik kesal.Kanaya membuang mukanya, dirinya sangat malas menatap wajah laki-laki di depannya itu. Dirinya sangat malas berdebat malam-malam begini, dirinya sudah cukup lelah hari ini.Dia melihat makanan yang sempat dirinya siapkan tadi sore sebelum membuatkan kopi suaminya yang berakhir pertengkaran di satu minggu mereka menikah.Naya menatap heran ke arah Dewa yang sedang menyiapkan makanan untuknyaUntuk apa laki-laki itu susah-susah menyiapkan dirinya makan? Setelah sikapnya yang sangat-sangat menyebalkan dan kejam itu?***Dewa adalah laki-laki yang selalu memegang prinsipnya, menikah dengan Naya adalah pilihannya untuk membuat ibunya bahagia dan tidak lagi mengkhawatirkannya.Selama ini hidupnya ia habiskan dengan pekerjaan hanya untuk mengalihkan rasa sakitnya di masa lalu, yang membuatnya harus menjalani kehidupan yang berat. Mulai dari sang ayah yang meninggal karena kecelakaan yang tidak wajar, hingga membuatnya harus kehilangan masa kecilnya.Di saat anak-anak seusianya masih bermain dirinya sudah harus bekerja untuk bertahan hidup. Bahkan hingga dirinya beranjak dewasa dirinya hanya berpikir bagaimana membuat keluarganya hidup tanpa kekurangan.Karena sebagai anak pertama Dewa memiliki tanggung jawab atas kedua adiknya dan sang ibu, hingga hidupnya dirinya habiskan untuk bekerja dan membuat kehidupannya layak, hingga dirinya tidak pernah memikirkan dirinya sendiri.Hingga dirinya bertemu dengan seorang wanita yang bisa membuatnya merasakan apa itu perhatian dan sebuah kasih sayang yang selama ini tidak dirinya dapatkan bahkan dari ibunya sendiri, karena waktu itu ibunya fokus kepada kedua adiknya dan dirinya fokus bekerja untuk bertahan hidup.Dia adalah Savira wanita yang pernah menjadi sumber kebahagiaan dari seorang Dewangga Aditama. Bahkan Dewa memberikan segalanya untuk Savira namun wanita itu justru membuatnya kembali hancur karena sebuah penghianatan.Dan sejak saat itulah Dewa kembali menutup diri karena masih merasakan trauma yang mendalam. Bahkan hingga sekarang dirinya belum berdamai dengan semuanya.Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. “Di usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,” batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. “Sejak sudah memaafkan kakek.” Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. “Mungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani
“Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.“Mas…” suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.“Rian, Kakek… silakan masuk,” ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. “Apa maksud kamu, Kanaya?”Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Mas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.”Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.“Mas, kita bicara di dal
Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.“Aunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!” serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.“Aunty, Kai nggak bisa napas…” gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.“Maaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,” ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.“Wah, sekarang udah pake se
Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.“Nay.”Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.“Ketemu lagi, kita,” ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. “Ngapain lo di sini?”Rian menunjuk ke seberang jalan. “Kebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.”Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.“Sejak kapan lo buka tempat itu?” tanyanya, masih dengan nada datar.“Baru semingguan, sih,” jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. “Caffè latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.”Kanaya menatap cup itu dengan ali
Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. “Ya?” gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu
Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.“Andai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,” lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.“Maafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,” ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.“Kek…” panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat
Dewangga berdiri di lorong rumah sakit, membiarkan dirinya menarik napas panjang sebelum perlahan menghembuskannya kembali. Udara di sekeliling terasa berat, seakan membawa kembali seluruh kenangan pahit yang selama ini ia pendam dalam-dalam.Beberapa bulan berlalu sejak konflik terakhir mereka, namun luka itu masih menganga. Bahkan sekarang, rasanya masih sulit untuk sekadar melangkah ke depan pintu itu—pintu yang membawanya pada sosok yang pernah menyumbangkan rasa sakit terbesarnya.Dewangga memejamkan mata sejenak, meredakan gemuruh di dadanya. Lalu dengan langkah mantap, ia menatap pintu kamar rawat inap tempat Seodrajat di rawat. Tangannya bergerak perlahan, membuka pintu yang seolah berat bukan karena engselnya, tapi oleh beban emosional di baliknya.Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung bertemu dengan sosok pria paruh baya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Mereka saling menatap untuk beberapa detik—sebuah pertemuan yang tidak pernah ia inginkan."Dewangga
Malam ini, setelah Kai terlelap dalam tidurnya, Kanaya kembali ke kamar. Lampu tidur temaram memantulkan bayangan lembut di dinding. Dewangga duduk di tepi ranjang, sibuk dengan laptop di pangkuannya, sesekali mengetik sesuatu dengan fokus penuh.Kanaya berjalan mendekat, lalu membaringkan badannya di samping Dewangga sembari memperhatikannya dari balik selimut, menarik napas panjang sebelum memberanikan diri membuka suara."Mas..." panggilnya lembut."Hm?" sahut Dewangga tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.Kanaya menggenggam ujung selimut di tangannya, mencari kata-kata. "Tadi Rian kesini,"Kali ini, Dewangga berhenti mengetik. Ia menutup laptopnya perlahan, meletakkannya di meja samping ranjang. Matanya kini beralih menatap Kanaya, tenang namun waspada."Apa yang dia mau?" tanyanya pendek.Kanaya bergeser mendekat, duduk bersila di atas ranjang, berusaha menjaga suaranya tetap pelan. "Kakek... katanya, pengin ketemu sama Mas. Cuma sekali. Katanya penting."Dewangga menatap K
Kanaya memejamkan mata, menikmati kehangatan pelukan itu. Dalam diam, ia bisa mendengar detak jantung Dewangga, stabil dan menenangkan dan selalu membuatnya merasa aman. Namun saat ia membuka mata, ada keraguan kecil yang menggelayuti hatinya, membuatnya ingin bertanya sesuatu yang selama ini hanya ia simpan sendiri."Mas," panggil Kanaya pelan."Hm?" gumam Dewangga, masih memeluknya erat."Kalau suatu hari aku berubah... kamu masih akan tetap cinta sama aku?" tanyanya, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu keheningan di antara mereka.Dewangga mengendurkan pelukannya, menatap wajah Kanaya yang kini serius. Pandangannya dalam, seakan mencoba membaca isi hati istrinya."Apa maksudmu berubah?" tanyanya hati-hati.Kanaya menggigit bibirnya, lalu berusaha tersenyum. "Ya... kalau aku jadi lebih keras kepala, lebih menyebalkan, atau... kalau aku sering buat kamu kesel."Ada jeda sejenak. Suasana terasa berat. Tapi kemudian, Dewangga mengangkat tangan Kanaya, menggenggamnya erat."Kan