Andara menangis dalam dekapan Anessa—sahabatnya. Dia tak menyangka kisah cintanya dengan Dirga akan berakhir seperti ini. Dikhianati dan dicampakkan begitu saja seperti sampah yang tak berguna.
“Udah, Ra,” ucap Anessa. “Jangan kamu tangisi lagi si Dirga! Dia nggak pantas kamu tangisi kayak gini.” Andara melepaskan pelukannya. Matanya yang memerah dan basah menatap ke arah sang sahabat. “Kamu beruntung tahu kebusukan Dirga sebelum semuanya terlambat. Sebelum hubungan kalian berjalan terlalu jauh dan …” “Bisa anterin aku pulang, Nes?” potong Andara. “Aku nggak mau ada orang yang lihat aku nangis kayak gini,” lanjut Andara. Anessa mengerutkan keningnya. Namun, sedetik kemudian dia mengangguk setuju. Gadis berambut panjang itu lantas mengambil ponsel pintarnya di dalam tas selempang miliknya. “Aku pesankan taksi dulu ya!” ujar Anessa. Andara mengangguk. “Aku nggak nyangka Dirga bisa Setega ini sama aku,” ujar Andara. Matanya menatap kosong ke depan. Seolah seluruh semangat hidupnya habis saat melihat perselingkuhan yang dilakukan oleh Dirga. “Kurang apa sih aku sama dia?” tanyanya entah pada siapa. “Selama ini aku selalu berusaha untuk setia sama dia. Enggak pernah aku bikin dia kecewa. Walaupun kita lagi berjauhan sekali pun. Aku nggak pernah punya niat untuk menduakan cintanya. Tapi, … tapi, kenapa dia setega ini sama aku?” Anessa mengelus punggung sahabat baiknya itu. Memberikan dukungan dan menyalurkan energi semangat untuk Andara yang sedang patah hati. “Aku bahkan rela melawan orang tua demi bisa jalan sama dia. Bohong sama kakakku dan ….” Tiba-tiba Andara bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk beranjak dari tempat itu. Anessa yang sejak tadi bersama dengannya nampak kebingungan melihat perubahan sikap sang sahabat. “Mau ke mana, Ra?” tanya Anessa. “Aku harus minta maaf sama Papa dan Mama. Sama kakakku juga. Karena udah bikin kecewa mereka semua. Bahkan … bahkan terakhir aku berdebat sama Papa gara-gara ….” Andara tak melanjutkan perkataannya. Dia berjalan cepat bahkan setengah berlari menuju halte yang ada di pinggir taman. Anessa yang melihat itu segera berdiri dan mengikuti langkah sahabat baiknya itu. Namun, saat akan tiba di halte yang ada di sekitar taman itu, Andara menghentikan langkahnya. “Kenapa?” tanya Anessa yang juga telah tiba di dekat Andara. “Taksinya udah datang belum?” tanya Andara pada Anessa dengan tampang konyol. Anessa menepuk keningnya sendiri. Gadis berambut panjang itu merasa heran dengan sahabatnya itu. Dalam situasi apa pun, dia masih bisa bersikap konyol dan penuh kejutan. Berbeda dengan dirinya yang ketika bad mood atau tak enak hati, dia pasti akan lebih banyak diam. “Tadi katanya kamu pesan taksi, kan?” tanya Andara lagi. “Udah datang belum taksinya?” Anessa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia mengusap layar ponsel pintarnya untuk melihat ke aplikasi taksi online. “Sebentar lagi, Ra. Paling lima menit lagi taksinya sampai,” jawab Anessa. “Kita tunggu aja di halte itu. Daripada nunggu di sini. Udah kayak penunggu pohon beringin aja kita berdua.” Anessa mengulas senyum ketika melontarkan candaan itu. Andara ikut tersenyum mendengar candaan Anessa. Keduanya lalu berjalan menuju halte yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. ******************* Beberapa hari kemudian, Andara sudah kembali seperti biasa. Walaupun hatinya masih sakit jika teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Dirga. Akan tetapi, dia berusaha untuk terlihat biasa saja di depan semua orang, termasuk di depan kedua orang tuanya. Beruntungnya Papa sepertinya lupa akan tantangannya waktu itu. Buktinya Papa sama sekali tak menyinggung soal Dirga dan perjodohan itu beberapa hari ini. “Enggak kuliah kamu, Ra?” tanya Papa saat mereka berada di meja makan. Menikmati sarapan yang sudah terhidang di hadapan masing-masing. Andara menggelengkan kepalanya. Tangannya sibuk menyuapkan nasi goreng sosis ke dalam mulutnya. “Berarti kamu hari ini di rumah aja, kan?” cecar Papa. Andara menghentikan aktivitasnya menyuapkan nasi ke dalam mulut. Matanya menatap ke arah Papa dengan tatapan penuh tanya. “Emang kenapa, Pa?” Tak tahan juga Andara untuk tidak bertanya seperti itu. Papa menyunggingkan senyum misterius. Sedangkan Mama hanya senyum-senyum tidak jelas ketika mendengar pertanyaan sang anak gadis. “Pada kenapa sih? Enggak jelas banget deh,” kesal Andara yang pertanyaannya tidak mendapatkan respon dari Papa dan Mama. “Hari ini kakak kamu mau datang. Kita juga ada tamu spesial yang datang hari ini juga. Jadi, Mama harap kamu tetap berada di rumah dan nggak keluyuran ke mana-mana,” pinta Mama. “Tamu siapa sih, Ma?” tanya Andara penasaran. “Ada deh. Nanti juga kamu bakalan tahu sendiri siapa tamunya. Iya kan, Pa?” Mama mencari dukungan pada Papa yang tengah menguk minumannya. “Pokoknya hari ini kamu jangan pergi ke mana-mana! Diam saja di rumah. Bantuin Mama dan Bi Idah masak. Soalnya tamu ini tuh spesial banget,” jelas Mama. Andara semakin dibuat penasaran dengan perkataan kedua orang tuanya. Sespesaial apa sih tamu itu? Sampai-sampai dirinya tidak diizinkan keluar rumah seharian ini? Apa jangan-jangan tamu itu berhubungan dengan orang yang akan dijodohkan dengannya? “Oh iya, gimana misi kamu untuk membawa pacar tersayang mu ke sini? Berhasil?” Tiba-tiba saja Papa menyinggung soal itu lagi. Andara terkesiap mendengar pertanyaan bernada cibiran itu. Dia tampak gelagapan dan tak tahu harus menjawab bagaimana. “Gagal? Dia nggak mau datang ke sini? Takut ketemu sama Papa dan Mama?” cecar Papa. Membuat Andara semakin ciut. “Papa kan sudah bilang sama kamu. Laki-laki kayak gitu nggak bakalan pernah serius sama kamu. Dia pacaran sama kamu hanya untuk have fun aja. Enggak bakalan ada niatan untuk ke jenjang yang lebih lanjut lagi,” terang Papa panjang lebar. Andara terdiam mendengar ucapan Papa. Benar apa yang dikatakan oleh Papa. Dirga memang tak pernah bisa diajak untuk serius. Dia berpacaran dengan Andara hanya untuk have fun saja. Bukan untuk menjadikan Andara istri atau berniat untuk serius dengan gadis itu. “Lebih baik sekarang kamu putusin aja cowok kayak gitu, Ra,” timpal Mama. “Enggak ada gunanya kamu mempertahankan hubungan dengan cowok model begitu. Bikin susah aja yang ada,” lanjut wanita yang masih tampak cantik itu. Andara menoleh ke arah sang mama yang duduk di sebelahnya. Dalam hati dia membenarkan semua ucapan kedua orang tuanya. Tak ada gunanya juga dia bersikeras bertahan sendirian. Sedangkan Dirga memilih untuk membagi hatinya bahkan dia juga bertindak terlalu jauh. Kini dirinya baru menyadari jika ucapan kedua orang tuanya benar-benar terjadi padanya. “Sekarang Papa mau tanya sama kamu,” ujar Papa. “Kamu mau menerima perjodohan ini, kan? Menerima apa adanya calon suami pilihan Papa dan Mama?” tanya lelaki berwajah sangar itu. Andara menatap Papa dan Mamanya secara bergantian. Hatinya berkecamuk tak karuan. Dia memang telah gagal membawa Dirga untuk menghadap orang tuanya. Namun, dia juga tidak ingin menerima perjodohan ini. Apalagi harus menikah dengan seorang lelaki tanpa tahu rupa dan wajahnya seperti apa? “Kamu mau kan, Ra?” Kali ini Mama yang bertanya. Wanita itu menyentuh bahu Andara dan menatap putrinya dengan penuh harap. Membuat Andara semakin tersudut karena tatapan mata itu. Andara menghela napas panjang. Memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya menyatakan sesuatu untuk menjawab pertanyaan kedua orang tuanya.Bab 20. Kebencian Bunda Setelah kejadian mengerikan di rumah sakit tempo hari, ketika ada seseorang yang tak dikenal menyelinap masuk ke kamar Galang dan mencoba mencelakainya. Andara benar-benar tak bisa lagi mempercayakan keselamatan suaminya kepada siapa pun. Kejadian itu begitu melekat dalam ingatannya. Bunyi alat monitor yang tiba-tiba berbunyi nyaring, teriakan suster yang panik, dan Galang yang menggeliat lemah membuat Andara merasa hampir kehilangan segalanya. Sejak itu, ia memutuskan satu hal, Galang tak boleh lagi sendiri. Maka ia memutuskan membawa Galang pulang ke rumah orang tuanya. Di sana ada dirinya, ada Papa dan mamanya, dan yang terpenting, tempat itu terasa jauh lebih aman dibanding rumah mereka sendiri yang kini terasa begitu asing dan mengancam. Namun, keputusan itu justru menjadi awal dari badai baru. Pagi itu, suara langkah kaki Bunda terdengar menggema di koridor rumah orang tua Andara. Wanita paruh baya itu datang le
Andara berdiri terpaku di depan pintu bangsal. Matanya tak bisa beralih dari pemandangan yang tak ia duga: Galang, suaminya, sedang duduk di ranjang rumah sakit, tertawa kecil bersama Wulan yang duduk di sampingnya. Langkahnya yang semula yakin, kini ragu. Ia mengurungkan niat untuk masuk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, sejak kapan Wulan sedekat itu dengan Galang? Kenapa bukan dirinya yang ada di sisi suaminya saat itu? Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Wulan melangkah keluar, senyum sinis menghiasi wajahnya saat matanya bertemu dengan Andara. “Oh, kamu datang juga rupanya,” ucap Wulan mencibir. “Kupikir kamu lebih memilih ujian daripada menemani suamimu yang sedang terbaring di rumah sakit.” Andara menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah bilang ke Mas Galang, aku akan datang setelah ujian selesai.” “Dan aku menepati janjiku itu. “ Andara berkata sembari menatap tajam ke arah Wulan. Perempuan yang m
Andara tampak duduk di depan ruang UGD. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan kecemasan. Sesekali dia melongok ke dalam. Berharap seorang dokter atau perawat keluar untuk memberitahunya tentang keadaan Galang saat ini. “Sabar, Ra. Mas Galang pasti baik-baik saja kok,” ujar Anessa menenangkan sahabatnya itu. Andara menoleh dan mencoba untuk tersenyum. Walaupun bibirnya terasa kaku. “Mas Galang pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin dia pasti kuat,” lanjut Anessa. Andara lagi-lagi tersenyum. Namun, dalam hatinya dia merasa tak begitu tenang. Dia takut akan terjadi sesuatu pada Galang. “Keluarga Galang Anugerah!” panggil salah seorang perawat. Andara lantas berdiri. “Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanya Andara beruntun. Perawat itu tampak memperhatikan Andara dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memastikan lagi bahwa yang berdiri di depannya adalah benar
“Foto siapa itu?” tanya Andara. Galang yang hendak duduk pun menghentikan aksinya. Dia menatap Andara dengan tatapan bingung. “Di wallpaper hp kamu. Itu foto siapa?” Andara mengulangi lagi pertanyaannya sembari menatap mata sang suami. Galang menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia butuh sedikit improvisasi agar Andara tak salah paham padanya. “Itu foto … foto …” “Foto pacar kamu?” potong Andara cepat. Matanya masih menatap sang suami. Lelaki yang berstatus menjadi suaminya itu tampak bingung. Dia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan yang mungkin bisa memancing pertengkaran di antara keduanya. “Heh! Lucu ya,” ujar Andara. “Kemarin aja bilang aku sayang kamu, Ra. Aku udah jatuh hati sama kamu. Sekarang …” “Nyimpen foto cewek. Dijadiin wallpaper lagi,” lanjut Andara. Galang menghela napas panjang. Tanpa menjelaskan apa-apa pun pada Andara, dia me
Wajah Andara memerah menahan tawa yang seolah-olah akan meledak. Walpaper yang terpasang di layar laptop milik Galang sukses membuat perutnya terasa kaku. “Narsis banget sih jadi orang!” gumam Andara. Seulas senyum tipis tergambar di wajahnya. Melihat senyum samar itu, Anessa lantas bertanya. “Kenapa, Ra? Senyum-senyum sendiri gitu?” Andara menoleh dan kemudian mengalihkan laptop itu ke arah Anessa. Seketika itu juga tawa Anessa meledak tanpa bisa tertahankan lagi. Bagaimana tidak? Dia melihat foto sang kakak dengan pose yang dibuat sok imut. “Sok cakep banget sih dia!” ujarnya di sela tawanya yang berderai. “Geli banget nggak sih, Ra?” tanya Anessa setelah tawanya reda. Andara menatap sang sahabat lalu tersenyum. “Entahlah! Aku nggak pernah lihat mukanya kalau ….” Belum sempat kalimat itu selesai, terdengar suara seseorang berjalan menuju tempat mereka. Tak lama kemudian munc
“Aku serius dengan ucapanku, Ra!” Galang berkata sembari menatap kedua mata sang istri. Andara mencoba mencerna ucapan yang keluar dari mulut Galang. Dia tak ingin terlalu berharap yang pada akhirnya membuatnya kecewa dan terluka. “Aku … sudah lama jatuh hati … sama … kamu, Andara.” Dengan susah payah Galang menyelesaikan ungkapan dari hatinya yang terdalam. “Aku … ingin selamanya bersamamu,” lanjut lelaki berbadan tegap itu. Dada Andara bergemuruh hebat. Cuping telinganya tak begitu saja bisa mempercayai apa yang keluar dari mulut seorang Galang. “Apa … kamu … bersedia hidup bersamaku?” tanya Galang. “Memang terdengar konyol dan gombal. Tapi, itulah yang aku rasakan saat ini. Hatiku sudah terpaut di kamu,” lanjut Galang. Andara masih belum bisa mengatakan sepatah kata pun juga. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu dan otaknya mendadak blank. Hanya jantungnya yang sejak tadi berd