Suasana ruang interogasi di kantor keamanan rumah sakit terasa mencekam. Atmosfer di dalam ruangan itu terasa tegang, seakan dinding menyerap semua suara dan napas yang tertahan. Wulan duduk tegak, matanya menatap tajam ke arah pemuda di seberangnya. Rian, pemuda berusia awal dua puluhan itu tampak tenang. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja, dan matanya terus berpindah-pindah seolah menolak kontak langsung dengan tatapan Wulan.
"Rian," ucap Wulan, suaranya tenang namun mengandung tekanan. "Aku sudah punya cukup bukti kalau kamu berada di sekitar lokasi kejadian hari itu. Kamu tahu maksudku, kan?" Rian menunduk. "Saya memang di sana, Mbak. Tapi, saya nggak melakukan apa-apa." “Saya hanya … saya hanya … sa …” “Kenapa?” sentak Wulan. Dia menjadi tak sabar ketika berhadapan dengan orang yang berbelit-belit seperti ini. "Kamu dendam sama rumah sakit ini," tuduh Wulan. Rian memberanikanAndara mendapati rumahnya dalam keadaan kosong. Dia mencari dan memanggil-manggil nama suaminya, tetapi tak ada jawaban. Dia mencoba menghubungi ponselnya, tetapi tak ada jawaban juga. Andara tak menyerah. Dia mencoba berkali-kali. Namun, hasilnya tetap sama. ‘Ke mana sih kamu, Mas? Jangan buat aku cemas memikirkan mu,’ batin Andara. Malam semakin larut ketika suara klakson terdengar dari luar pagar rumah. Andara yang semula sedang duduk di sofa ruang tengah langsung berdiri, melongokkan kepala ke jendela. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah. Dari balik kemudi, seorang wanita turun, kemudian membukakan pintu di sisi penumpang. Darah Andara serasa berhenti mengalir ketika melihat Galang turun dari mobil dalam keadaan limbung. Wajahnya merah, kemejanya sedikit kusut, dan dari gerak tubuhnya, jelas ia tak sepenuhnya sadar. “Mas Galang ...?” lirih Andara. Dia keluar dan langsung menghampiri Galang. Wa
“Mas Galang, aku mau pergi sebentar. Randi ngajak ketemuan, katanya Mbak Wulan juga bakal datang. Kami mau bahas sesuatu yang cukup penting,” ucap Andara sambil mengenakan jam tangan. Galang yang duduk di depan laptop hanya melirik sekilas. “Randi?” Nada suaranya terdengar ketus. “Randi siapa?” tanya Galang. Dahinya berkerut heran. Namun, matanya tak lepas dari laptop yang ada di depannya. “Iya. Dia teman kuliahku,” jawab Andara. Dia berusaha untuk tetap tenang meski tahu ekspresi Galang sudah berubah masam. “Temen cowok?” tanya Galang. Andara menganggukkan kepala sebagai jawaban. Galang mendengus kesal. Dia lalu menutup laptopnya dengan keras. “Terserah,” katanya pendek, sebelum beranjak dari kursinya dan berjalan ke kamar tanpa menoleh lagi. Andara menatap punggung suaminya dengan napas berat. Ia tahu Galang salah paham lagi. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Namun, dia juga tak bisa menjelaskan semuanya sekaran
Sudah tiga hari berturut-turut Wulan membuntuti Anessa. Meski lelah dan matanya terasa berat akibat begadang, rasa waspadanya tetap menyala. Kali ini ia tak mau kecolongan. Bukti harus dikumpulkan dengan cermat dan tepat sasaran. Kecelakaan Galang bukan kecelakaan biasa dan Wulan yakin, Anessa tahu lebih dari yang ia tunjukkan. Pagi itu, Wulan berdiri di balik semak belukar dekat sebuah rumah mewah di kawasan elit. Ia menurunkan kamera DSLR dari matanya dan memeriksa hasil jepretan. Anessa baru saja masuk ke rumah itu. Rumah milik Bunda. “Menarik,” gumam Wulan sambil memperbesar layar. “Jadi di sini markas kalian berada.” Ia mengintip ke sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikannya, lalu mencatat waktu dan lokasi di ponsel. Wulan tahu, Anessa dan Bunda tak bisa terus bermain kucing-kucingan seperti ini. Lambat laun, kebenaran akan muncul dan menemukan jalannya. Dari dalam rumah, terdengar suara samar Anessa yang tengah
“Bagaimana, Dito? Kamu tidak keberatan kan kalau loker ini saya periksa?” tanya Wulan dengan nada yang mengintimidasi. Dito menelan ludah. Habis sudah dia kali ini. Semua yang telah ia sembunyikan selama ini akan terbongkar tanpa paksaan. Tanpa menunggu jawaban dari Dito, Wulan dan seorang petugas keamanan memeriksa loker itu. Dito tampak gelisah di tempatnya. Tamat sudah riwayatnya kali ini. “Apa ini?” tanya salah petugas keamanan itu. Di tangannya terdapat beberapa obat-obatan yang masih tersegel dengan rapi. “Itu … itu … itu … o-obat yang .…” Suara Dito tercekat di kerongkongan. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. “Bisa kamu jelaskan apa maksud semua ini, Dito?” Wulan bertanya sembari mengangkat bungkus obat yang ditemukan. Dito terdiam sejenak. Namun, pada akhirnya dia mengakui perbuatannya. Dito lantas digiring ke ruang interogasi rumah sakit. Dia tak menolak ataupun melawan. Pemu
Suasana ruang interogasi di kantor keamanan rumah sakit terasa mencekam. Atmosfer di dalam ruangan itu terasa tegang, seakan dinding menyerap semua suara dan napas yang tertahan. Wulan duduk tegak, matanya menatap tajam ke arah pemuda di seberangnya. Rian, pemuda berusia awal dua puluhan itu tampak tenang. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja, dan matanya terus berpindah-pindah seolah menolak kontak langsung dengan tatapan Wulan. "Rian," ucap Wulan, suaranya tenang namun mengandung tekanan. "Aku sudah punya cukup bukti kalau kamu berada di sekitar lokasi kejadian hari itu. Kamu tahu maksudku, kan?" Rian menunduk. "Saya memang di sana, Mbak. Tapi, saya nggak melakukan apa-apa." “Saya hanya … saya hanya … sa …” “Kenapa?” sentak Wulan. Dia menjadi tak sabar ketika berhadapan dengan orang yang berbelit-belit seperti ini. "Kamu dendam sama rumah sakit ini," tuduh Wulan. Rian memberanikan
Bab 20. Kebencian Bunda Setelah kejadian mengerikan di rumah sakit tempo hari, ketika ada seseorang yang tak dikenal menyelinap masuk ke kamar Galang dan mencoba mencelakainya. Andara benar-benar tak bisa lagi mempercayakan keselamatan suaminya kepada siapa pun. Kejadian itu begitu melekat dalam ingatannya. Bunyi alat monitor yang tiba-tiba berbunyi nyaring, teriakan suster yang panik, dan Galang yang menggeliat lemah membuat Andara merasa hampir kehilangan segalanya. Sejak itu, ia memutuskan satu hal, Galang tak boleh lagi sendiri. Maka ia memutuskan membawa Galang pulang ke rumah orang tuanya. Di sana ada dirinya, ada Papa dan mamanya, dan yang terpenting, tempat itu terasa jauh lebih aman dibanding rumah mereka sendiri yang kini terasa begitu asing dan mengancam. Namun, keputusan itu justru menjadi awal dari badai baru. Pagi itu, suara langkah kaki Bunda terdengar menggema di koridor rumah orang tua Andara. Wanita paruh baya itu datang le