Share

Tujuh

Author: Rose
last update Last Updated: 2024-04-04 09:53:21

Hari ini, Naya memilih jalan-jalan ke mall tentu saja untuk refreshing. Beberapa hari ini Naya memang mendiamkan Dewa entah dirinya masih enggan untuk menatap dan berbicara dengan suaminya itu.

Sebenarnya apa mau suaminya itu?

Menikah dengan Dewa memang bukan keinginannya, bahkan belum ada dua minggu pernikahan selalu saja ada hal yang membuat mereka bertengkar. Naya tau seperti apa seorang Dewa, awalnya Naya berpikir menikah dengan Dewa bukanlah hal yang susah karena yang Naya tau laki-laki itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya.

“Gimana rasanya menikah? Bahagia?” tanya Citra sembari bertopang dagu.

Saat ini mereka ada di salah satu restoran jepang yang menjadi tempat mereka bertemu sekaligus makan siang.

Naya menghela nafas. “Capek tau, Cit.” lirih Naya.

“Capek?”

“Dia semakin nuntut gue untuk menerima dia, tapi dia sendiri seolah acuh sama gue!”

“Pelan-pelan aja. Lo kan baru tau pak Dewa aslinya gimana, karena dulu kalian kenal hanya sebatas bos dan karyawan kan. Jadi ya harus saling menyesuaikan dulu.”

Naya mengangguk. Karena benar awal pernikahan memang baru penjajakan dulu, apalagi dirinya juga belum mencintai Dewa.

“Mendingan lo kerja lagi,” usul Citra.

‘Benar, kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi aja’ serunya dalam hati.

“Kenapa, lo senyum-senyum.”

“Kenapa gue nggak kepikiran buat kerja lagi ya, padahal kalau gue kerja pikiran gue pasti nggak akan stuck di pernikahan ini aja, dan gue sekarang tau bosennya jadi pengangguran,” ujar Naya terkekeh.

“Tapi bilang izin dulu sama suami.” peringat Citra membuat Naya cemberut.

“Gini ya, susahnya kalau udah ada suami, mau apa-apa kudu ijin dulu sama suami,”

“Iyalah, karena lo sekarang milik pak Dewa bukan orang tua lo lagi. Jadi ya harus ijin sama suami lo.”

Mendengar respon Citra membuatnya berdecak.

“Nay, gue tau lo masih pengen bebas kaya dulu. Tapi lo udah milih buat menikah jadi ya lo harus siap juga konsekuensinya.”

Walaupun dirinya kesal, namun yang di katakan sahabatnya itu benar.

-

Citra sudah kembali ke kantor, wanita itu masih tinggal di cafe tempat dimana mereka bertemu. Lagi pulang jika dirinya pulang juga malas karena hanya keheningan dan kesepian yang akan Naya dapatkan di sana.

Dewa juga pasti masih bergelut dengan berbagai berkas, laporan dan lain sebagainya. Daripada dirinya di rumah sendirian, lebih baik dirinya tetap disini setidaknya bisa melihat orang-orang berlalu lalang. Naya memandang orang-orang di sekelilingnya, ada yang sedang berpacaran, lunch bareng keluarga namun dirinya sendirian di tempat seramai ini.

Naya melihat seseorang yang berjalan ke arahnya.

Bukankah itu?

Ya, dia mantan istrinya Dewa.

Naya ingat dengan wajah itu, karena sering bolak-balik ke kantor untuk menemui Dewa. Dan dua minggu lalu wanita itu juga datang ke pernikahan menjadi tamu tak diundang dan membuat moodnya berantakan.

Melihat wanita itu semakin mendekat dengan rambut sebahu berwarna pirang, wajah yang memiliki kulit putih dengan make up yang selalu cetar, dengan tatapan mata yang tajam dan bibir yang pink membuatnya terlihat sangat cantik.

Naya yang wanita saja merasa iri melihat wanita di depannya itu, dan hingga sekarang dirinya masih penasaran alasan mereka bercerai.

“Dewa mana?”

Mantan istri Dewa itu duduk di depannya dan mata yang menatap Naya tajam.

“Dewa pasti lebih mentingin kerjaan daripada kamu!” ujarnya tersenyum miring.

Naya diam malas untuk menanggapi, namun wanita itu kembali menghitung jari tangannya dan tertawa. “Ini baru minggu kedua pernikahan kalian kan? Nggak diajak honeymoon?” tanyanya mengejek.

“Bukan urusan anda…”

“Dulu waktu Dewa menikah sama saya, dia sering ngajak honeymoon bahkan setiap weekend.” potongnya.

Seketika membuat Naya mengepalkan satu tangannya di bawah meja. “Lalu kenapa mas Dewa bisa menceraikan anda! Dan memilih saya?”

Setelah mengatakan itu, Naya segera merapikan tasnya kemudian berdiri meninggalkan wanita itu.

‘Kenapa harus ketemu nenek lampir sih, ahh!’

**

Walaupun dirinya sedang marah dengan sang suami, Naya tetap menyiapkan makan malam untuk suaminya. Walaupun dirinya memilih menyingkir tidak menemani Dewa makan malam dan memilih membaringkan badannya di sofa ruang keluarga, karena masih enggan bertemu dengan suaminya.

“Kanaya.”

Naya diam tidak berniat untuk menjawab ataupun menatap suaminya.

“Tidur di kamar,” perintahnya Dewa.

Sebenernya Naya sudah melupakan pertengkaran mereka kemaren malam, namun pertemuan dengan mantan istri Dewa tadi membuatnya kesal.

Naya memejamkan matanya mengabaikan Dewa, hingga Naya merasakan tangan Dewa menyentuhnya pelan, segera Naya menepisnya.

Bahkan Naya mendengar suaminya menghela nafas.

‘Nyesel kan lo, Nikah sama gue!’

“Saya kekamar duluan,”

Naya diam, membiarkan Dewa meninggalkannya.

**

Naya terbangun sudah ada di kamar, seingatnya dirinya tidur di sofa lalu kenapa dirinya bisa ada di sini ?

'Masa dia mindahin gue?' wajah bingung Naya seketika berubah terkejut karena melihat Dewa yang baru masuk kedalam kamar dengan wajah penuh keringat.

"Saya atau kamu dulu yang mandi?" tanyanya.

"Bapak saja. Saya mau buat sarapan," katanya kemudian berjalan keluar kamar melewati Dewa.

Naya mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake untuk sarapan mereka berdua, walaupun sedang marah namun Naya tetap melayani Dewa dengan baik.

Setelah selesai menyiapkan makanan di meja makan, pandangan Naya melihat Dewa yang berjalan ke arahnya. Pria itu sudah mengenakan kemeja kerjanya dengan dasi yang menggantung di kerah kemejanya.

"Tolong pakaikan saya dasi."

Naya menatap laki-laki di depannya ini dengan datar, sejak kapan pria di depannya ini memintanya memakai dasi ?

"Punya tangan kan?" tanya Naya malas.

"Saya minta tolong, Kanaya."

Naya menghela nafas, kemudian mendekat kearah suaminya dan menatap suaminya tajam, "Nunduk dikit," karena suaminya itu kelewat tinggi membuat Naya sedikit kesusahan saat hendak menyimpulkan dasi suaminya.

"Terimakasih,"

Naya mengangguk samar, kemudian kembali duduk di meja makan dan mengambilkan pancake untuk Dewa.

"Saya mau kerja lagi," entah keberanian dari mana Naya mengungkapkan isi hatinya, setelah berpikir semalaman.

"Di kantor?" tanya Dewa.

Naya menggeleng tentu kantor bukan pilihan terbaik untuknya, karena akan kembali menjadi pesuruh suaminya itu.

"Dimana?"

"Di kantor tempat kak risky," sebenernya Naya belum tau mau bekerja dimana asalkan dirinya mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya.

"Kamu kerja di kantor saja, nanti.."

"Saya ngga mau!" tolak Naya cepat.

"Pilihannya hanya dua, kerja di kantor atau tidak sama sekali."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Punya laki kaya Dewa si istri tekanan batin
goodnovel comment avatar
Yanti
kurangi penggunaan kata "dirinya'. seperti naya mendudukkan dirinya.. sebaiknya naya mendudukkan diri
goodnovel comment avatar
Wiragustina
ceritanya menarik
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Duda Pilihan Ayah   150 :D

    Dewangga menatap Soedrajat dalam diam. Matanya menelusuri wajah tua itu—keriput di ujung mata, tubuh yang kini tampak rapuh, dan sorot mata yang menyimpan sesal mendalam. Di usianya yang sudah senja, seharusnya Soedrajat bisa menikmati hidup dengan tenang. Tapi tidak—ia masih harus menanggung beban dari kesalahan masa lalu, dan barangkali... ibunya benar. “Di usia setua itu, siapa pun pantas hidup dalam damai,” batin Dewangga. Dewangga menarik napas dalam, lalu akhirnya bersuara. Suaranya rendah, namun terdengar jelas dan tegas. “Sejak sudah memaafkan kakek.” Kata-kata itu sederhana, tapi menampar sunyi yang menggantung di ruangan. Soedrajat mendongak, matanya langsung basah. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya—hanya sorot mata yang mengucap lebih banyak dari sekadar terima kasih. Dewangga melanjutkan, menatap sang kakek dengan tatapan tenang. “Mungkin... rasa marah dan kecewa itu belum sepenuhnya hilang. Tapi seperti yang saya bilang waktu itu, saya ingin menjalani

  • Duda Pilihan Ayah   149

    “Kenapa kalian datang ke sini?” tanya Dewangga dingin, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi yang sulit ditebak.Suasana siang itu yang awalnya tenang seketika berubah saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya—Rian dan Kakek Soedrajat.“Mas…” suara lembut Kanaya memecah ketegangan. Ia baru saja datang dari arah dapur, membawa senyum hangat di wajahnya. Dengan langkah tenang, ia berdiri di samping suaminya.“Rian, Kakek… silakan masuk,” ujar Kanaya sopan sambil membuka pintu rumah lebih lebar, mengabaikan ketegangan di wajah suaminya.Dewangga menoleh cepat ke arah Kanaya, tatapannya penuh tanya. “Apa maksud kamu, Kanaya?”Kanaya mengelus lengan suaminya dengan lembut, berusaha menenangkannya. “Mas, aku tahu kamu kaget… tapi percayalah, ini semua demi kebaikan.”Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh suaminya. Ekspresi wajah Dewangga sudah lama tak sedingin ini. Tapi Kanaya tahu, bukan amarah yang sedang meledak—melainkan luka lama yang kembali digores.“Mas, kita bicara di dal

  • Duda Pilihan Ayah   148

    Ibu dan anak itu akhirnya sampai di kantor Dewangga. Kai berjalan sambil menggenggam tangan Kanaya erat, wajahnya berseri-seri karena tak sabar ingin bertemu sang ayah.Namun, ketenangan lobi kantor langsung pecah oleh teriakan nyaring yang begitu familiar."Kaiii!!"Kanaya langsung menghela napas panjang, nyaris berdecak kesal. Itu lagi...Dari balik meja resepsionis, muncullah seorang wanita dengan setelan kerja rapi namun ekspresi lebay yang tak pernah berubah—Citra.Seperti roket, ia berlari ke arah mereka dan langsung memeluk Kai erat-erat seolah sudah bertahun-tahun tak bertemu.“Aunty kangeeenn banget sama kamu, Kai!” serunya sambil mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke pipi bocah itu.Padahal, terakhir mereka bertemu… baru minggu lalu.“Aunty, Kai nggak bisa napas…” gerutu Kai, wajahnya cemberut setengah sebal, setengah pasrah.“Maaf, Sayang. Aunty terlalu kangen,” ujar Citra sambil terkekeh, masih menciumi pipi bulat Kai yang kini sudah mulai memerah.“Wah, sekarang udah pake se

  • Duda Pilihan Ayah   147

    Siang itu, matahari bersinar hangat, dan angin berembus pelan membawa aroma pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Kanaya duduk di bangku panjang tak jauh dari gerbang, menanti putranya yang sebentar lagi pulang.“Nay.”Sebuah suara familiar memanggil namanya. Kanaya menoleh, dan benar saja—Rian berjalan mendekat dengan senyum menyebalkan yang khas.“Ketemu lagi, kita,” ujarnya ringan, seolah pertemuan itu adalah takdir yang menyenangkan.Kanaya mengangkat alis. “Ngapain lo di sini?”Rian menunjuk ke seberang jalan. “Kebetulan kafe di depan situ, itu punya gue. Tadi dari jendela lihat ibu-ibu cantik duduk sendirian, jadi gue samperin deh.”Kanaya menoleh sejenak, melihat kafe minimalis bergaya modern yang belum lama ia sadari keberadaannya.“Sejak kapan lo buka tempat itu?” tanyanya, masih dengan nada datar.“Baru semingguan, sih,” jawab Rian sambil menyerahkan satu cup kopi ke tangannya. “Caffè latte. Favorit lo, kan? Tenang aja, nggak gue racunin.”Kanaya menatap cup itu dengan ali

  • Duda Pilihan Ayah   146

    Malam itu, udara terasa lebih dingin, sisa hujan yang turun sore tadi masih membekas di langit. Setelah menidurkan Kai di kamarnya, Kanaya menyusul suaminya ke ruang kerja dengan secangkir teh hangat di tangannya."Mas," panggilnya lembut, berdiri di ambang pintu.Dewangga yang tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya menoleh. “Ya?” gumamnya, sedikit terkejut, namun segera tersenyum ketika melihat Kanaya membawa teh hangat untuknya.Kanaya melangkah masuk, meletakkan secangkir teh di meja kecil di dekat sofa tempat Dewangga biasa duduk.Dewangga bangkit dari kursinya, berjalan perlahan mendekat, dan duduk di samping Kanaya. Mereka duduk diam, menikmati keheningan yang terasa nyaman. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, Dewangga belum banyak berbicara. Rasa cemas dan bingung masih terlihat jelas di wajahnya, dan Kanaya tidak ingin memaksanya berbicara sebelum ia siap."Bagaimana keadaan Kakek kamu?" tanya Kanaya pelan, sambil menatap suaminya.Dewangga menghela napas panjang, mengu

  • Duda Pilihan Ayah   145

    Setelah kepergian Dewangga, Soedrajat hanya bisa terpaku. Matanya tak lepas menatap pintu yang kini tertutup, seolah menelan sosok cucunya bersama seluruh luka masa lalu yang belum sempat terobati.“Andai saja aku tak egois... mungkin Dewangga tak akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian,” lirihnya. Air mata menuruni pipi tuanya, pelan tapi pasti, membasuh kesombongan yang selama ini ia pelihara.“Maafkan Kakek, Nak... pasti berat sekali jadi kamu,” ucapnya lagi. Suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi penuh penyesalan. Sosok yang selama ini ia tolak dan curigai, ternyata darah dagingnya sendiri.Benar adanya, penyesalan memang selalu datang terlambat.Tak lama, Rian masuk. Ia sempat melihat Dewangga pergi dengan mata yang nyalang penuh luka. Tapi pemandangan yang membuatnya tercekat adalah kakeknya, orang sosok yang selalu tegar, angkuh dan kuat itu kini menangis terguncang di atas ranjang rumah sakit.“Kek…” panggil Rian pelan. Ia melangkah cepat, lalu memeluk kakeknya erat. Sat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status