"Kalau kamu tak ingin saya berpaling ke Bella. Sebaiknya ikut makan malam ini," bisik Fariz sambil mengecup pipi Ica.Tentu bisikan tersebut membuat dada Ica bergemuruh kesal. Tungkai kakinya batal lunglai, mendadak Fariz terlihat sangat menyebalkan bagi Ica. Apalagi pakai acara nyium pipi segala."Ish! Aku merasa diremehkan oleh Om Fariz," gerutu Ica dalam hati."Hayu Ca, kita tunggu Mama Ica ganti pakaian," ajak Fariz pada putri kecilnya.Ica masih melotot kesal melihat ekspresi Fariz yang seolah-olah sedang mengejeknya."Kok, malah cemberut? Apa mau saya yang pakaikan bajunya?" Fariz memutar tubuh Ica, tangannya meraba resleting baju Ica dari balakang."Ish! Om Fariz nyebelin banget sih! Sana, biar Ica ganti baju sendir!" maki Ica, mendorong Fariz keluar bersama Caca.Bukannya kesal mendapat perlakuan kasar dari Ica. Bapak dan anak
Ica dan Caca hanya bisa menepi berdiri dari kursi penonton di Amphitheater menyaksikan Fariz dan Bella yang tengah berdebat."Mama Ica, Papa ngapain sih, ngobrol sama Tante itu?" tanya Caca yang tampak tak menyukai akan kemunculan Bella.Ica menggendikan bahunya, malas untuk menjawab pertanyaan Caca."Iya, aku ke sini memang mengikuti kalian. Ingat, Mas Fariz masih hutang janji padaku," jelas Bella ketika Fariz menanyakan kehadirannya."Mama Ica nggak mau manggil Papa buat udahan ngomong sama Tante itu? Caca udah laper nih."Ica melirik anak tirinya, dirinya juga sudah lapar tapi untuk pergi ke sana dan melerai mantan kekasih itu saling berdebat rasanya juga enggan."Kita makan berdua aja tanpa Papa, cari restoran dekat sini saja, yuk!" Ica pun membawa Caca menuju restoran terdeka
Tiga kali Fariz menepuk Pipi Ica agar sadar. Lengan Fariz mengganjal kepala Ica agar tidak terpentok sandaran kursi. Fariz juga meminta manajer restoran untuk menjauhkan meja dari Ica, khawatir istrinya akan mengalami kejang yang lebih parah. Namun, tidak sampai satu menit kejang Ica berhenti dan dia terkulai lemas seperti tertidur."Pah, Mama Ica baik-baik aja kan?" tanya Caca yang sedih melihat kondisi Ica."Iya, Sayang. Sebentar lagi juga sadar. Bella, aku mohon jangan jadikan ini sebagai kontenmu," pinta Fariz yang hanya ditanggapi oleh Bella dengan anggukan.Wanita itu cukup terkejut melihat kondisi Ica, ternyata apa yang dikatakan para netizen benar adanya, Ica memiliki penyakit aneh. Entah dia harus menyikapinya seperti apa?"Kok, Mama Ica belum bangun Pa?" Caca kembali khawatir.Ini tidak seperti biasanya Ica kejang dan lama siuman dari pingsannya.
Fariz meluruskan tubuh Ica serta kepala yang dibuat sejajar dengan bahu lalu mengangkat ke atas sedikit dagunya. Wajah Ica membiru, sigap Fariz melakukan tindakan resusitasi jantung paru. Kaki Fariz berlutut di samping leher dan dada Ica.Menaruh tangannya yang bertumpu di tengah dada Ica, lalu menekannya sebanyak tigak puluh kali dengan tekanan sedalam lima senti menter.Ica masih mematung, Fariz mendekatkan telinganya ke hidung Ica guna mendengar apakah ada suara napas? Tipis, Fariz pun memberi napas buatan. Dicubitnya hidung Ica lalu diletakan mulutnya menutup mulut Ica, meniupkan udara ke dalam. Masih tak ada pergerakan di dada Ica.Kembali Fariz melakukan tindakan RJP, sambil berhitung dan mengulangi memberi napas buatan.Caca tak berhenti menangis melihat Ica yang tak berdaya, gadis kecil itu merasa bersalah."Mama I
Fariz, Ica dan Caca sudah sampai di lobi. Para wartawan masih mengikuti, tepat di depan meja resepsionis Ica memutar tubuh kebelakang, lalu berdiri dengan angkuhnya sambil berkacak pinggang."Dengar baik-baik! Nama saya Aisyah Khairunisa, Sarjana Hukum. Menurut UU ITE nomer 19 Tahun 2016 yang berbunyi_Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan._"Ica menjeda ucapannya, melihat ke sekeliling para wartawan yang mulai ogah-ogahan untuk mengambil foto Ica."Jadi, maunya Mba Aisyah, gimana?" tanya seorang wartawan berbaju kotak-kotak. Sepertinya dia paham arah tujuan dari orasi Ica."Yang ingin mewawancarai saya harus bayar. Satu pertanyaan seratus ribu." Ica menantang dengan menaikan sedikit dagunya."Huh! U
Tiga hari setelah pulang dari Bali, Fariz masih memikirkan kata-kata yang Ica bisikan ketika di Pasar Sukowati. Melihat gelagat Ica yang sudah terbiasa dengan dirinya tanpa mengalami serangan cataplexy, Fariz pun memutuskan bahwa nanti malam dia akan mencobanya. Mencoba mewujudkan keinginan Ica, dan juga impian dia.Suster Amel datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia kaget melihat Fariz yang tengah tersenyum sambil jingkrak-jingkrak menyebutkan sepotong kalimat."Kita akan belah duren, kita akan belah duren. Oh yeah!" ucap Fariz sambil lompat-lompat berjoget ria kegirangan.Posisinya yang sedang berdiri membelakangi pintu tentu saja tidak menyadari kedatangan Amel, hingga perawat cantik itu memanggilnya, baru Fariz menghentikan aksinya.Merah, wajah Fariz menahan malu ketika Amel memanggilnya. Sedangkan suster kepercayaan nya itu pun ikutan memerah wajahnya karena bersusah
Ica terkejut melihat Fariz ada di depan pintu. Begitu pun dengan Fariz, terpaku menatap Ica tanpa berkedip. Beruntung suara bel pintu menyelamatkan Ica dari adegan canggung tersebut. Fariz yang sudah berjalan tanpa sadar mendekati Ica, terpaksa menghentikan aksinya membelai pundak Ica yang terbuka dengan punggung tangannya. Ica sempet menutup mata, menikmati sentuhaan Fariz, tetapi bunyi bel yang berkali-kali akhirnya menyadarkan dua orang yang sedang terlena tersebut."Ada tamu, tuh, Om," ucap Ica membuka matanya."Hadehh!" Fariz terlihat menahan kesal."Kok, hadeh?" Ica tersenyum menggoda, mendengar gerutu Fariz."Pake nanya? Apa kita lanjutkan saja, ya. Biarin aja tamunya menunggu." Fariz langsung menarik pinggan Ica ke dalam pelukannya.Ica tertawa, meronta kegelian karena mendapat kecupan bertubi-tubi di lehernya.Tignong! Tingnong! Tingnong! Tingn
"Kamu gimana, sih, Ca? Masa begituan diceritain ke Caca," bisik Faris, kesal."I-Ica enggak bilang apa-apa, kok, ke Caca." Ica membela diri dengan suara yang tak kalah pelan."Pah, emang kalau Caca di rumah, Mama sama Papah enggak bisa bikin dedek bayi, ya?"Ica melongo mendengar pertanyaan Caca, sementara Fariz berusaha menaha kesal karena tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan putri kecilnya."Caca, tau dari mana kalau saat Caca nginep, Papa sama Mama Ica buat dedek bayi?" tanya Fariz, mengintrogasi dengan suara selembut mungkin."Dari Mba Wati. Tadi Caca denger Mba Wati nanya ke Mama Ica, gini, Jadi Mba Ica gagal bikin adik buat Caca, dong?"_Duh, mati aku._ batin Ica, pasrah mendapat tatapan tajam dari Fariz."Pah