“Mbak Cit, sarapannya sudah siap.”Cita membuang napas panjang. Menatap beberapa amplop yang berisi surat pengunduran dirinya di atas laptop. Setelah berpikir panjang, akhirnya Cita memutuskan untuk mengubur mimpinya. Mundur dari salah satu perusahaan media terbesar, dan membuang cita-citanya menjadi news anchor. Menjadi terkenal, bukanlah jalan yang harus ditempuh dalam kondisi Cita yang seperti sekarang. Karena Cita yakin, nantinya akan ada tekanan yang akan menimbulkan depresi di luar batas kuasanya. “Bik …” Cita meraih amplop-amplop tersebut, lalu beranjak menghampiri Juju. “Sebentar lagi ada kurir yang mau ke sini. Tolong, kasihkan surat-surat ini sama mas kurirnya. Bilang, titipkan aja di resepsionis. Oia, kurirnya sudah saya bayar.”Juju mengangguk bingung, sambil membolak balik amplop berwarna putih itu. “Ini … surat apa, Mbak? Mau dikirim ke mana?”“Surat pengunduran diri saya dari Metro.” Satu tangan bebas Cita meraih pergelangan tangan Juju. “Tolong, saya minta tolong sam
“Per … misi.” Cita menyapa ragu pada seorang wanita paruh baya, yang tengah berjongkok di samping keran, yang berada di sudut carport. Detik itu pula, wanita itu menoleh dan mengerutkan dahinya saat menatap Cita.“Ada apa, ya?”“Maaf, Bu, saya barusan ngetok-ngetok rumah sebelah.” Cita menunjuk rumah yang ada di samping kirinya. “Saya juga sudah pencet belnya, tapi nggak ada yang keluar.”“Ahhh … Mbak yang mau ngekos, ya?”“I-ya.” Sejak kejadian malam itu, rasa percaya diri Cita seolah terkikis sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi bisa memandang setiap orang dengan tegas, dan selalu saja overthinking akan banyak hal. “Ibu Asri?” tebak Cita, karena satu-satunya orang yang dihubungi setelah menemukan iklan kos-kosan, adalah wanita itu.“Iya.” Asri segera berdiri dan menghampiri Cita dengan tawa kecilnya. Ia mengulurkan tangan dengan ramah lebih dulu, untuk memperkenalkan diri. “Saya Asri, anak kos biasa manggil Bunda Asri. Ayo, ayo, masuk dulu.”Tanpa menunggu Cita meresponsnya, Asri lan
Arya mendesah panjang. Melihat jendela kamar yang ditempati Cita, dari carport rumah sebelah. Siang tadi, gadis itu tetap tidak bercerita apa pun pada Arya, walau ia sempat sedikit memberi ancaman. Namun, Cita tetap mengatakan dirinya baik-baik saja.Yang semakin mengganjal di hati Arya adalah, ia baru tahu Cita ternyata sudah mengundurkan diri dari Metro sekitar satu minggu yang lalu.Apa yang telah terjadi sebenarnya?Pergi ke mana orang tua dan suami gadis itu saat ini?Atau, jangan-jangan Cita sedang melarikan diri? Akan tetapi, benar-benar terasa tanggung jika melarikan diri masih di wilayah ibukota.Arya berdecak kecil. Berdiam sebentar saat ponselnya berdering, sambil memandang nama yang tertera di layar. Jika diangkat, pria itu pasti akan menyuruh Arya kembali tidur di rumahnya. Sementara Arya sendiri, ingin menginap di rumah Asri, karena merasa penasaran dengan Cita.Sampai akhirnya, Arya membiarkan ponselnya berdering, dan mati-mati sendiri. Arya menunggu sekitar lima menit,
“Ada, Cit! Hari ini, jadwal periksa jam 10 pagi dengan dokter Aina.”“Atas nama Laura Riani, kan?”Karena dua buah info yang masuk ke aplikasi chatnya itulah, Cita segera memesan taksi dan pergi ke rumah sakit. Tempat yang sama, di mana Cita pernah bertemu dengan Laura untuk pertama kalinya.Bagi Cita, tidaklah sulit untuk mencari informasi apa pun. Rekan sesama profesinya banyak tersebar di mana-mana. Cita hanya menyediakan sejumlah uang, agar bisa melancarkan semua rencananya.Lantas, sampai jugalah Cita pada tempat yang dituju. Masuk ke rumah sakit dengan santai, dan melihat deretan ruang dokter yang ada.“Dokter … Aina,” gumam Cita, lalu melihat kursi tunggu yang ada di depan ruang dokter tersebut. Cita memindai dengan teliti setiap orang yang duduk di sana.Laura belum datang. Masih dengan hoodie yang menutup kepala, Cita menghampiri kursi tunggu. Memilih tempat paling sudut belakang, agar bisa melihat semua orang yang datang.Dalam diam, Cita menunduk dan menyentuh pelan perutn
Sebenarnya, Arya merasa bodoh sendiri. Mengikuti Cita sampai sejauh ini, tetapi tidak membawa dompet ataupun ponsel. Ia seorang pria, tetapi masuk ke dalam rumah sakit ibu dan anak seorang diri. Duduk pada kursi tunggu di depan ruang dokter yang berbeda, sambil mengawasi Cita.Apa gadis itu hamil, sehingga harus pergi ke dokter kandungan? Ya, Cita pasti hamil!Namun, mengapa tidak memeriksakan diri di rumah sakit terdekat? Cita justru pergi ke rumah sakit yang letaknya begitu jauh, hingga membuat punggung, tangan, dan kaki Arya pegal karena tidak terbiasa naik moge.Akan tetapi, di antara banyak pikiran yang terlintas di kepala Arya, akhirnya ia menemukan sebuah titik terang. Ia melihat Cita berdiri, lalu menghampiri sepasang suami istri yang baru saja datang. Pandu sampai harus memicing, dan berkedip berkali-kali.“Pandu? Atmawijaya?” Arya bergumam sendiri, ketika baru menyadari sosok pria itu. Setelah berkenalan dengan Cita tempo hari, Arya iseng mencari nama Cita di website pencari
“Citaaa, ya ampun, Cita.” Cita menarik napas tegang. Bangkit perlahan, dan meremas erat selimut yang menutupi tubuhnya. “Ma-mama, di … sini.”Pandu!Pasti pria itu yang menghubungi Tessa, sampai mama mertuanya ada di sini. Jangan sampai wanita itu kembali membawa Cita pulang, karena ia benar-benar bisa gila dibuatnya. Arya spontan berdiri, karena melihat wanita yang lebih tua darinya menghampiri. Arya yakin wanita itu dalah ibu Pandu, karena Arya juga pernah melihat fotonya. Perhatiannya lantas terfokus pada Cita. Wajah gadis itu terlihat tegang, dengan kedua tangan yang mengepal erat. Seolah ketakutan, tetapi intensitasnya tidak seperti ketika disentuh oleh Arya, maupun Pandu.Mengapa Arya curiga, wanita itu tahu semua tentang perbuatan putranya pada Cita. Semoga saja, dugaan Arya salah. Karena bila benar, maka Cita benar-benar ada dalam masalah yang kompleks. Tessa menghampiri Cita dengan cepat, lalu membawa gadis itu ke pelukan. Air matanya menitik begitu saja, dan mulai terisak
Tessa mempercepat langkahnya, saat melihat tirai yang menutup ranjang pasien yang ditempati Cita terbuka, hampir separuhnya. Saat tiba di tempat, napas Tessa terbuang frustrasi. Seharusnya, ia tidak meninggalkan menantunya itu seorang diri. Seharusnya, Tessa membawa Erina atau orang lain bersamanya. Paling tidak, Tessa membawa masuk sopir pribadinya untuk mengawasi Cita.Tessa yakin sekali Cita kembali pergi, karena tas ransel gadis itu juga ikut menghilang dari tempatnya.“Sus!” Tessa menoleh ke sekitar, tetapi tidak ada satu pun perawat yang sedang berada di sana. Lantas, Tessa menghampiri ranjang pasien yang letakkan berdekatan dengan pintu, karena ada seseorang juga yang tengah dirawat di sana.“Maaf, apa ada lihat anak saya pergi dari sini, ya?” tanya Tessa setelah membuka sedikit tirainya. Semua kemungkinan bisa saja terjadi, karena itu Tessa harus bertanya lebih dahulu. “Perempuan, pakai ransel pink, sama jaket warna merah? Ada topinya?”“Maaf, Bu. Saya nggak tahu.”Tessa mengh
Kerutan di dahi Lex semakin bertambah saat melihat Arya dan Cita duduk di ruang tamu. Namun, yang menjadi konsentrasi Lex adalah Cita. Mengapa penampilan gadis itu mendadak berubah drastis?Sejak Kasih mulai sibuk bekerja, Cita memang sudah tidak pernah lagi bertandang ke rumah Lex. Mungkin, karena tidak ada yang mengajak Cita main ke rumah, karena itulah gadis itu tidak lagi menginjakkan kaki di kediaman Anggoro.Bahkan, Lex hanya berdiam diri menatap Cita, saat gadis itu menyalaminya dengan sangat sopan.“Om, pinjam hape!” seru Arya memecah keterdiaman Lex. Ia baru ingat, harus menghubungi seseorang sesegera mungkin. “Hapeku, dari pagi ketinggalan di rumah bunda Asri.”“Duduk,” titah Lex menunjuk sofa dengan dagunya. Entah apa yang terjadi pada Arya dan Cita saat ini. Yang jelas, pria itu harus mempertanggungjawabkan semua hal pada Pras malam nanti. “Datang ke rumah pak Pras jam tujuh nanti malam. Jangan sampai terlambat.”“Pak Pras … marah?” Dari wajah Lex saja, Arya tahu pertanyaa